Kisah Nusaibah RA, Perempuan yang Pertaruhkan Nyawa Demi Rasulullah SAW di Perang Uhud

Adalah Nusaibah RA binti Ka’ab bin Auf. Perjuangannya untuk sang kekasih Allah SWT sangat besar, bahkan nyawa hampir menjadi taruhannya demi menyelamatkan Rasulullah SAW di perang Uhud

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Jun 2023, 10:30 WIB
Bukit Uhud di Madinah, Arab Saudi. (Liputan6.com/Muhammad Ali)

Liputan6.com, Jakarta - Dari dahulu, hingga saat ini, sebagian besar perempuan diposisikan di belakang. Memasak, mencuci pakaian dan mengurus anak.

Emansipasi wanita masih sangat terbatas jika kita lihat saat ini. Tetapi sebenarnya saat perjuangan Islam dahulu, terutama saat Perang Uhud, ada sosok perempuan yang berjibaku, kisahnya pun diabadikan dalam sejumlah kitab masyhur.

Adalah Nusaibah RA binti Ka’ab bin Auf. Perjuangannya untuk sang kekasih Allah SWT sangat besar, bahkan nyawa hampir menjadi taruhannya.

Ia tidak peduli akan dirinya, tak peduli akan keselamatannya, yang penting Rasulullah SAW dalam keadaan selamat, ia rela sekalipun harus tertukar dengan nyawanya.

Demikianlah cinta yang sebenarnya. Ia tidak akan memperhitungkan apa yang diberikan kepada kekasih Allah itu. Sepanjang bisa membuat bahagia, apapun akan dilakukan untuk meraih kebahagiaan itu.

 

Simak Video Pilihan Ini:


Bermodal Sekaleng Air Minum ke Medan Perang Uhud

(Liputan 6 TV)

Pahlawan wanita jika selama ini kita mengenal sosok Sayyidah Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah dengan penuh kesabaran, dan istri-istrinya yang salehah, bahkan menjadi ibu dari semua orang-orang beriman (ummahatul mu’minin), maka tidak ada salahnya jika saat ini menyebutkan salah satu sosok wanita yang sangat berperan dalam perjuangan Rasulullah, khususnya di saat meletusnya perang Uhud.

Jamak diketahui, wanita memiliki peran yang sangat besar dalam perkembangan Islam, baik di masa-masa dikenalkannya Islam, yaitu masa Rasulullah, hingga masa saat ini, mereka selalu andil dalam mewarnai ajaran samawi yang satu ini.

Dalam nu.or.id, 'Nusaibah dan Aksi Heroiknya di Uhud Hari Sabtu', setelah tujuh malam di bulan Syawwal berlalu atau selang 32 bulan setelah hijrah, Rasulullah SAW keluar bersama seribu pasukan untuk memenuhi tantangan orang-orang kafir Quraisy yang mengajak umat Islam untuk kembali berperang. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan istilah perang Uhud.

Terik matahari mulai beranjak ke tengah langit yang menandakan waktu siang, sambil menenteng sekaleng air minum Nusaibah pergi dan beranjak ke medan peperangan di Uhud. Ia tidak ingin duduk dengan nyaman di rumah, sementara Rasulullah lelah dan susah payah untuk menegakkan ajaran Islam, meski harus berperang.

 


Raih Pedang, Saat Nyawa Rasulullah SAW Terancam

Bukit Uhud lokasi ziarah kaum muslim dunia di Kota Madinah, Arab Saudi. (Liputan6.com/Wawan Isab Rubiyanto)

Gejolak cinta kepada Nabi Muhammad SAW membuat dia rela berpanas-panasan untuk pergi ke Uhud, guna ikut andil dalam menjunjung tinggi agama dan syariat Islam, walaupun hanya dengan memberikan minum kepada bala tentara Islam.

Setelah semua keluarganya, mulai dari suami dan kedua anak laki-lakinya berangkat terlebih dahulu bersama para pasukan Islam yang lain. Sampai di Uhud, ia menjalankan tugasnya dengan baik.

Ia membagikan air minum kepada bala tentara Islam. Setidaknya hal tersebut mampu menghilangkan sedikit dahaga, dan menambah cairan tubuh yang terkuras, sekaligus untuk membuktikan bahwa ia adalah wanita pemberani yang tidak takut akan berkecamuknya peperangan.

Namun, hal yang tak diinginkan terjadi. Ketika secara mendadak, pasukan musuh menyerang balik pasukan Islam, dan menusuk pertahanan tentara Islam, hingga mampu menjebol benteng pertahanan yang di dalamnya terdapat komandan pasukan Islam, Rasulullah SAW.

Melihat nyawa sang kekasih (Rasulullah SAW) yang ada di hadapannya sedang terancam, Nusaibah tak tinggal diam. Kecintaan yang mendalam terhadap sosok nabi terakhir itu, menuntutnya untuk mengambil sebilah pedang dan menghadang musuh yang hendak menyerang dan membunuh Rasulullah.

Tebasan pedang yang mendekati tubuh sang kekasih, ia hadang dan tahan dengan kemampuan berperang yang baru saja ia dapatkan. Hingga akhirnya, ia harus mengorbankan tebasan pedang musuh mengenai lehernya, serta meninggalkan luka yang membekas.

 


Nusaibah RA Mendapat Apresiasi Tinggi dari Nabi Muhammad SAW

Seorang calon jemaah haji menuliskan sesuatu di bebatuan Bukit Uhud. (Liputan6.com/Muhammad Ali)

Melihat sayatan luka yang dalam, para sahabat mengingatkan kepadanya untuk menghentikan aksinya, namun benih cinta yang telah tumbuh dalam dirinya telah membutakan semua peringatan itu. Sekali lagi, ia tidak ingin hidup nyaman sementara kekasihnya terancam.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat 852 H), dalam salah satu kitabnya menceritakan sebuah riwayat perihal Nusaibah, saat ditanya perihal luka-luka yang menyayat badannya, kemudian menceritakan kisah heroiknya ketika melindungi Rasulullah.

Dalam kitab al-Ishabah disebutkan: “Ketika para sahabat kocar-kacir dalam peperangan Uhud, aku memberanikan diri untuk menyibakkan pedang, dan melontarkan anak panah untuk melindungi Rasulullah dari serangan musuh. Ketika musuh Allah, Ibnu Qami’ah berhasil merangsek masuk ke dalam pertahanan, hingga mendekati Rasulullah, aku pun berlari dan menghalangi langkah dan maksud buruknya. Dengan sekuat tenaga, aku melawannya. Namun, perlawananku tak membuahkan hasil karena dia memakai pelindung dan tameng di sekujur tubuhnya sehingga sabetan pedangnya pun mengenai leherku, dan meninggalkan gores luka yang sangat dalam.” (Imam Ibnu Hajar, al-Ishabah fi Tamyizi as-Shahabah,[Beirut, Darul Jaili: 1412], juz VIII, halaman 265).

Saksi mata yang juga turut hadir dalam heroiknya perang Uhud kala itu memberikan pernyataan akan kegigihan dan pengorbanan Nusaibah dalam melindungi Rasulullah. Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Sungguh aku melihat Nusaibah saat itu berjibaku dalam menangkis serangan Ibnu Qami’ah yang bermaksud membunuh Rasulullah. Hingga ia terkena sabetan pedang yang tepat mengenai lehernya. Sebanyak 13 bekas sabetan pedang di sekujur tubuhnya, dan tangan yang hampir putus ialah bukti ketulusan cintanya kepada Rasulullah.” (Ibnu Sa’ad, ath-Thabaqat al-Kubra, [Beirut, Darus Shadir], juz VIII, halaman 415).

Menurut Syekh Yusuf (wafat 1384 H), di saat yang bersamaan, Nusaibah mendapatkan apresiasi luar biasa dari kekasihnya, RasulullahSAW. Beliau mengakui kegigihannya. Bahkan, ketika Rasulullah ditanya kejadian perang Uhud, serta peran dari Nusaibah bint Ka’ab, beliau bersabda,

مَا الْتَفَتُّ يَمِيْناً وَلَا شِمَالاً إِلَّا وَأَنَا أَرَاهَا تُقَاتِلَ دُوْنِيْ

Artinya, “Tidaklah aku menoleh ke sisi kanan maupun kiri, melainkan aku melihat dia (Nusaibah) berperang untuk melindungiku.” (Syekh Yusuf, Hayatu as-Shahabah, [Muassasah ar-Risalah: 1999], juz II, halaman 130).

 


Pujian Rasulullah SAW terhadap Nusaibah RA

Gunung Uhud (Istimewa)

Kecintaannya kepada Rasulullah yang telah menjalar dalam diri Nusaibah binti Ka’ab terbalas dengan pujian sang kekasih kepadanya.

Dalam beberapa riwayat Rasulullah SAW memujinya melebihi beberapa sahabat laki-laki yang berperang saat itu,

لَمَقَامُ نُسَيْبَةَ بِنْتِ كَعْبٍ الْيَوْمَ خَيْرٌ مِنْ مَقَامِ فُلَانٍ وَفُلَانٍ

Artinya, “Sungguh tingkat dan kedudukan Nusaibah binti Ka’ab hari ini (Perang Uhud), lebih mulia dari orang-orang tersebut (menunjuk para komandan perang dari kalangan laki-laki).” (Syamsuddin ad-Dzahabi, Siyaru A’lami an-Nubala, [Muassasah ar-Risalah: 1985], juz II, halaman 278).

Demikian potret cinta yang tergambar dari sosok Nusaibah, ia mendapatkan cinta balasan dari sang kekasih. Ketulusannya membuah Rasulullah membalas cintanya, yang diwujudkan dalam bentuk perhatian dan kegembiraan atas keselamatan dari Nusaibah.

Dalam sebuah riwayat dijelaskan: “Pasca-perang Uhud, dan kepulangan Rasulullah dari daerah Hamra’ al-Asad, ia tak bisa beristirahat dengan tenang sebelum mengutus salah seorang sahabatnya, Abdullah bin Ka’ab (saudara Nusaibah) untuk mengecek kondisi Nusaibah. Hingga ia mendapat kepastian akan keselamatannya. Sambil ditemani rasa lega dan gembira atas keselamatan Nusaibah, ia pun beristirahat dengan tenang.”(Al-Asqalani: VIII/265).

Kiprah dan peran wanita yang satu ini dalam perkembangan Islam layak mendapatkan apresiasi, bahkan sangat tepat jika mendapatkan julukan; the fighter woman (petarung wanita yang kuat). Jika selama ini petarung hebat hanya muncul dari sosok seorang laki-laki, maka semua itu tidaklah benar. Sebab, pada masa Rasulullah ada salah satu wanita yang juga hebat dalam berperang melawan orang-orang kafir yang memusuhi nabi saat itu.

Salah satu pakar sejarah Islam abad 13, Imam Khairuddin Mahmud bin Muhammad az-Zarkili ad-Dimisyqi (wafat 1396 H), dalam kitabnya menisbatkan julukan tersebut kepada sahabat wanita yang satu ini,dalam kitabnya disebutkan:

أُمُّ عِمَارَة نُسَيْبَة بِنْتِ كَعَب بِنْ عَوْفِ، مِنْ بَنِي النَّجَّارِ: صَحَابِيَّةُ، اِشْتَهَرَتْ بِالشَّجَاعَةِ

Artinya, “Ummu Imarah Nusaibah binti Ka’ab bin A’uf, dari distrik an-Najjar. Salah seorang sahabat wanita yang terkenal keberaniannya. Ia tergolong sebagai prajurit perang pemberani dan patriotik.(Imam az-Zarkili, al-A’lam li Asyhuri ar-Rijali wa an-Nisai min al-Arabi wa al-Musta’rabin wa al-Mustasyriqin, [Darul Ilmi: 2002], juz VIII, halaman 19). Wallahu A'lam.

Penulis: Nugroho Purbo

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya