Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim kembali menjadi sorotan usai mencetuskan ide barunya terkait penyelesaian masalah pendidikan di Indonesia. Ide baru tersebut berupa gagasan pembentukan platform bernama Marketplace guru atau lokapasar.
Pencetusan gagasan marketplace guru ini diklaim Nadiem sebagai upaya dalam mengatasi masalah tenaga guru honorer yang terjadi selama bertahun-tahun. Nadiem mengaku rencana ini sudah dibahas bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kemendagri, dan MenpanRB. Selain itu, rencana ini juga sudah disampaikan dalam Rapat Kerja dengan Komisi X DPR RI.
Advertisement
Nadiem menjelaskan platform marketplace guru merupakan basis data dengan dukungan teknologi untuk semua sekolah bisa mengakses calon guru.
Platform marketplace guru ini disebut juga sebagai wadah atau media perekrutan guru, di mana pihak sekolah dapat mencari siapa saja yang dapat menjadi guru dan diundang untuk kebutuhan sekolahnya.
Dengan begitu, marketplace guru dinilai dapat menjadi tempat yang bisa mempermudah pihak sekolah dalam mencari pengajar yang dibutuhkan. Sehingga prosesnya dapat lebih tertuju sesuai kebutuhan sekolah tersebut.
Menanggapi hal itu, Pengamat Teknologi dan Informatika, Heru Sutadi, mengatakan rencana Mendikbudristek untuk merancang marketplace guru adalah sebuah inovasi yang perlu diapresiasi, tetapi juga perlu dielaborasi.
"Perlu dielaborasi lagi, nanti manfaat marketplace guru seperti apa, berjalan atau tidak. Marketplace itu kan biasanya adalah platform atau aplikasi, di mana terjadi jual beli atau mungkin penggunaan jasa. Jadi, perlu kita dalami lagi konsep marketplace-nya seperti apa," kata Heru kepada Liputan6.com, Jumat (2/6/2023).
Menurutnya, guru adalah sebuah profesi yang tidak bisa disamakan dengan sebuah jasa, seperti tukang dan jasa lainnya atau transaksi jual-beli barang (produk).
"Kalau kita bicara soal guru, mereka tentu harus memiliki pengalaman dan sertifikasi. Jadi, agak kurang pas kalau guru disamakan seperti jual-beli jasa. Menurut saya, platform yang lebih cocok adalah talent pool. Dalam artian, wadah talenta para guru dengan sertifikasi tententu karena masing-masing tingkatan berbeda-beda pendidikan," ujar Heru.
Dengan demikian, ia melanjutkan, jika Kemendikbudristek membutuhkan guru di sebuah sekolah, tinggal mencarinya di talent pool tersebut.
"Di sisi lain, persoalan guru saat ini masih belum adanya pemerataan di sejumlah daerah, terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) yang masih kekurangan tenaga pendidik. Saya rasa, penamaan marketplace kurang pas karena belum bisa menjawab kebutuhan dan tantangan guru," Heru memungkaskan.
Senada, Pengamat Pendidikan Doni Koesoema menilai, gagasan pemerintah soal marketplace guru masih perlu dikaji secara mendalam. Menurutnya, banyak hal yang perlu diperhatikan dalam proses seleksi atau rekrutmen guru, salah satunya soal kualitas guru itu sendiri.
"Ini masih sekedar gagasan yang menjelaskan masalah teknik saja, Sementara untuk masalah seleksi guru bukan terletak bagaimana teknik perekrutannya saja, melainkan juga soal substansi dan kualitas dari hasil proses seleksinya, karena kita tidak ingin proses seleksi guru ASN yang tidak bermutu," kata Doni kepada Liputan6.com, Jumat (2/6/2023).
Menurutnya, dalam gagasan soal marketplace guru, perlu dijelaskan bagaimana mekanisme seleksi guru yang mengutamakan arus kualitas, yang tidak bisa disamakan dengan rekrutmen-rekrutmen profesi yang lainnya.
"Mekanisme bagaimana menyeleksi guru dalam gagasan Nadiem ini juga tidak menjelaskan bahwa dalam platform seleksi guru itu dapat menjamin kualitas guru. Saya melihat ini (Gagasan Marketplace Guru) seperti Gojek, siapapun bisa jadi sopir Gojek asal punya SIM," ujarnya.
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai platform marketplace guru akan mempersulit dunia pendidikan di Indonesia.
"Rencana ini justru akan mempersulit dunia pendidikan di Indonesia karena guru honorer yang bahkan telah lulus seleksi ASN pun, tidak semua mengerti teknologi. Terlebih guru di daerah terpencil yang memiliki keterbatasan koneksi internet dan juga akses dari rumah menuju sekolah yang begitu jauh dan medan yang sulit," kata Trubus kepada Liputan6.com, Jumat (2/6/2023).
Ia menuturkan, wacana marketplace guru juga bisa dikatakan merendahkan profesi guru karena program ini seakan-akan murni bisnis.
"Program ini bisa dibilang merendahkan profesi guru karena murni bisnis. Sebagai seorang guru atau dosen, bukannya kami tak setuju, tetapi kami perlu dihargai sebagai seorang pendidik," ucap Trubus, menegaskan.
Ia menambahkan, profesi guru membutuhkan peran aktif yang tak cuma dipahami secara logika, tetapi juga harus bermakna. Guru pun tak hanya menyampaikan pesan yang bersifat keilmuan semata, tetapi juga budi pekerti yang mengandung nilai kebangsaan, Pancasila, toleransi, dan lain sebagainya.
"Dibutuhkan metode 'verstehen' atau memahami makna tindakan sosial, bukan cuma sekedar teori," Trubus menandaskan.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center for Education Regulation and Developments Analysis (CERDAS), Indra Charismiadji menyebut gagasan pemerintah soal marketplace guru tidak memiliki tujuan dan konsep yang jelas.
"Ini (Gagasan Marketplace Guru) tidak memiliki tujuan yang jelas, sama halnya Merdeka Belajar yang kita tidak pernah melihat naskah akademiknya seperti apa, Jadi ini bisa dibilang gagasan suka-suka Menteri saja, yang ujungnya selalu bikin aplikasi," kata Indra kepada Liputan6.com, Jumat (2/6/2023).
Menurutnya, gagasan soal marketplace ini tidak tepat untuk menjadi solusi masalah guru yang ada, terlebih saat ini banyak guru honorer di daerah yang masih mendapatkan gaji Rp100 per tiga bulan.
"Masih banyak guru honorer yang mendapatkan gaji Rp100 per tiga bulan itu yang hingga saat ini masih belum jelas, kemudian belum dosen-dosen. Masa persoalan ini solusinya marketplace, itu kan tidak nyambung," ujarnya.
Marketplace Guru Tak Selesaikan Akar Masalah
Adapun Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menilai gagasan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim, tentang marketplace guru tidak menyelesaikan akar permasalahan tenaga pendidikan di Indonesia.
Marketplace Guru menurutnya hanya bisa menyelesaikan persoalan distribusi guru, padahal itu hanya menjadi salah satu dari banyak masalah pengelolaan tenaga pendidikan di tanah air.
“Marketplace guru ini hanya akan memudahkan sekolah yang membutuhkan tenaga pendidik sesuai formasi yang dibutuhkan. Marketplace ini tidak menjawab bagaimana agar tenaga guru honorer bisa secepatnya diangkat menjadi ASN sehingga mereka mendapatkan kelayakan penghidupan,” kata Huda kepada Liputan6.com, Jumat (2/6/2023).
Huda mengatakan, saat ini yang dibutuhkan adalah konsistensi dari sikap pemerintah untuk menuntaskan rekrutmen satu juta guru honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
“Ini berarti pemerintah harus menuntaskan berbagai kendala mulai dari proses rekrutmen, proses penerbitan surat pengangkatan, hingga penempatan guru yang lolos seleksi. Saat ini proses rekrutmen satu juta guru honorer menjadi ASN belum juga tuntas meskipun sudah dua tahun program tersebut diluncurkan,” ujarnya.
Politikus PKB ini mengungkapkan, banyak kendala dalam proses rekrutmen satu juta guru honorer menjadi PPPK. Mulai dari keenganan pemerintah daerah dalam mengajukan formasi, banyaknya kendala administrasi sehingga guru yang lolos seleksi tidak segera mendapatkan SK pengangkatan sebagai ASN, hingga proses penempatan yang memicu konflik di lapangan.
“Banyaknya kendala dalam rekrutmen satu juta guru honorer menjadi PPPK tersebut membutuhkan terobosan bersifat politis, di mana Mendikbudristek bisa meminta kepada Presiden untuk membuka ruang bagi hambatan yang bersifat regulatif maupun personal. Bukan malah menciptakan aplikasi baru,” katanya.
Huda mengakui, jika aplikasi marketplace guru ini juga punya manfaat dan sedikit memudahkan.
“Seperti layaknya aplikasi Gojek atau Grab yang memudahkan pertemuan driver ojek online dengan penggunanya,” kata dia.
Kendati demikian, lanjutnya, marketplace guru ini akan berfungsi maksimal jika persoalan mendasar yakni pengangkatan guru honorer menjadi PPPK telah selesai dituntaskan.
“Dengan demikian distribusi guru bisa lebih efektif dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing sekolah,” pungkasnya.
Minta Dikaji Ulang
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PAN Zainuddin Maliki mengajak Menteri Pendidikan, Budaya, Riset, dan Tekonologi, Nadiem Makarim untuk mengkaji ulang wacana perihal marketplace guru. Hal itu disebut bukan menjadi solusi utama untuk menyelesaikan masalah perekrutan guru.
Politisi PAN ini mengatakan seharusnya Nadiem lebih fokus ke guru honorer yang belum mendapatkan SK. Menurutnya, masih ada sekitar 60.000 lebih guru honorer yang belum mendapatkan SK tersebut.
“Seharusnya, Menteri Nadiem fokus menyelesaikan masalah guru honorer yang belum mendapatkan SK,” ujar Zainuddin.
Iapun meminta Nadiem untuk menyelesaikan masalah tersebut hingga bulan Oktober nanti. Hal itu dikarenakan masih banyak guru honorer yang belum mendapat formasi tapi sudah lulus passing grade.
Lanjutnya, marketplace yang dicetuskan oleh Nadiem bukanlah sebuah solusi untuk merekrut guru honorer. Karena isitlah marketplace itu untuk komoditi bukan guru yang merupakan sebuah profesi.
“Marketplace itu kan untuk komoditi, sedangkan guru itu profesi. Jadi marketplace bukan solusi utama untuk menyelesaikan masalah,” tambahnya.
Advertisement
Syarat Marketplace Guru
Nadiem Makarim sebelumnya menjelaskan alasan penggagasan platform marketplace guru pada tahun 2024. Dia menyebut marketplace guru dibuat salah satunya untuk mengatasi persoalan guru honorer yang selama bertahun-tahun masih ada di Indonesia. Serta, untuk memenuhi kebutuhan guru yang sesuai kompetensi pada masing-masing sekolah.
Pendiri Gojek ini mengungkapkan bahwa syarat guru yang bisa masuk di marketplace harus merupakan guru honorer yang memang sudah lulus seleksi untuk menjadi guru ASN (Aparatur Sipil Negara).
"Siapa saja yang nanti akan masuk dalam marketplace ini? Pertama adalah guru-guru honorer yang sudah lulus seleksi. Mereka yang mengikuti seleksi untuk menjadi calon guru ASN," kata Nadiem.
"Nah, seleksi ini pas mereka sudah lulus itu passing grade, mereka akan masuk ke dalam database (di marketplace) ini," sambungnya.
Selanjutnya, syarat agar bisa masuk dalam marketplace guru bisa dari lulusan PPG atau Pendidikan Profesi Guru pra-jabatan.
Lulusan PPG akan memberi kesempatan untuk menghadirkan guru-guru baru yang memang sudah lulus, selain dari guru honorer yang sudah ada sebelumnya.
"Ini guru-guru baru yang sudah lulus PPG dan mereka akan masuk juga dalam marketplace terintegrasi ini," kata Nadiem.
Kemudian, guru honorer yang lulus seleksi untuk jadi guru ASN dan sudah lulus PPG pra jabatan juga boleh langsung mendaftarkan diri dalam marketplace.
Dengan begitu, tiap sekolah bisa langsung melihat guru mana yang available atau bisa untuk bisa mengajar. Serta, sekolah bisa memilih guru mana yang memang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.
"Karena kriterianya sudah ketat, semua guru atau calon guru yang masuk ke dalam marketplace ini sudah berhak untuk mengajar di sekolah-sekolah kita," ujar Nadiem.
Lebih lanjut Nadiem mengungkapkan bahwa dengan adanya fasilitas berupa marketplace ini, calon guru maupun guru honorer bisa lebih fleksibel untuk mendaftarkan diri.
Bahkan, guru bisa memilih lokasi mengajar nantinya tanpa harus menunggu perekrutan guru ASN secara terpusat yang selama ini berlangsung per tahun.
"Jadi calon guru ini lebih fleksibel untuk mendaftar dan memilih lokasi mengajar tanpa harus menunggu lagi proses rekrutan secara terpusat. Ini real time mengikuti kebutuhan masing-masing sekolah di daerah," kata Nadiem.