Liputan6.com, Jakarta Kekerasan seksual tak jarang memicu kehamilan yang tak diinginkan oleh korban. Hal ini melatarbelakangi koalisi Save All Women and Girls (SAWG) untuk mendorong isi dalam RUU Kesehatan memperhatikan soal aborsi legal dan aman.
Bagi SAWG, aborsi aman merupakan hak para korban kekerasan seksual untuk memilih apakah mereka ingin menggugurkan kandungan atau mempertahankannya. Ini berkaitan dengan aspek medis dan kelangsungan hidup korban ke depannya.
Advertisement
Namun, pada perempuan dengan gangguan jiwa, terkadang ada kesulitan tersendiri dalam menentukan pilihan ini. Perempuan dengan disabilitas termasuk disabilitas mental merupakan kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan seksual. Tak jarang, mereka ditemukan hamil tanpa diketahui kapan kekerasannya terjadi.
Lantas, siapa yang paling berhak memutuskan aborsi atau tidak pada perempuan dengan gangguan jiwa?
Menjawab hal ini, Koordinator Jaringan SAWG, Ika Ayu menyampaikan bahwa keputusan berada di tangan korban.
“Keputusan melanjutkan atau menghentikan kehamilan itu ada pada orang yang sedang mengalami kehamilan (korban kekerasan seksual). Nah, soal situasi khusus seperti gangguan kejiwaan, dibutuhkan pendamping yang mengetahui di situasi seperti apa korban bisa diajak bicara,” kata Ika dalam temu media di Kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (2/6/2023).
“Tetapi (meski didampingi) yang berhak menentukan memberhentikan kehamilan tetap yang sedang hamil. Kehamilan itu adalah hak dari yang hamil dalam situasi apapun,” tambahnya.
Akses Aborsi untuk Difabel Korban Kekerasan Seksual
Ika menambahkan, sejauh ini tidak ada akses aborsi aman bagi korban kekerasan seksual yang menyandang disabilitas.
“Akses aborsi bagi penyandang disabilitas selama ini, tidak ada. Banyak sekali yang coba mencari akses, tapi bahkan memikirkan untuk aborsi atau tidak pun sudah kesulitan. Karena stigma pada aborsi ini kuat sekali. Aborsi masih dianggap sebagai tindakan yang sangat berbahaya.”
Ika tak memungkiri bahwa memang ada praktik aborsi yang tidak aman dan membahayakan, tapi sebetulnya ada pula aborsi yang prosedurnya aman.
“Kita hanya berkutat pada stigma, dianggap tidak bermoral, tidak berperikemanusiaan, tindakan pembunuhan, kita perlu cek lagi ini adalah satu bagian esensial dari sebuah layanan kesehatan.”
“Aborsi selalu diasosiasikan dengan hak hidup, tapi korban yang harus menanggung kehamilan dan membesarkan bayi yang dilahirkan itu tidak dipikirkan,” ujar Ika.
Advertisement
Layanan Kesehatan Seksual dalam RUU Kesehatan
Ika juga membahas soal layanan kesehatan reproduksi terutama bagi korban kekerasan seksual dan kelompok rentan dalam RUU Kesehatan. Menurutnya, ini perlu diatur dengan standar hak asasi manusia.
Aturan soal layanan kesehatan seksual juga perlu memiliki prinsip layanan yang komprehensif dan berpusat pada pasien.
Akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi (KSR) yang komprehensif merupakan hak asasi manusia yang fundamental. Ketika akses atas layanan esensial ini tidak terpenuhi, maka seluruh spektrum hak yang dimilikinya akan terdampak.
Pemulihan Kesehatan Seksual dan Reproduksi bagi Korban Kekerasan
Salah satu layanan yang hingga hari ini tidak pernah tersedia adalah pemulihan kesehatan seksual dan reproduksi bagi korban kekerasan seksual.
Padahal, ini telah diatur dalam berbagai aturan seperti Peraturan Pemerintah (PP) 61/2014, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 3/2016, serta aturan turunan lainnya.
Adanya peningkatan kasus kekerasan seksual di tiap tahunnya, perlu disikapi dengan penyediaan layanan yang terkoordinasi dan terintegrasi. Mengingat, sebagian besar korban kekerasan seksual tidak memiliki akses ke dukungan psikososial, hukum, dan kesehatan yang mereka butuhkan untuk menavigasi kejadian traumatis yang dialami.
“Dalam hal ini, korban berusia anak menghadapi kerentanan yang berlipat disebabkan oleh tidak mumpuninya layanan pemulihan pasca-perkosaan. Termasuk ke layanan aborsi yang aman dan legal,” kata Ika Ayu.
Advertisement