Jelang Pilpres Taiwan 2024, Posisi Para Capres Soal Ketegangan dengan China Jadi Sorotan

Pemilihan presiden di Taiwan Januari 2024 mendatang untuk menggantikan Presiden Tsai Ing-wen yang masa jabatannya akan berakhir.

oleh Hariz Barak diperbarui 03 Jun 2023, 15:01 WIB
Tentara yang memegang bendera Taiwan terlihat saat latihan peningkatan kesiapsiagaan mensimulasikan pertahanan terhadap gangguan militer China jelang Tahun Baru Imlek di Kota Kaohsiung, Taiwan, 11 Januari 2023. China memperbarui ancamannya untuk menyerang Taiwan dan memperingatkan bahwa negara tersebut telah "bermain api". (AP Photo/Daniel Ceng)

Liputan6.com, Taipei - Persaingan perebutan kursi orang nomor satu di Taiwan telah dimulai, beberapa bulan jelang pemilihan presiden di Pulau Formosa Januari 2024 mendatang untuk menggantikan Presiden Tsai Ing-wen yang masa jabatannya akan berakhir.

Partai oposisi Kuomintang (KMT) secara resmi memilih Walikota New Taipei Hou Yu-ih sebagai kandidatnya. Ia akan menghadapi Wakil Presiden Lai Ching-te, bakal calon presiden dari Partai Progresif Demokratik (DPP) yang memerintah dan Mantan Walikota Taipei Ko Wen-je dari Partai Rakyat Taiwan (TPP).

Isu China atau Hubungan Lintas Selat (cross-strait relation) kemungkinan akan memainkan peran sentral dalam pemilihan presiden tahun depan. Analis politik Taiwan mulai memetakan bagaimana para bakal calon presiden tersebut akan mengambil sikap dalam hubungan Taipei - Beijing.

Seorang analis menggambarkan bahwa Hou Yu-ih kurang berpengalaman dalam menangani urusan lintas selat dan internasional.

"Pengalaman politik Hou sebagian besar domestik, setelah bertugas di kepolisian selama bertahun-tahun dan kemudian bertugas di pemerintahan New Taipei sebagai wakil walikota dan walikota, dan dia tidak pernah menampilkan dirinya dalam isu lintas selat atau urusan internasional," kata Shen Yu-chung, seorang profesor ilmu politik di Universitas Tunghai, dikutip dari CNA (3/6/2023).

Kuomintang, partai Hou, merupakan partai di Taiwan yang dikenal memiliki saluran komunikasi dengan Tiongkok daratan. Ketua KMT Eric Chu pernah bertemu dengan pemimpin Tiongkok Xi Jinping pada 2015.

Hou pribadi, tidak memiliki hubungan kuat dengan pejabat Tiongkok, kata analis lain yang meragukan apakah politisi itu bisa melakukan hal serupa seperti seniornya.

"Namun, perlu dicatat bagwa Hou baru-baru ini untuk menolak kemerdekaan Taiwan dan formula 'satu negara, dua sistem' untuk Taiwan yang diusulkan oleh Beijing," kata Liao Da-chi, profesor di Universitas Nasional Sun Yat-sen.

Liao menambahkan bahwa untuk saat ini, belum jelas bagaimana Hou akan membawa arah kebijakannya Hubungan Lintas Selat; retorika konflik atau perdamaian.

 

Pembawa bendera Angkatan Udara Taiwan melewati salah satu jet tempur F-16V yang baru di pangkalan Angkatan Udara di Chiayi di barat daya Taiwan, Kamis (18/11/2021). Langkah Taiwan tersebut untuk meningkatkan kemampuan pertahanannya dalam menghadapi ancaman berkelanjutan dari China. (AP Photo/Johnson

Hubungan Lintas Selat merupakan label yang diberikan untuk mengidentifikasi relasi Taiwan-China.

Taiwan dan China saling memperebutkan legitimasi kepemimpinan yang sah atas Tiongkok Daratan dan Pulau Taiwan. Konflik ini berubah menjadi ketegangan diplomatik yang telah berlangsung sejak akhir perang saudara Tiongkok 1949 antara Komunis China dengan pro-republik (yang kala itu dipimpin oleh Kuomintang).

China menyebut Taiwan sebagai wilayah miliknya, dan akan mengendalikan mereka secara paksa jika perlu. Sebaliknya, pemerintahan 'Republic of China' (RoC) di Taipei menyebut diri mereka sebagai pemimpin sah atas Taiwan --dan dalam beberapa konteks, termasuk Tiongkok daratan. Saling klaim ini dikenal dengan konsep 'satu negara, satu sistem'.

Mayoritas negara di dunia mengakui secara diplomatik pemerintahan China di Beijing. Berbeda dengan Taiwan yang hanya diakui secara formal oleh segelintir negara. Namun, banyak negara memiliki hubungan de facto layaknya relasi diplomatik resmi dengan Taiwan.

Berbagai solusi untuk mengakhiri konflik --yang kini bermanifestasi menjadi sebuah konflik proksi antara Amerika Serikat dan China-- telah dibicarakan. Seperti, konsep 'satu negara, dua sistem' sebagaimana hubungan China dengan Hong Kong dan Makau; atau; konsep 'dua negara', dengan masing-masing negara merdeka.

Tapi, kedua belah pihak belum mencapai kata sepakat dan terus bertahan pada status quo berdasarkan 'Konsensus 1992', mengacu pada pemahaman diam-diam bahwa kedua sisi mengakui hanya ada 'satu Tiongkok', dengan masing-masing memiliki interpretasinya sendiri tentang apa arti Tiongkok.

 


Posisi Kandidat Lain

Latihan perang itu mencakup simulasi mengepung Taiwan sebagai respons atas kunjungan Presiden Tsai Ing Wen ke Amerika Serikat (AS) pekan lalu. (An Ni/Xinhua via AP)

Lai Ching-te, bakal calon presiden dari Partai DPP, pada lebih dari satu kesempatan menggambarkan dirinya sebagai "pekerja kemerdekaan Taiwan yang pragmatis." Analis menggambarkan sikap Lai sebagai kandidat yang akan membawa Taiwan lebih dekat ke konflik dengan China.

Pria yang saat ini menjabat sebagai wakil presiden Taiwan itu telah berusaha untuk menghilangkan keraguan tentang pernyataan pro-kemerdekaannya di masa lalu, dengan mengatakan Taiwan sudah menjadi negara berdaulat yang merdeka --yang berarti tidak perlu mendorong kemerdekaan de-jure.

Dia juga berjanji untuk melanjutkan kebijakan lintas selat dari Presiden Tsai Ing-wen jika terpilih sebagai presiden pada tahun 2024. Itu berfokus pada menegaskan kedaulatan Taiwan secara internasional dan menggalang dukungan global untuk melawan potensi ancaman Beijing.

Partai Lai, DPP, juga menolak 'Konsensus 1992', dengan alasan bahwa menyetujuinya menyiratkan penerimaan klaim China atas Taiwan, dan juga telah menarik paralel antara 'Konsensus 1992' dan formula 'satu negara, dua sistem' Beijing untuk Taiwan.

Sementara itu, Ko Wen-je dari Partai TPP memposisikan dirinya sebagai di tengah-tengah Hou dan Lai.

Ko mengklaim bahwa ia lebih mampu menangani hubungan Taiwan dengan China, dan hubungan Taipei dengan Amerika Serikat daripada dua lawannya.

Ia juga telah menggembar-gemborkan apa yang disebut pendekatan "pragmatis" untuk berurusan dengan China dan untuk terlibat dalam dialog dengan Beijing.

"Ko telah lebih dari sekali menyampaikan gagasan bahwa 'kedua sisi Selat Taiwan adalah bagian dari satu keluarga', sebuah frasa yang sering digunakan oleh Beijing untuk menekankan kedekatan budaya antara Taiwan dan Tiongkok," Liao Da-chi, profesor di Universitas Nasional Sun Yat-sen.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya