Liputan6.com, Jakarta - Harga batu bara termal global akan mencapai kisaran USD 200 atau setara Rp2,9 juta per ton. Harga batu bara ini lebih kecil atau setengah dari rekor harga batu bara tertinggi pada 2022, menurut analis dan pejabat industri, dengan meningkatnya pasokan memberikan kelonggaran bagi konsumen yang diguncang oleh volatilitas tahun lalu.
Lantas, bagaimana dampaknya terhadap emiten batu bara?
Advertisement
Head of Investment Information Mirae Asset Sekuritas Roger MM mengatakan, tekanan pada harga komoditas memang terjadi pada beberapa bulan terakhir dan efek dari kenaikan suku bunga yang agresif dari the Fed memunculkan kemungkinan resesi.
"Namun dengan membaiknya aktivitas manufaktur dalam waktu dekat, permintaan batu bara utamanya dari China akan relatif tetap tinggi tahun ini," kata Roger kepada Liputan6.com, ditulis Minggu (4/6/2023).
Sebagai catatan, China sudah menghentikan operasi di 32 lokasi produksi batu bara menyusul kecelakaan pada Februari. Dengan demikian, pandangan Mirae Asset Sekuritas netral untuk sektor batu bara dengan pilihan PTBA, ADRO, dan ITMG
"Dari sisi suplai, dengan pencabutan larangan impor batubara Australia ke China tentunya akan meningkatkan produksi batu bara Australia ke depan," imbuhnya.
Sementara itu, Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani mengatakan, investor sebaiknya menghindari saham batu bara saat ini.
"Sebagai contoh bisa dilihat saham ADRO, ITMG, dan PTBA di mana pergerakan saham tersebut sangat bergantung terhadap pergerakan underlying komoditas nya yaitu harga NEWCASTLE COAL. saat ini coal lagi downtrending dan sentimen terkait coal masih negatif," kata Arjun.
Sejumlah Faktor yang Pengaruhi Harga Batu Bara
Selain itu, ia juga menyebut beberapa faktor yang memberikan pengaruh terhadap emiten batu bara. Misalnya, ketidakpastian terkait resesi global dan membuat ketidakpastian terkait permintaan komoditas termasuk batu bara dalam masa mendatang ini membuat tekanan. Selain itu, harga komoditas seperti batu bara sudah melonjak tahun lalu.
"Jadi tahun ini ada koreksi dan ini wajar karena harga nya sudah inflated secara historis dan kalau kita lihat pasar lagi berharap pembukaan ekonomi China bisa menjadi penopang untuk kenaikan harga komoditas karena permintaan mereka akan melonjak," katanya.
Dia bilang, walaupun jika melihat efek re-opening yang membuat kenaikan permintaan energi dari China, hal itu dikarenakan kenaikan kegiatan ekonomi dari China setelah re-opening pemulihan ekonominya masih tidak merata dan tidak sekuat yang dibayangkan.
Dengan demikian, hal tersebut membuat ketidakpastian di pasar terkait pemulihan ekonomi China dan efek positif terhadap kenaikan harga komoditas yang dibayangkan terbatas.
"Jadi saat ini saham batu bara kurang kondusif ada banyak pilihan saham dari sektor yang lain yang jauh lebih menarik untuk investor," ujar dia.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual saham. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Advertisement
Harga Komoditas Melandai, Saham Emiten Batu Bara Tetap Simpan Potensi Cuan
Sebelumnya, saham emiten batu bara dinilai masih menarik asalkan perusahaan tersebut melakukan diversifikasi bisnis.
Analis Jasa Utama Capital Sekuritas, Cheril Tanuwijaya menuturkan, secara umum sektor energi sudah tidak lagi menjadi unggulan. Sebab, harga komoditas sudah tidak setinggi tahun sebelumnya dan saat ini komoditas tersebut sudah mengalami normalisasi supply.
Namun, saham-saham emiten batu bara tetap memiliki daya tarik bagi investor. Hal ini dengan catatan emiten yang bersangkutan melakukan diversifikasi bisnis seperti hilirisasi batu bara atau masuk ke bisnis komoditas lainnya.
"Misalnya, saham ADMR masih menarik karena dia produsen batu bara metalurgi sebagai bahan baku industri logam dan energinya tinggi," kata Cheril kepada Liputan6.com, ditulis Kamis (18/5/2023).
Dengan demikian, Cheril merekomendasikan saham ADMR dengan target harga Rp 1.000 per saham.
Sementara itu, Analis Pertambangan sekaligus Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Bisman Bhaktiar menilai penurunan harga batu bara akan memengaruhi saham emiten batu bara. Akan tetapi, pengaruh tersebut tidak begitu signifikan.
Menurut ia, saham emiten batu bara tetap memiliki prospek. Sebab, penurunan tidak drastis, tetapi kebutuhan akan tetap tinggi sehingga di waktu mendatang masih berpotensi meningkat. Bagi investor, Bisman merekomendasikan saham emiten batu bara dengan kapitalisasi besar, seperti ADRO.
"Rekomendasi pilihan pada emiten besar masih lebih aman, apalagi beberapa emiten yang sudah dan bersiap ekspansi di energi terbarukan ke depan akan menarik," kata Bisman.
Meski demikian, investor perlu memperhatikan beberapa sentimen yang langsung berpengaruh pada harga batu bara yang tentunya berdampak pada harga sahamnya. Misalnya, perkembangan perang Rusia-Ukraina, tren isu global transisi energi dan kecenderungan kenaikan permintaan dan harga menjelang musim dingin di Eropa.