Liputan6.com, Paris - Duta Besar China meminta agar kebebasan berbicara supaya dijamin setelah ia menuai kritikan akibat retorikanya soal negara-negara bekas Uni Soviet. Ia berkata tindakan jurnalis tidak adil kepadanya karena menyerang pendapat pribadinya.
Sebelumnya, Dubes China di Prancis Lu Shaye menyebut negara-negara bekas Soviet "tidak memiliki status aktual dalam hukum internasional". Hal itu ia ucapkan di sebuah wawancara dengan saluran TV Prancis.
Advertisement
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China pun harus memberikan klarifikasi bahwa China mengakui kedaulatan negara-negara bekas Soviet tersebut.
Dubes Lu Shaye lantas menegaskan bahwa ia semestinya tak dilarang untuk mengutarakan pendapatnya. Menurutnya, bila tak setuju maka bisa dibicarakan.
"Ini hanya opini personal, jika seseorang tidak setuju, kita bisa diskusikan, tidak perlu menyerang saya," ujar Dubes Lu Shaye seperti dilansir media pemerintah China, Global Times, Minggu (4/6/2023).
Menurut Lu Shaye, perbedaan pendapat pasti ada dalam isu internasional dan meminta agar kebebasan berbicara di publik haruslah dijamin. Ia pun menyindir Barat di konflik Kosovo dan Serbia, sindiran ini sering dipakai pihak Rusia juga.
Lu Shaye mengeluhkan bahwa setelah wawancara kontroversial tersebut, pihak jurnalis mengundang para pakar-pakar China untuk mengkritiknya. Ia berkata hal tersebut "tidaklah baik".
Lebih lanjut, Lu Shaye berkata ucapannya sebaiknya digunakan untuk berdiskusi soal sejarah terkait runtuhnya Uni Soviet. Lu Shaye turut berkata bahwa ucapannya tidak berdampak ke hubungan diplomatik antara China dan negara-negara bekas Soviet.
Posisi China Terhadap Ukraina
Ia pun berkata China adalah negara pertama yang menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara tersebut.
"Pandangan-pandangan personal saya tidak mencegah pemerintah China untuk memelihara relasi-relasi resmi dengan bekas republik-republik Soviet ini. China adalah negara pertama yang mendirikan relasi-relasi diplomatik dengan para bekas republik-republik itu setelah runtuhnya Uni Soviet," ujarnya.
Lu Shaye menambahkan bahwa ada pihak yang membesar-besarkan ucapannya.
"Apa yang saya ucapkan tidak kontradiksi dengan kebijakan luar negeri resmi China. Beberapa orang membesar-besarkannya," ucap Lu Shaye.
Sementara, jubir Kemlu China Mao Ning menyebut negaranya siap bekerja sama dengan pihak-pihak internasional untuk mencari solusi krisis di Ukraina.
Ketika ditanya jurnalis asing apakah China mengakui Ukraina sebagai negara berdaulat, Global Times melaporkan bahwa Mao Ning tertawa dan menjawab:
"Negara yang Anda sebutkan adalah anggota formal dari PBB, dan hanya negara berdaulat yang dapat menjadi anggota formal PBB," ujar Mao Ning dalam konferensi persnya. Ia tidak menjawab secara langsung soal substansi pertanyaan dari jurnalis tersebut mengenai posisi China.
Advertisement
Usulan Damai Prabowo Ditolak Ukraina
Sebelumnya dilaporkan, Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto mengusulkan solusi perdamaian untuk Perang di Ukraina dengan menyerukan zona demiliterisasi dan referendum PBB pada apa yang disebutnya sebagai wilayah yang disengketakan.
Berbicara dalam pertemuan tahunan pejabat pertahanan dan militer dari seluruh dunia, Shangri-la Dialogue, Sabtu 3 Juni 2023, pertama-tama Prabowo menyerukan dibuatnya deklarasi yang menyerukan penghentian permusuhan.
Kedua, Prabowo mengusulkan rencana multi-poin termasuk gencatan senjata "pada posisi saat ini dari kedua pihak yang berkonflik" dan membangun zona demiliterisasi dengan mundur 15 kilometer (hampir 10 mil) dari posisi depan masing-masing pihak --Reuters mewartakan dikutip dari US News (3/6/2023).
Zona demiliterisasi harus diamati dan dipantau oleh pasukan penjaga perdamaian yang dikerahkan oleh PBB, kata Prabowo.
Ketiga, ia menambahkan bahwa referendum PBB harus diadakan "untuk memastikan secara objektif keinginan mayoritas penduduk di berbagai wilayah yang disengketakan".
"Meminta Persatuan Bangsa-Bangsa untuk membentuk pasukan penjaga perdamaian dan menempatkan di wilayah demiliterisasi sekarang ini. Kemudian PBB menggelar referendum kepada masyarakat yang tinggal di wilayah demiliterisasi," usul Prabowo, dikutip dari siaran pers yang diterima Liputan6.com.
"Saya mengusulkan agar Shangri-la Dialogue menemukan cara untuk mengeluarkan deklarasi mendesak Ukraina dan Rusia untuk segera memulai negosiasi perdamaian," tambah Menhan RI.
Ditolak Ukraina
Menteri Pertahanan Ukraina Oleksii Reznikov, pada hari yang sama menolak rencana yang diajukan oleh Prabowo, menyebutnya sebagai proposal yang "aneh".
"Kedengarannya seperti rencana Rusia, bukan rencana Indonesia," kata Reznikov seperti dikutip dari France24 (3/6).
"Kami tidak membutuhkan mediator ini datang kepada kami dengan rencana aneh ini," tambahnya.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Ukraina, Oleg Nikolenko, merespons usulan Prabowo dengan mengatakan, "Rusia telah melakukan tindakan agresi (hingga) menduduki wilayah Ukraina. Proposal gencatan senjata apa pun (justru hanya) akan memungkinkan Rusia untuk berkumpul kembali dan mengumpulkan kekuatan," kata Nikolenko seperti dikutip dari Reuters.
Terkait soal usulan referendum yang disebutkan Prabowo, Nikolenko merespons, "Tidak ada wilayah yang disengketakan antara Ukraina dan Federasi Rusia untuk mengadakan referendum di sana. Rusia harus menarik diri dari wilayah Ukraina, dan Ukraina harus mengembalikan integritas teritorialnya di dalam perbatasan yang diakui secara internasional. Tidak ada skenario alternatif." ujarnya dikutip dari The Guardian.
"Di wilayah pendudukan, tentara Rusia melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida. Rusia sekarang berusaha dengan segala cara yang mungkin untuk mengganggu serangan balik Ukraina," lanjut Nikolenko.
Menhan RI Prabowo mengusulkan sejumlah poin perdamaian Rusia-Ukraina meliputi: "penghentian segera permusuhan", gencatan senjata "pada posisi saat ini", zona demiliterisasi yang akan dijamin oleh pengamat dan pasukan penjaga perdamaian PBB dan akhirnya "referendum di wilayah yang disengketakan" yang diselenggarakan oleh PBB.
Proposal Prabowo juga dikritik di dalam pertemuan Shangri-La Dialogue oleh Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell. "Kita perlu membawa perdamaian ke Ukraina, tetapi itu harus menjadi perdamaian yang adil, bukan perdamaian penyerahan diri," kata Borrell, mengomentari proposal Indonesia.
Advertisement