Mengenal Juniator Tulius, Antropolog "Si Penyambung Lidah" untuk Mitigasi Bencana

Sering kali hasil penelitian ilmuan atau geolog Indonesia yang telah dipublikasikan dalam bentuk jurnal tidak tersampaikan dengan baik di masyarakat.

oleh Ika Defianti diperbarui 11 Jun 2023, 15:36 WIB
Juniator Tulius, Antropolog asal Mentawai, Sumatera Barat (kanan) saat melakukan distribusi poster-poster mitigasi bencana tsunami di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 26 Januari 2023. (Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Senyum Juniator Tulius semringah ketika bertemu tim Liputan6.com beberapa waktu lalu. Saat itu, pria yang akrab dipanggil sejawatnya dengan sebutan Tulik ini tengah fokus bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terkait penelitian Sesar Lembang.

Sebagai research fellow di Nanyang Technological University Singapore, Tulius sudah terbiasa mendampingi para geolog dalam sebuah penelitian, baik di dalam ataupun luar negeri.

Sebenarnya, antropologi yang dia pelajari merupakan kombinasi kebudayaan yang memfokuskan pada tradisi lisan masyarakat. Namun seiring waktu, banyak hal yang dipelajarinya. Tulius punya alasan tersendiri saat memilih mendalami tradisi lisan masyarakat.

Menurut dia, tidak semua masyarakat di Indonesia memiliki tradisi tulis atau aksara. Pada tradisi lisan, ilmu pengetahuan yang diketahui nenek moyang biasanya diturunkan dari generasi ke generasi. Misalnya pengungkapan sejarah penyebaran masyarakat Mentawai berdasarkan berbagai kajian cerita.

Mulai keluarga, kerabat yang tersambung, dengan yang lainnya. Berdasarkan hal tersebut, ditemukan benang merah penyebab perpindahan atau penyebaran masyarakat di wilayah itu.

"Ada kaitannya dengan berbagai faktor kenapa mereka pindah, salah satunya adalah faktor bencana. Bencana ini macam-macam. Ada bencana alam, bencana sosial, dan bencana alam ya seperti kita ketahui dari berbagai ada bencana gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor," kata Tulius.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Tulius melanjutkan pendidikan magister dan doktoralnya di Universitas Leiden, Belanda.

Selesai pendidikan doktoral, dia diterima sebagai research fellow di Earth Observatory of Singapore, Nanyang Technological sebagai community engagement specialist (pakar keterlibatan masyarakat) dalam kajian bencana. Di sini dia bekerja sama para geolog di lembaga tempatnya bekerja.

Dalam kajian kebencanaan tersebut, sering kali Tulius ikut serta dalam kegiatan masyarakat. Dia berperan sebagai pihak yang menjembatani antara geolog dengan masyarakat.

Sebab, sering kali para geolog atau ilmuwan bumi fokus hal-hal yang bersifat teknis. Seperti fokus pada pergeseran lempeng, pengukuran, hingga pengamatan alat ukur yang telah ditentukan. Namun, itu tidak dituangkan dalam bentuk komunikasi kepada masyarakat setempat.

"Kadang-kadang mereka juga tidak punya perhatian di bidang itu (komunikasi dengan masyarakat). Maka itu, mereka membutuhkan seorang ahli ilmu sosial atau ahli ilmu budaya, peranan saya di situ. Maka saya sebagai antropolog harus kembali mempelajari apa yang dimaksud dalam ilmu bumi itu, ilmu kebumian," ucapnya.

Berbagai istilah mengenai ilmu bumi yang disampaikan oleh para geolog kemudian disampaikan oleh Tulius kepada masyarakat dengan pemilihan kata yang mudah dipahami. Contohnya, soal adanya kekuatan gempa bumi yang berkisar magnitudo 8,8.

Menurut antropolog asal Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai ini, banyak masyarakat tidak memahami seberapa besar kekuatan gempa di atas magnitudo 8 itu.

Tulius menjelaskan kepada masyarakat, gempa berkekuatan di atas magnitufo 8 itu seperti kita berdiri di dalam perahu yang digoyang sehingga kita tidak dapat berdiri. Jadi, Tulius menjelaskan fenomena alam itu dengan mengambil contoh-contoh yang ada di masyarakat.

"Kalau orang biasa, lihat 6 meter itu gimana tingginya ya, maka saya menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal. Misalnya, 6 meter itu saya coba ambil bambu. Lalu saya letakkan di depan rumah mereka, rumah masyarakat, lalu saya katakan tsunami itu bisa mempunyai ketinggian seperti tingginya ini nih, rumah ini. Lalu mereka bilang, itu baru 6 meter, tingginya bisa mencapai 12 meter, berarti dua kali lipat," paparnya.


Pemerintah Dinilai Kurang Memberikan Perhatian untuk Mitigasi Kebencanaan

Antropolog kebencanaan Juniator Tulius sedang menjelaskan mengenai struktur bangunan di Desa Muril Rahayu, Bandung Barat. (Liputan6.com)

 

Sementara untuk menyelamatkan diri dari tsunami, Tulius meminta kepada masyarakat agar melakukan evakuasi tempat yang lebih tinggi dengan berbagai arahan lainnya.

Menurut Tulius, sebenarnya hasil penelitian dari para geolog sudah dipublikasikan secara ilmiah melalui jurnal. Namun, memang tak semua masyarakat mengakses hal tersebut.

Selain itu, Tulius menilai, perhatian lembaga pemerintah sangat kecil dalam hal kebencanaan.

"Kita punya BPBD, kita punya BNPB, kita juga punya BMKG yang memberikan informasi kebencanaan. Tapi kita belum melihat ada lembaga yang menjangkau masyarakat dengan edukasi atau apa pun secara masif. Kecuali ketika bencana terjadi, baru semua orang mulai sibuk melakukan ini, melakukan itu," ujar Tulius.

Padahal, kata dia, banyak hal yang perlu disiapkan sebagai mitigasi kebencaan yang ada di wilayah Indonesia, terutama pendampingan untuk masyarakat. Salah satunya mengenai pembangunan rumah di wilayah rawan gempa. Yakni untuk mengurangi risiko terjadinya kerusakan pada bangunan.

"Lembaga seperti itu yang kita lihat belum ada. Di Indonesia dari Sabang sampai Merauke itu luas, nah luasnya ini juga mengundang banyak perhatian dan daerah kita bencananya bermacam-macam," ujarnya.

Tulius menambahkan, "Bencana pantai, misalnya, berpotensi terjadi bencana terjangan tsunami. Lalu ada daerah yang lain rawan terhadap letusan gunung berapi, tanah longsor atau banjir. Yang jadi persoalan sekarang adalah pemetaan bencana di Indonesia."

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya