Liputan6.com, Jakarta - Indonesia sebenarnya telah memiliki gerakan 6 literasi dasar yang harus dimiliki masyarakat, mulai dari literasi baca tulis, yaitu kecakapan untuk memahami isi teks tertulis, baik yang tersirat maupun yang tersurat, untuk mengembangkan pengetahuan dan potensi diri. Literasi Numerasi, yaitu kecakapan menggunakan berbagai macam angka dan simbol yang terkait dengan matematika dasar untuk memecahlan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari.
Ketiga ada Literasi Sains, yaitu kecakapan memahami fenomena alam dan sosial yang terjadi di sekitar serta mampu mengambil keputusan tepat secara ilmiah. Keemapat ada Literasi Digital, yaitu kecakapan menggunakan media digital dengan beretika dan bertanggung jawab untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi.
Advertisement
Kelima ada Literasi Finansial, yaitu kecakapan untuk mengaplikasikan pemahaman tentang konsep, risiko, keterampilan danmotivasi dalam konteks finansial. Terakhir ada Literasi Budaya dan Kewargaan, yaitu kecakapan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa serta memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Untuk menjadi manusia yang berbudaya literasi, keenamnya minimal harus diketahui dan dimiliki. Hal itu diungkapkan Ubudiyah Setiawati, salah satu dari 15 Pustakawan Berprestasi Nasional 2023 pilihan Perpustakaan Nasional (Perpusnas), kepada Liputan6.com beberapa waktu lalu. Ubudiyah mengatakan, keenam budaya literasi tersebut sebenarnya sudah berjalan dengan baik di masyarakat Indonesia karena sudah diimplementasikan di instansi-instansi Pendidikan, terutama di sekolah dasar.
"Tapi kita seperti melompat, sehingga terburu-buru ke literasi digital tanpa mengawalinya dengan budaya baca tulis dahulu," katanya.
Menjadi bangsa dengan ranking kedua terbawah soal minat baca tentu bukan prestasi yang membanggakan. Keadaan ini perlu dicarikan solusinya, mengingat para bapak bangsa Indonesia terdahulu, seperti Bung Karno, Bung Hatta, hingga Tan Malaka adalah sosok yang lahir dari tradisi membaca, yang seharusnya jiwa itu menular ke generasi penerusnya, yaitu orang-orang Indonesia saat ini.
Ubudiyah mengatakan, ada tiga langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat baca orang Indonesia. Yang pertama, katanya, mulai dari pemetaan terlebih dahulu. Masuk ke komunitas-komunitas di daerah, karena dengan pendekatan berbasis komunitas, pesan yang ingin disampaikan akan lebih mudah dijangkau. Kedua, persediaan bahan bacaan. Bahan bacaan di sni bukan dilihat bagus atau jelek, tapi lebi kepada segmennya. Ketiga, tersedianya perpustakaan.
"Mereka butuh bacaan seperti apa. Kemana mereka mendapatkan bacaan yang baik dan tepat, mudah diakses. Perpustakaan adalah salah satunya. Perpustakaan tidak harus mewah tapi sesuai dengan kebutuhan mereka," kata Ubudiyah.
Hal itu bisa dilakukan jika kesenjangan buku antara desa dan kota bisa dipangkas. Dalam pandangan Ubudiyah, pemerintah sangat punya power dan kemampuan melalui kebijakan-kebijakan yang bisa dilakukannya. Misal jika tak ingin mengeluarkan uang terlalu banyak, bisa dengan membuka donasi, memberikan buku layak baca, misal orang-orang dari kota atau perpustakaan di sekolah yang kelebihan buku bacaan dan tidak terpakai, bisa dikerahkan ke daerah-daerah.
"Sebenarnya ini sangat mudah bagi pemerintah dengan menggandeng layanan logistik. Sehingga pemerintah tidak perlu mengeluarkan anggaran yang besar, hanya sesuai dengan kebutuhan programnya. Karena banyak juga ternyata masyarakat Indonesia yang ingin menyumbangkan buku tapi mereka gak tahu mau nyumbang kemana. Tapi butuh observasi juga, daerah mana butuh buku apa," kata Ubudiyah.
Pada tahap itulah peran besar perustakaan di daerah menumbuhkan minat baca sambil ikut bergerilya memangkas kesenjangan buku sangat diperlukan. Perpustakaan dewasa ini telah menjadi simbol peradaban, tak ada negara maju mana pun di dunia yang tidak punya tradisi membaca di masyarakatnya. Perpustakaan menjadi sumber informasi akurat, segala resources ilmu pengetahuan ada di dalamnya.
"Tapi sumber-sumber pengetahuan ini untuk siapa dan bagaimana hasilnya, ini jadi peran pustakawan untuk menyasar lingkungan, dari yang terdekat hingga lingkungan terjauh,"kata Ubudiyah.
Menurut Ubudiyah, stigma perpustakaan yang kaku, yang hanya jadi tempat kumpul orang-orang ‘berkacama tebal’ sudah tidak relevan lagi. Perpustakaan bahkan kini bisa menjadi destinasi eduwisata. Tempat yang bukan hanya asyik untuk membaca, tapi juga tempat sharing ilmu pengetahuan, tempat kolaborasi menciptakan beragam inovasi yang mendatangkan nilai ekonomi. Selain juga menjadi tempat wisata edukasi karena sudah banyak perpustakaan yang dilengkapi beragam fasilitas seru.
"Orang dari desa datang ke kota cobalah datang ke perpustakaan, itu juga tempat wisata. Banyak sumber informasi, paling tidak ada menempel saat kembali ke desa," katanya.
Menjadikan Perpus 'Teman' Terbaik
Sebagai salah satu Pustakawan Berprestasi Nasional 2023, Ubudiyah juga telah lama berupaya agar perpustakaan menjadi tempat yang merakyat. Misal di UNIKOM, institusi tempatnya berkarier sebagai pustakawan, Ubudiyah membuat motto 'Library Is Your Best Friend'. Dengan motto itu, stigma perpustakaan yang hanya menjadi gudang tumpukan buku akan hilang, berganti menjadi tempat sekaligus teman terbaik bagi setiap orang.
"Jadi perpustakaan di UNIKOM bukanya hanya untuk tempat baca saja. Kalau mereka butuh tempat untuk rapat kami sediakan. Untuk diskusi kami sediakan. Tidak dipungut biaya. Layanan penggunaannya juga sudah terintegrasi dengan akademik," katanya.
Ubudiyah berharap, para pustakawan yang ada di Indonesia bisa menjadi tokoh-tokoh pergerakan di komunitas, masuk ke relung-relung masyarakat mulai dari lingkup yang kecil hingga yang besar. Untuk itu, pustakawan perlu pengembangan diri, mengingat pustakawan juga punya minat khusus yang melekat pada dirinya. Pustakawan makin terspesialisasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pustawakan perlu kemudahan mendapatkan pendidikan formal. Dengan begitu akan lahir pustakawan-pustakawan yang berkualitas yang siap terjun ke daerah-daerah, ke komunitas, bekerja bersama masyarakat. Semenjak Indonesia merdeka, pendidikan adalah ranah paling dasar yang perlu mendapat pembenahan-pembenahan, dan perpustakaan menjadi salah satu triger jalannya pendidikan untuk mendatangkan kesejahteraan.
"Karena kalau pendidikannya sudah oke, kesejahteraan akan baik, insyaallah ekonomi masyarakat baik, dan bidang lain pun menunjang, sehingga kesejahteraan untuk rakyat Indonesia mudah tercapai," katanya.
Advertisement