Liputan6.com, Jakarta Presiden Joe Biden telah menandatangani Undang-Undang Penangguhan Batas Utang atau yang menunda pembayaran utang pemerintah hingga 1 Januari 2025 pada Sabtu 3 Juni lalu. Selain itu, UU ini juga mencabut pagu utang pemerintah senilai USD31,4 triliun.
Hal ini bermakna Amerika Serikat selamat dari ancaman kebangkrutan. Dalam pidatonya di Oval Office, Biden menyebut UU ini sebagai perjanjian kritis yang bisa menyelamatkan negara dari resiko krisis dan keruntuhan ekonomi.
Advertisement
“Tidak ada yang mendapatkan semua yang mereka inginkan, tetapi rakyat Amerika mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Kami menghindari krisis ekonomi dan keruntuhan ekonomi,” kata Biden seperti dilansir dari CNBC, Jakarta, Senin (5/6).
Sebagai informasi, UU ini mendapatkan persetujuan dari senat sebanyak 63, sedangkan 36 lainnya menolak. Namun persetujuan ini mendekati ambang batas dari ketentuan pengesahan UU.
Kesepakatan itu datang dengan sedikit waktu luang: Departemen Keuangan memperkirakan pemerintah federal akan kehabisan uang pada 5 Juni jika plafon utang tidak dicabut.
“Ini penting. Penting untuk semua kemajuan yang telah kita buat dalam beberapa tahun terakhir adalah menjaga kepercayaan dan penghargaan penuh dari Amerika Serikat dan mengesahkan anggaran yang terus menumbuhkan ekonomi kita dan mencerminkan nilai-nilai kita sebagai sebuah bangsa," tutur Biden.
Tanpa perjanjian , kewajiban federal seperti Jaminan Sosial, Medicare, dan gaji militer tidak akan terkirim. Kegagalan untuk mengangkat plafon utang akan mengguncang pasar keuangan global dan memicu hilangnya pekerjaan di AS.
RUU itu muncul setelah negosiasi intensif selama berminggu-minggu antara Ketua DPR dari Partai Republik Kevin McCarthy dan Gedung Putih. Kesepakatan terakhir memberi kaum konservatif beberapa kemenangan kebijakan ideologis sebagai imbalan atas suara mereka untuk menaikkan plafon utang setelah pemilihan presiden tahun depan hingga 2025.
Kondisi Utang AS Sebelum dan Setelah Pandemi Dibongkar Sri Mulyani, Ternyata Begini
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan hampir semua negara mengalami defisit ketika mengalami pandemi Covid-19. Tak terkecuali Pemerintah Amerika Serikat yang pada tahun 2020 defisit fiskalnya mencapai -14 persen dari sebelumnya di tahun 2018 defisit -6,4 persen.
“Amerika Serikat dengan kemampuan mereka mencetak utang dalam jumlah besar dan pembelinya seluruh dunia ini mereka bisa mencapai defisit minus 14 persen,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Pemerintah dengan Badan Anggaran DPR RI, Jakarta, Selasa (30/5).
Sejak tahun 2018, rasio utang Pemerintah AS juga terus mengalami peningkatan sejak tahun 2018. Kala itu, rasio utang AS terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 107,4 persen.
Saat terjadi pandemi tahun 2020, rasio utang Pemerintah AS meningkat menjadi 133,5 persen terhadap PDB. Kemudian di tahun 2022, rasio utang AS melandai menjadi 121,7 persen terhadap PDB.
Defisit fiskal AS di tahun 2022 juga mengalami penurunan menjadi -5,5 persen. Sayangnya dalam kondisi tersebut, Pemerintah AS hampir mengalami gagal bayar utang.
“Amerika saat ini menghadapi defisit minus 5,5 dan tapi Pak Ketua (Banggar, Said Abdullah) sampaikan mereka mengalami kondisi politik, apakah cap atau batas atas dari jumlah utang bisa dinaikkan,” kata Sri Mulyani.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, dalam kondisi serupa di tahun 2011 Amerika Serikat memutuskan menaikkan plafon utang. Sementara saat ini keputusan yang diambil menangguhkan pembayaran utang sampai 1 Januari 2025 mendatang.
Akibatnya kata Sri Mulyani, kalau batas batas utang AS tidak dinaikkan, Negara Paman Sam itu diperkirakan akan kembali melakukan konsolidasi yang lebih agresif. "Kalau tidak mereka harus melakukan konsolidasi yang agresif," katanya.
Advertisement
Akhirnya, Biden dan McCarthy Sepakat Naikkan Plafon Utang demi Cegah AS Bangkrut
Presiden Amerika Serikat Joe Biden Ketua DPR dari Partai Republik Kevin McCarthy telah sepakat untuk menaikkan plafon utang AS dan mencegah gagal bayar default.
Melansir BBC, Senin (29/5/2023) Biden menggambarkan kesepakatan itu sebagai kompromi yang baik untuk Amerika Serikat "karena mencegah apa yang bisa menjadi bencana default dan akan menyebabkan resesi ekonomi, rekening pensiun terdampak, dan jutaan pekerjaan hilang".
Adapun McCarthy, yang pada bagiannya mengatakan bahwa kesepakatan ini akan menandai "pengurangan yang bersejarah, reformasi konsekuensial yang akan mengangkat orang keluar dari kemiskinan ke dalam angkatan kerja".
"Tidak ada pajak baru, tidak ada program pemerintah baru," ungkapnya.
McCarthy menambahkan bahwa dia berencana untuk menyelesaikan penulisan RUU terkait plafon utang, sebelum melakukan pemungutan suara di Kongres pada 31 Mei mendatang.
Seperti diketahui, kesepakatan menaikkan plafon utang terjadi setelah negosiasi yang sengit antara Biden dan McCarthy berlangsung selama beberapa pekan, yang sekarang masih menanti persetujuan dari Kongres.
Departemen Keuangan juga memperbarui masa tenggat waktu plafon utang AS menjadi 5 Juni.