Bangun EBT, Indonesia Butuh Investasi Rp 14.889 Triliun hingga 2060

Hingga tahun 2060, Indonesia membutuhkan investasi hingga USD 1 triliun atau sekitar Rp 14.889 triliun untuk mengembangkan EBT dan transisi energi.

oleh Septian Deny diperbarui 05 Jun 2023, 11:00 WIB
Hingga tahun 2060, Indonesia membutuhkan investasi hingga USD 1 triliun atau sekitar Rp 14.889 triliun untuk mengembangkan EBT dan transisi energi. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta Keseriusan pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK)  ditunjukkan dengan menjadi salah satu negara yang pertama kali meratifikasi Paris Agreement pada tahun 2016. Salah satu komitmen transisi energi yang ditargetkan oleh Pemerintah Indonesia adalah pemanfaatan energi bersih hingga 23 persen pada tahun 2025.

Seiring upaya Indonesia untuk mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil dan merangkul sumber energi terbarukan, kemitraan strategis dengan investor internasional mendorong Indonesia menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.

Selain mengurangi penggunaan batubara, ekosistem industri yang dapat menghasilkan baterai, seperti pertambangan nikel terus dikembangkan sebagai proyek strategis nasional.

Investasi asing di sektor energi Indonesia telah mencapai tingkat tertinggi sepanjang sejarah. Investasi ini mendukung upaya pemerintah untuk mendiversifikasi bauran energi negara dan mitigasi perubahan iklim.

Menurut data Kementerian Investasi, pada tahun 2021 Indonesia mencatat kenaikan hingga 25 persen pada investasi bidang energi baru dan terbarukan (EBT). Setidaknya hingga tahun 2060, Indonesia membutuhkan investasi hingga USD 1 triliun atau sekitar Rp 14.889 triliun (kurs 14.889 per USD) untuk mengembangkan EBT dan transisi energi.

Modal dari investor global telah memfasilitasi perkembangan pesat pembangunan infrastruktur energi terbarukan dan mendorong transfer teknologi yang memungkinkan Indonesia memanfaatkan potensi energi terbarukan yang sangat besar. 

Investasi Global

Direktur Eksekutif ReforMiner Komaidi Notonegoro mengatakan Indonesia masih sangat memerlukan investasi global untuk mempercepat transaksi energi di Indonesia.

Jika hanya mengandalkan kekuatan domestik, hasilnya akan kurang optimal karena masih harus dibagi-bagi ke semua sektoral, sedangkan masalah investasi bukan hanya hanya di sektor pertambangan. Sehingga, dia menilai kolaborasi dengan investor global lebih baik dan lebih optimal dari berbagai aspek.   

“Sebetulnya kebutuhan utamanya ada di investasi. Kalau investasi masuk ke dalam negeri, secara otomatis beberapa variabel akan tercipta. Otomatis penyerapan tenaga kerja juga akan dinimati oleh domestik. Kemudian, nilai tambah ekonomi juga akan tercipta di dalam negeri,” terang Komaidi Notonegoro, dikutip Senin (5/6/2023). 

 

 

 


Investasi Asing

Ilustrasi Investasi. Foto: Freepik/Funtap

Pemerintah Indonesia telah secara aktif memfasilitasi lonjakan investasi asing ini dengan menerapkan kebijakan dan kerangka peraturan yang menguntungkan untuk menarik investor internasional. Termasuk dengan menerapkan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang dinilai akan memperbaiki iklim investasi di Indonesia.

Namun, tantangan tetap ada di jalan dalam memastikan investasi yang berkualitas dan berdampak pada proses transisi energi menuju pengembangan ekosistem baterai. Investasi yang berkualitas dapat dilihat dari adanya proses transfer teknologi, penguatan kapasitas sumber daya manusia, dan kegiatan industri yang mementingkan aspek keberlanjutan. 

Komaidi Notonegoro menambahkan untuk memaksimalkan peran perusahaan asing terhadap perekonomian di dalam negeri, Pemerintah cukup menyesuaikan dengan peta kebijakan Indonesia dalam 5,10 dan 15 tahun ke depan berdasarkan komoditas yang digarap. Contohnya, kalau berbicara tentang satu korporasi, katakanlah PT Vale Indonesia, berarti Pemerintah berbicara soal peta kebijakan subsektor mineral dan arahnya pada produksi baterai.  

 

 


Vale Indonesia

PLTA Balambano telah mendukung proses transisi energi dari PT Vale Indonesia dimana dapat mengurangi penggunaan tenaga fosil pada aktivitas tambang. (Dok. PT Vale Indonesia)

Seperti diketahui, selama ini, produk Vale Indonesia yang dihasilkan di Indonesia diterima di pasar global, antara lain sebagai pemasok baterai pada perusahaan otomotif global, Ford Motor Inc.

Di dalam negeri, aksi bisnis perusahaan juga menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian dan memberikan dampak sosial ke masyarakat. Ke depan, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) berencana membangun pabrik peleburan nikel berteknologi High-Pressure Acid Leach (HPAL) untuk menghasilkan bahan baterai kendaraan listrik.

“Nah, jika di masa kontrak sebelumya, Vale Indonesia katakanlah orientasinya ekspor, Pemerintah bisa melakukan negosiasi ulang agar direalokasi di dalam negeri karena di sini sudah ada smelternya. Vale tentunya memilih ekspor karena biasanya harga di luar lebih tinggi. Nah, bagaimana agar mereka mau memasok kebutuhan domestik? Mungkin ada treatment tertentu di aspek perpajakannya. Jadi segala sesuatnya sebetulnya bisa didiskusikan,” jelasnya. 

Tentunya ini menjadi catatan penting bagi Pemerintah Indonesia dalam mengelola investasi yang berkualitas, berorientasi pada lingkungan, dan diterima dalam pasar global.

Keberhasilan pendekatan kolaboratif Indonesia menyoroti potensi hubungan yang saling menguntungkan antara keahlian lokal dan modal internasional, memupuk masa depan yang lebih hijau sambil mengatasi tantangan global yang mendesak. 

Dengan percepatan momentum dalam investasi asing, transisi energi Indonesia telah mendapatkan daya tarik yang signifikan. Saat negara ini bergerak menuju lanskap energi yang lebih bersih dan berkelanjutan, negara ini siap menjadi contoh cemerlang dari kerja sama dan inovasi internasional yang berhasil dalam memerangi perubahan iklim.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya