Liputan6.com, Situbondo - Ketua Kelompok Masyarakat Walida Situbondo Ahmad Muhlisin mengatakan, masuknya kopi impor ke Indonesia mengancam petani kopi Indonesia.
Sebab kopi impor harganya lebih murah dibandingkan kopi lokal. Saat ini kata dia harga kopi lokal jenis Arabika Rp 130 ribu per kilogramnya, Sedangkan harga kopi impor Rp 90 ribu per kilogramnya
Advertisement
“Ini kasusnya akan sama seperti kedelai impor. Akan banyak kedai kopi beralih beli kopi impor karena harganya murah,” ujar Ahmnad Muhlisin yang juga sebagai pengusaha kopi di Situbondo Senin (5/6/2023).
Kata Muhlisin, pemerintah harus mengedalikan masuknya kopi impor karena beresiko mengancam pengusha kopi lokal. Pengendalian kopi impor bisa dilakukan dengan cara menaikan cukai kopi impor untuk melindungi kopi lokal.
“Saat ini banyak kopi impor masuk ke Indonesia dengan harga murah, seperti dari Brazil, Kolombia dan Thailand. Jadi harus dikendalikan untuk melindungi barang sendiri,” tambahnya.
Untuk diketahui, harga kopi lokal mulai naik sejak akhir 2022. Saat itu pengusaha buka harga kopi gelondongan yang baru dipetik Rp 8.000, namun saat panen harganya menjadi Rp 16.000 per kilogramnya
Pada 2023 harga kopi gelondongan berada di angka Rp16.000, padahal untuk menghasilkan 1 Kilogram kopi membutuhkan 7 kilogram kopi gelondongan dengan biaya Rp 112 ribu belum termasuk biaya produksi.
“Saat ini harga kopi mentahan siap sangrai jenis Arabika Rp130 ribu/kg, Fenomena kenaikan harga kopi ini merata di seluruh Indonesia. Bagi petaninya pasti untung. Tapi penjualanya yang agak repot. Diperparah lagi masuknya kopi impor yang harganya lebih murah,” tuturnya.
Muhsin mengatakan, saat ini Pokmas Walidah punya 450 petani kopi dengan luas lahan 1.600 hektare di kawasan lereng Gunung Argopuro Sumbermalang. Produksi kopi setiap musimnya rata-rata sekitar 500 ton kopi gelondongan.
Produksi Kopi Naik 2 Kali Lipat
Untuk tahun ini produksi kopi naik dua kali lipa tantara 800 hingga 1.000 ton. Sedangkan untuk penghasilan petani rata- rata Rp90 hingga Rp100 juta per musim. Dampak lain dibukanya industri kopi adalah serapan tenaga kerja. Ada 300-350 orang ibu-ibu bekerja saat musim kopi.
“Musim kopi berlangsung empat bulan dengan penyerapan tenaga kerja cukup banyak. Untuk tempat pengolahan seperti saya hanya bisa menyerap 20 hingga 30 orang tenaga kerja,”katanya.
Selama ini, tambah Muhsin, pihaknya melayani penjualan kopi di dalam negeri dan ekspor ke luar negeri. Untuk pasar lokal di dalam negeri ada 560 kedai kopi yang sudah bermitra lima tahun lebih.
Setiap bulanya sebanyak 560 kedai kopi yang ada di kota- kota besar tersebut bisa menyerap rata- rata 3-4 ton. Omset kotor penjualan kopi bisa mencapai Rp 300-400 juta setiap bulannya.
Selain itu, penjualan juga dilakukan melalui marketplace dengan pendapatan sekitar Rp 50 juta setiap bulanya.
“Untuk Mei 2023 ini kami mengirim kopi di dalam negeri sekitar 7 ton baik untuk kedai kemitraan maupun marketplace. Kalau dihitung pendapatan kotornya sangat besar, tapi kalau sudah dipotong biaya modal akan tinggal sedikit,” tambahnya.
Advertisement