Liputan6.com, Jakarta - Sejak draft RUU Kesehatan 'bocor' pada tahun 2022, para tenaga medis dan kesehatan gelisah. Ini karena proses rancangan RUU dinilai tidak transparan sekaligus isi RUU tersebut yang tidak memberikan rasa aman dan nyaman bagi para tenaga medis dan kesehatan untuk bekerja.
Tanggapan RUU Kesehatan Omnibus Law di atas disampaikan Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah. Menurutnya, suara atau aspirasi dari tenaga kesehatan juga masih belum didengar sepenuhnya oleh Pemerintah.
Advertisement
"Bahkan selama 3 tahun masa pandemi, para tenaga medis dan kesehatan selalu berada di garis depan dan benteng terakhir untuk melindungi Pemerintah dan masyarakat. Tidak sedikit nyawa tenaga medis dan kesehatan yang menjadi korban," jelas Harif dalam Orasi Aksi Damai Organisasi Profesi Jilid 2 yang diadakan di depan Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Senin (5/6/2023).
"Namun, usai bekerja keras membantu memulihkan situasi kesehatan di Indonesia, seruan para tenaga medis dan kesehatan akan RUU Kesehatan seperti angin lalu bagi Pemerintah, sebagaimana terjadi sebelumnya dalam pembuatan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang tidak transparan."
Belum Tampak Perbaikan Perlindungan Hukum Tenaga Kesehatan
Senada dengan Harif, Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Emi Nurjasmi menekankan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan belum terlihat ada perbaikan dari sisi perlindungan hukum tenaga medis dan kesehatan.
“Belum tampak perbaikan dari perlindungan (hukum) bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam hal kontrak kerja, sebagaimana undang-undang existing yang seharusnya cukup dibuat peraturan perundang-undangan pada tingkat di bawahnya yang lebih spesifik,” tegasnya.
Setop Pembahasan RUU Kesehatan
Pada Aksi Damai Jilid 2 hari ini, Senin, 5 Juni 2023, lebih dari 100 Ribu Tenaga Medis dan Kesehatan Lakukan Aksi Damai Serentak di seluruh wilayah di Indonesia. Tuntutannya adalah kembali menyuarakan untuk Setop Pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law.
Kali ini, sekitar 30.000 para tenaga medis dan kesehatan yang tergabung dalam 5 Organisasi Profesi, yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) serta banyak forum tenaga kesehatan dan masyarakat kesehatan kembali menyuarakan kegelisahannya dalam Aksi Damai Jilid 2.
Sementara itu, secara total, terdapat sekitar 100 ribu tenaga medis dan kesehatan yang melakukan aksi damai serentak di berbagai wilayah di Indonesia.
Pemerintah Bersikeras Ketok RUU Kesehatan
Berbagai upaya diskusi telah dilakukan oleh para tenaga medis dan kesehatan yang tergabung dalam 5 Organisasi Profesi Medis dan Kesehatan (PB IDI, PPNI, IBI, PDGI, dan IAI) di Indonesia, namun Pemerintah tetap bersikeras bahwa RUU Kesehatan ini harus diketok palu.
Padahal, para tenaga medis dan kesehatan melalui 5OP telah memberikan masukan bahwa untuk penanganan masalah kesehatan yang ada dan mendatang tidak perlu membuat Undang-Undang baru.
Selain itu, masih ada banyak permasalahan kesehatan di Indonesia terutama di wilayah terpencil yang jauh lebih urgensi ditangani.
Advertisement
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
RUU Kesehatan yang sedang dibahas Pemerintah dan DPR RI dinilai lebih baik dalam mengatur perlindungan hukum tenaga kesehatan (nakes). Rancangan undang-undang dengan metode omnibus law ini memperkuat perlindungan nakes dibanding aturan dalam undang-undang kesehatan yang telah eksisting.
Penilaian di atas disampaikan anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto yang juga sebagai anggota Panitia Kerja (Panja) dari Fraksi PDI-Perjuangan. Ia turut menyerap aspirasi masyarakat terkait RUU Kesehatan.
"RUU Kesehatan jika dicermati lebih dalam justru lebih baik dalam perlindungan hukum. Misalnya, pada Pasal 327 yang menyebutkan, tenaga medis atau tenaga kesehatan diduga melakukan kesalahan dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian kepada pasien, perselisihan yang timbul akibat kesalahan tersebut diselesaikan terlebih dahulu melalui alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan," tutur Edy melalui pernyataan resmi yang diterima Health Liputan6.com beberapa waktu lalu.
"Pada pasal sebelumnya telah disebutkan, bagaimana penyelesaian masalah sebelum sampai ranah hukum. Misalnya, Pasal 320-322 yang menuliskan, mekanisme pelaporan tindakan tenaga medis atau kesehatan yang berpotensi merugikan."
Tindak Lanjut Majelis Kedisiplinan
Mekanisme pelaporan yang dimaksud melalui konsil kedokteran atau keprofesian lain. Kemudian ditindaklanjuti oleh majelis kedisiplinan di masing-masing organisasi profesi kesehatan.
“Sebelum seseorang diproses hukum, maka di luar pengadilan di fasilitasi oleh majelis disiplin. Umumnya, yang melakukan pelanggaran hukum itu didahului dengan pelanggaran etik dan disiplin,” jelas Edy.
Perlindungan Tenaga Kesehatan Sejak Masih Belajar
Ditambahkan Edy Wuryanto, dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang sudah dikirimkan oleh Pemerintah kepada DPR terdapat usulan perlindungan tenaga medis dan kesehatan sejak masih belajar atau menempuh pendidikan.
Hal itu tertulis dalam DIM RUU Kesehatan dari Pemerintah pasal 208E. Begitu juga perlindungan hukum tenaga kesehatan yang bertugas saat wabah, Kejadian Luar biasa (KLB) atau bencana yang tertuang dalam Pasal 408 ayat 1.
“Tentunya DPR dan Pemerintah akan terus membahas untuk menyempurnakan kekurangan di setiap pasal,” ujarnya.
Perlindungan Hukum Jadi Concern
Dinamika RUU Kesehatan terus berlanjut. Beberapa waktu lalu, Panitia Kerja (Panja) RUU Kesehatan dari Komisi IX DPR RI menerima perwakilan dari organisasi profesi kesehatan dan perwakilan masyarakat yang peduli terkait kesehatan.
“Hal-hal yang menyangkut perbedaan pendapat tentang mutu SDM kesehatan, sistem pendidikan kesehatan terutama pendidikan spesialis, lalu perlindungan hukum tenaga kesehatan menjadi concern kami,” kata Edy. Legiselator dari Dapil Jawa Tengah III ini.
Ia meyakini bahwa setiap opini membawa kebaikan. Sehingga perlu memberi ruang kepada seluruh pihak untuk mengungkapkan pendapat.
Advertisement