Liputan6.com, Jakarta - Ruang Baca Virtual (RBV) di Universitas Terbuka (UT) tidak hadir begitu saja. Ada sebuah pengalaman tidak terlupakan yang membuat Mohamad Pandu Ristiyono mengeksekusi ide gagasannya itu.
Saat pustakawan UT melakukan monitoring ujian akhir semester (UAS) di salah satu distrik di Merauke, yaitu distrik Mappi sekitar 2010, Ia memperhatikan satu per satu mahasiswa yang mengerjakan soal ujian.
Advertisement
Ada mahasiswa yang menjadi perhatiannya. Dalam beberapa kali mengerjakan tugas ujian, mahasiswa itu hanya butuh waktu 15 menit dalam 3 jam ujian akhir semester (UAS) yang disediakan.
"Setiap jam ujian berlangsung, 15 menit mahasiswa sudah ke luar ruangan, ternyata mahasiswa tersebut asal tembak (asal jawab)," ujar laki-laki kelahiran Jakarta 50 tahun silam ini.
Pandu pun penasaran. Dia bertanya kepada mahasiswa tersebut.
Jawabannya mengejutkan. Dia asal menjawab karena modul untuk persiapan ujian belum datang. Padahal, sepengetahuan Pandu, tiga bulan sebelum ujian modul sudah dikirim.
Ia pun menceritakan pengalaman itu kepada pimpinan universitas. Pandu memberi masukan pembuatan modul atau buku digital yang bisa diakses secara daring.
Usulannya tidak lantas diterima begitu saja. Ada perdebatan alot di sana. Muncul ketakutan ketika modul digital dibuat, maka akan mengurangi penjualan buku fisik.
"Tapi saya terus meyakinkan pimpinan UT saat itu, kalau modul digital ini hany alternatif, yang utama tetap modul fisik, format digital hanya untuk berjaga-jaga jika modul fisik belum datang," kata Pandu.
Akhirnya usulan itu disetujui. Di situs resmi pustaka.uc.id, Ruang Baca Virtual (RBV) berisi modul-modul bahan materi pokok (BMP) perkuliahan di UT mulai dirilis 2012. Hingga saat ini ada sekitar 1.343 modul dari 45 program studi yang ada di UT dalam Ruang Baca Virtual (RBV).
Rata-rata dalam sehari terdapat 9.000 user yang mengakses, bahkan menjelang ujian, user Ruang Baca Virtual melonjak mencapai 24.000 user
Manajemen risiko pun juga menjadi bahan pertimbangan. Ruang Baca Virtual yang berisi modul digital mengadopsi Google Book.
"Cuma dibaca saja, tidak bisa diunduh," tuturnya.
Namun, ia tidak menampik pernah kecolongan. Modul digital UT dijual di e-commerce Tokobagus.com waktu itu.
Modul digital UT ini tidak hanya dimanfaatkan oleh mahasiswa di daerah 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal), melainkan juga mahasiswa yang berada di luar negeri. Setidaknya, mahasiswa UT tersebar di 24 negara. Banyak TKI yang juga kuliah di UT.
Semenjak era pemerintahan Jokowi, persoalan jaringan internet bukan menjadi isu utama di daerah 3T. Bahkan sampai di Kepulauan Sula, Maluku Utara pun jaringan internet sudah kencang.
Kebijakan Ruang Baca Virtual pun berubah ketika memasuki masa pandemi Covid-19. Pandu mengusulkan lagi kepada pimpinan UT untuk membuka akses modul digital seluas-luasnya, karena dia berpikir banyak publisher di dunia juga ikut berbagi informasi.
"Semenjak Covid-19 saya juga beri masukan ke pimpinan, orang luar bisa mengakses layanan ini, dengan id mahasiswa dan password UT peduli jadilah UT berbagi," tuturnya.
Klinik Literasi (LibTalk)
Tidak hanya Ruang Baca Virtual (RBV), Pandu bersama Tim Perpustakaan juga menginisiasi program baru di perpustakaan UT sejak Februari 2023 yang diberi nama Library Talking (LibTalk). Kegiatan ini bertujuan untuk mempromosikan seluruh koleksi yang ada di perpustakaan UT agar dapat dioptimalkan oleh sivitas akademika UT.
Kegiatan yang digelar setiap Rabu pukul 13.30 sampai 14.30 WIB ini menyosialisasikan literasi digital secara online melalui aplikasi Zoom.
"Saya merasa promosi kurang, jadi kami harus gencar di media sosial," ucapnya.
Oleh karena itu, ia tidak segan untuk jemput bola menyasar program-program studi dan dosen secara langsung.
"Misal ada dosen yang sudah menulis buku dan harus punya jurnal bereputasi, saya ajari, jangan sampai tertipu dengan Hijacked Journal atau jurnal palsu," kata Pandu yang sampai saat ini sudah membantu tiga orang profesor.
Ia menganggap upaya ini sebagai bentuk tindakan dan bukan sekadar wacana. Perpustakaan bukan hanya memberi dukungan, melainkan bermitra langsung serta berkolaborasi.
Hasilnya, ia pernah berkolaborasi dengan dosen jurusan hukum, ICT, komunikasi, menelurkan jurnal-jurnal ilmiah internasional bereputasi dan masuk ke jurnal publisher nomor satu dunia dari Belanda.
Pandu berpendapat perpustakaan sekarang menerapkan paradigma baru. Sebelumnya, pekerjaan pustakawan meliputi empat hal yakni, pengembangan koleksi, pengolahan koleksi, pelayanan sirkulasi, dan pelestarian informasi. Namun, sekarang harus diubah manajemen koleksi 10 persen, manajemen pengetahuan 20 persen, dan 70 persen adalah transfer pengetahuan.
Advertisement
Bukan Dunia Baru
Dari mana Pandu mengenal dunia perpustakaan? Kisahnya bermula ketika ia mengikuti jambore pramuka nasional di Cibubur pada 1986. Ketika itu ia masih duduk di bangku SMP.
Menteri pendidikan dan kebudayaan kala itu menjalankan program Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA).
"Saya yatim sejak kecil dan diangkat menjadi anak asuh salah satu pengurus Kwarnas Pramuka Bagian Andalan Putri, Ibu Mastini Hardjoprakoso yang adalah kepala perpustakaan Nasional RI yang pertama," katanya.
Ia bercerita sejak awal mengetahui sejarah perpustakaan yang tidak punya gedung. Kemudian, ibu asuhnya itu meminta gedung ke Ibu Tien Soeharto dan diberi gedung milik SUAD (Markas Besar Angkatan Darat) Zaman Panglima ABRI Jendral TNI Try Sutrisno.
Ketertarikannya terhadap perpustakaan itu juga yang mendorongnya mengambil jurusan perpustakaan di Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung.
"Pada zaman saya kuliah, ilmu perpustakaan baru segelintir ilmu perpustakaan yang berjenjang S1,kalau sekarang sudah banyak, lebih dari 72 program studi perpustakaan S1 di seluruh Indonesia," tuturnya.
Ia menjadi pustakawan setamat kuliah. Tempat kerjanya berpindah-pindah dari perusahaan swasta dan kampus swasta. Barulah pada 2001 ia menjadi pustakawan yang berstatus PNS di UT. Serta mendapatkan Beasiswa untuk studi lanjut S2 magister teknologi informasi untuk Perpustakaan (MTIP) di IPB Bogor.
Merasakan dinamika perpustakaan di dua zaman yang berbeda membuat Pandu memiliki cara pandang yang berbeda soal perpustakaan. Menurut Pandu, peran pustakawan di era sekarang harus bisa menjadi agen perubahan di masyarakat.
"Membuat masyarakat melek literasi dengan kondisi zaman yang sudah berubah," ucapnya.
Ia mencontohkan, pada musim kampanye politik, informasi hoaks, ujaran kebencian, dan sejenisnya membutuhkan peran pustakawan untuk mengedukasi masyarakat.
"Jangan sampai pustakawan terbawa arus, sebaliknya harus mencelikkan," kata Pandu.
Pustakawan harus di posisi netral dan bersikap bijak. Ada banyak strategi literasi saat ini yaitu tansformasi perpustakaan berbasis Inklusi sosial yang bisa diterapkan, termasuk memfasilitasi langsung masyarakat yang membutuhkan informasi. Tujuannya, untuk perubahan hidup yang lebih baik. Slesuai dengan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) Bappenas, yaitu kesejahteraan rakyat yang lebih baik.