Liputan6.com, Jakarta - Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia di Mei 202 turun ke level 50,3 dibandingkan posisi April 2023 yang berada di angka 5,27. Untuk itu perlu didorong agar PMI Manufaktur Indonesia tidak tenggelam terus-menerus.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penurunan PMI Manufaktur Indonesia ini perlu diwaspadai. Ia pun memperingatkan agar para pihak yang terlibat untuk mulai berhati-hati.
Advertisement
"Harus kita lihat hati-hati adalah PMI baru saja keluar 50,3 ini melemah dibandingkan bulan lalu yang di atas 52," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XI di Komplek Parlemen, Jakarta Pusat, Senin (5/6/2023).
Dialami oleh Sebagian Besar Negara
Tak hanya Indonesia, penurunan PMI Manufaktur juga dialami banyak negara. Sejumlah negara tercatat mengalami penurunan yang kontraktif. "Bahkan Vietnam yang selama ini kuat juga dalam posisi kontraktif untuk PMI-nya," ujarnya.
Memang pada kuartal I-2023 ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 5,03 persen, dan inflasi Mei 2023 turun di angka 4 persen. Tetapi, Indonesia harus tetap berhati-hati dari ancaman krisis global.
"Ekonomi kita yang masih ekspansif memang dalam hal ini di satu sisi tetap optimis, di sisi lain tetap harus hati hati karena memang risikonya cukup nyata," jelasnya.
Sri Mulyani mengatakan, sektor konsumsi semen juga menunjukkan koreksi. Sehingga hal itu menunjukkan bahwa pertumbuhan di sektor bangunan menjadi tertahan.
"Ekspor impor kita dengan environment global yang melemah menunjukkan ekspornya mengalami kontraksi yang dalam. Karena memang 2021, 2022 itu tahun yang agak berbeda," imbuhnya.
Untuk itu, Sri Mulyani mengatakan pertumbuhan dari sisi investasi harus didorong. Tercatat, pada industri logam dasar pertumbuhan masih cukup tinggi.
"Karena adanya hilirisasi dan policy pemerintah untuk hal ini sudah dikomunikasikan secara global. Sehingga memberikan aba-aba kepada para investor kalau mau menuju kepada industri yang berhubungan dengan EV atau baterai maka indonesia akan terbuka," pungkas Sri Mulyani.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
PMI Manufaktur Global Terkontraksi 8 Bulan Berturut-turut, Bagaimana Indonesia?
Sebelumnya, Kinerja Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur secara global mengalami kontraksi selama 8 bulan berturut-turut hingga April 2023.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut, mayoritas 52 negara yang diobservasi semuanya mengalami kontraksi, misalnya Jepang, Tiongkok, Malaysia, Vietnam, Eropa, Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Brazil, Afrika Selatan, dan Korea Selatan.
"13 persen dari negara yang dilakukan observasi mengalami ekspansi diatas 50 namun melambat seperti Rusia, Singapura, dan Filipina," kata Menkeu dalam Konferensi Pers: APBN KITA Mei 2023, Senin (22/5/2023).
Lebih lanjut, Sri Mulyani memaparkan, hanya 34,8 persen dari negara yang diobservasi mengalami ekspansi diatas 50 dan akselerasi naik dibandingkan bulan sebelumnya, dalam kategori ini diantaranya Indonesia, India, Thailand, Turki, Kanada, Amerika Serikat, Arab Saudi dan Meksiko.
"Dalam hal ini 8 bulan berturut-turut PMI global mengalami kontraksi, 13 persen atau beberapa negara mengalami ekspansi namun melambat, Indonesia termasuk dalam 34 persen yang ekspansi dan akselerasi, ini menggambarkan posisi Indonesia yang resilience terhadap kenaikan suku bunga yang sangat tinggi dari berbagai negara dan bahkan di Indonesia, dan kita masih bertahan. Ini hal positif yang kita jaga," ujarnya.
Advertisement
ASEAN Terpukul
PMI Manufaktur Indonesia yang masih kuat ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2023 yang masih tumbuh positif yaitu 5,03 persen.
Menurut Sri Mulyani, dari semua negara yang sudah merilis pertumbuhan ekonomi kuartal I-2023, Indonesia termasuk ke dalam negara yang pertumbuhan ekonominya masih sangat tinggi diatas 5 persen.
"Hanya Filipina, Malaysia, dan Indonesia yang sudah keluar (tumbuh diatas 5 persen)," ujarnya.
Sementara, mayoritas negara-negara lain di Eropa dan ASEAN masih terpukul dengan kenaikan dari suku bunga acuan atau policy rate dan inflasi yang tinggi, sehingga menyebabkan perekonomian mereka mengalami pelemahan.
"Kita lihat Inggris, Prancis, Singapura, kemudian Korea Selatan, Jepang dalam hal ini pertumbuhannya relatif lemah. Amerika Serikat juga hanya 1,6 persen pertumbuhannya, dan Vietnam yang selama ini tumbuh tinggi hanya tumbuh 3,3 persen, Thailand hanya tumbuh 2,7 persen. Meksiko dalam hal ini juga hanya tumbuh 3,89 persen," pungkasnya.