Liputan6.com, Jakarta Pendekatan terbaik untuk penanganan autisme, idealnya sejak usia 3 tahun. Namun jangan khawatir, selama keluarga secara aktif terlibat dalam membantu anak maka tidak ada kata terlambat.
Hal ini diungkapkan Behavior Analyst sekaligus Pendiri dan Direktur Puzzle-A Center Academic Rury Soeriawinata.
Advertisement
"Memang idealnya dimulai 3 tahun ya, tapi mungkin ada yang anaknya sudah usia lebih 3 tahun. Saya rasa tidak ada kata terlambat. Tapi kita harus praktikkan ilmu-ilmu yang memang terbukti atau evidence itu untuk penanganan autisme bahwa yang harus itu adalah melibatkan keluarga dan atau pengasuh secara aktif sebagai bagian dari intervensi," ujar Rury dalam video yang berjudul Stimulasi Bicara Anak Berkebutuhan Khusus di Rumah (ABA/VB) di YouTube Xabiru Indonesia, ditulis Senin (5/6/2023).
Pentingnya Peran Orangtua dalam Menangani Anak Autisme
America Academy of Pediatrics (AAP) meminta para peneliti agar secara terbuka memberikan rekomendasi tentang cara terbaik untuk intervensi dengan anak-anak gangguan spektrum autisme. Mereka juga menyarankan bahwa orang tua harus memainkan peranan penting dalam intervensi anak mereka.
Untuk itu, Rury menyarankan para orangtua yang memiliki anak autisme untuk terlibat dalam setiap program yang diberikan terapis.
"Enggak boleh gitu kayak datang terapi, ya sudah kasih aja, kan saya udah bayar, itu urusan praktisnya atau urusan bapak ibu guru dan sebagainya. Atau saya tahu terima beres atau 'saya nggak ngerti apa-apa karena saya bukan profesional. Enggak boleh gitu ya, orangtua harus terlibat," katanya.
Penanganan Autisme Secara ABA
Menurut CDC dan AAP, penanganan autisme ada yang secara perilaku, yaitu ABA (Applied Behavior Analysis), dan secara perkembangan, yaitu occupational therapy, Sensory Integration, terapi wicara.
Di Amerika yang sudah maju, terapi ABA ini sudah menjadi sesuatu bagian dari intervensi resmi dari pemerintah maka sudah diganti asuransi. Sedangkan di Indonesia, di beberapa tempat pelayanan terapi sudah bekerjasama dengan BPJS, namun masih banyak juga orang tu yang bayar sendiri.
Selain terapi yang evidence based, membuat anak autisme berbicara tentu melibatkan semuanya, termasuk sekolah, lingkungan, dan orang-orang di rumah (ayah, ibu, profesional).
Hanya saja, Rury menyayangkan para orangtua yang tidak menerapkan beberapa program yang sudah diajarkan di sekolah maupun terapis di rumah, seperti kemandirian, bagaimana bersikap ke lingkungan, pengaturan sensori, dan sebagainya di rumah.
"Kalau misalnya di sekolah atau di tempat terapi, kita ngajarin kemandirian misalnya pakai baju, cuci tangan, toilet training, gitu ya, di rumahnya nggak dilanjutin ya percuma aja gitu. Karena itu harus semua bekerja sama supaya anak itu berkembang," ujarnya.
Ia juga mengatakan, orangtua juga kerap seolah menghapus program yang diberikan terapis di tempat terapi. "Kadang lucu juga, orang tua yang membayar, orang tua sendiri yang delete programnya. Pemikiran kasihan, di sekolah sudah capek, di rumah nggak apa-apa. Padahal terapis sudah kasih tahu, 'Bu, tolong dipraktekkan seperti ini, seperti ini, ya', atau 'Bu, jangan dikasih ini anaknya, karena sebetulnya anaknya udah bisa komunikasi, walaupun belum bisa ngomong tapi udah ngerti', gitu ya."
"Nah, begitu anaknya nangis, sama orangtua dikasih, segampang itu aja. Padahal sudah jelas-jelas terapisnya sudah ada prosedurnya supaya walaupun mereka belum tentu bisa ngomong, ya enggak apa-apa enggak ada masalah, tapi nggak boleh dikasih pada saat dia nangis. Akhirnya orang tua yang bayar sendiri, orangtua sendiri yang delete programnya," ungkapnya lagi.
Advertisement
Setiap Anak Autisme Itu Unik
Seperti anak lainnya, anak autisme juga memiliki perkembangan yang berbeda diantara temannya yang juga memiliki spektrum.
"Tidak ada yang sama, perkembangannya beda, kesukaannya pun beda. Walaupun anak yang tidak autisme beda-beda juga kesukaannya, namun setidaknya mereka memiliki kesamaan tergantung jarak usianya, usia segini anak berkembang begini, atau usia itu anak suka itu," jelas Rury.
Rury menggambarkannya seperti orang Indonesia yang belajar bahasa Inggris, ada yang berbicaranya tidak lancar namun masih bisa dimengerti bule, ada juga yang fasih berbahasa Inggris.
"Maka berkomunikasilah sesuai dengan level anak. Kalau baru memahami kata dasar, bicaralah pelan-pelan. Jangan memaksakan kehendak," sarannya.
Menurut Rury, untuk melatih anak autisme berbicara, ada beberapa hal yang bisa dilakukan, yaitu:
1. Pahami Anak Apa Adanya
Semua perlu dipahami, termasuk kelebihan, kekurangan, dan perbedaannya, termasuk apakah anak memiliki problem behavior.
"Pahami kondisi mereka, ketahui dimana kesulitan anak dan jangan memaksakan anak dengan target, tapi di lain sisi juga harus punya target," kata Rury.
"Misalnya startingnya sama-sama umur 3 tahun gitu, ya kita nggak bisa menyamakan autisme 3 tahun non verbal, terus hasilnya sama semua bisa begitu. Makanya bener-bener kenalin anak Bapak/Ibu tuh gimana, kalaupun dia nggak bisa mencapai hasilnya, maksudnya target-target yang dikasih itu."
Rury mengaku tidak pernah menjanjikan klien akan bisa bicara, namun ia yakin selalu berusaha maksimal agar anak berkembang baik. Kalaupun anak tidak bisa mencapai target-target itu maka dia akan menjelaskan dan mencari tahu lagi.
"Enggak bisa sesuatu kemampuan itu ada macam-macam sebabnya, bukan berarti dia nggak bisa. Belum tentu dia berarti nggak bisa ya. Yang pertama barangkali dia nggak punya motivasi. Yang kedua ya emang dia nggak bisa karena kondisi gitu. Dua itulah yang harus kita coba motivasinya, kita perbaiki. Apalagi kalau anaknya harus diperbaiki. Apalagi kalau anaknya punya masalah sensori yang biasanya dipunyai oleh anak-anak autisme."
"Jangan maksa target tapi di lain sisi juga harus ada target. Sering banget saya temui anak-anaknya udah usia 5 tahun, orang tuanya tuh kayak udah panik. Kenapa? Karena sekolah nih, pokoknya SD harus sekolah atau anaknya udah 5 tahun gitu. Tapi apakah anaknya siap bersekolah?
2. Selalu Bangun Interaksi dengan Anak
- Apa yang mereka sukai, apa yang tidak
- Gunakan yang mereka sukai, untuk membuka jalan interaksi.
3. Stimulasi Bukan Akademik
Stimulasi yang diberikan itu bukan bertujuan akademik, tapi mengajarkan kebutuhan anak akan bahasa, bicara, dan mandiri.
"Jadi sering banget saya nemui anak terapi itu ya anak ngomong saja belum ngerti, juga belum diajarin warna, ABC, 123, entah yang ditanyain dia ini apa, hitam katanya."
"Waktu dia bisa baca, apa dia paham apa yang dia baca? Jawabannya nggak. Mungkin sebatas satu kata dia paham ya, maksudnya ini handphone tulisannya HP, mungkin cuma sekadar itu aja dia bisa. Tapi tentang pemahaman apa namanya, siapa, di mana, itu akan sulit kalau dia sendiri nggak paham, bahasanya nggak paham," ungkap Rury.
Itulah sebabnya, kata Rury, mengajarkan anak terhadap prioritasnya, termasuk kemandirian itu sulit dilakukan anak.
Advertisement