Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak dunia naik penyusul keputusan Arab Saudi yang merupakan negara anggota OPEC untuk memangkas produksi 1 juta barel per hari.
Pada hari minggu, organisasi pengekspor minyak dan mitranya atau lebih dikenal dengan sebutan OPEC+ tidak mengubah rencana pengurangan produksi minyak untuk sisa waktu tahun ini untuk mempertahankan harga minyak dunia.
Advertisement
Namun, Arab Saudi yang merupakan pengekspor minyak utama dunia mengumumkan akan mengurangi produksi sukarela lebih lanjut yang akan diterapkan mulai Juli.
Kementerian Energi Arab Saudi dalam sebuah pernyataan menyatakan bahwa produksi minyak mentah negara tersebut akan turun menjadi 9 juta barel per hari dari sekitar 10 juta barel per hari.
Dengan pernyataan tersebut, kedua tolok ukur harga minyak mentah diperdagangkan lebih tinggi pada hari Senin.
Mengutip CNBC, Selasa (6/6/2023), harga minyak mentah Brent berjangka yang merupakan patokan harga internasional diperdagangkan pada USD 76,57 per barel, naik 0,6 persen. Sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate berjangka AS berdiri di USD 72,03 per barel, naik lebih dari 0,4 persen.
OPEC+ memasok sekitar 40 persen minyak mentah dunia dan keputusan kebijakan mereka dapat berdampak signifikan pada harga.
Keputusan OPEC+
Sebelumnya pada 3 April 2023, beberapa produsen minyak dunia yang masuk dalam kartel ini telah mengungkapkan penurunan produksi gabungan sebesar 1,66 juta barel per hari hingga akhir tahun ini. Banyak pengamat pasar, termasuk analis di Goldman Sachs, mengharapkan aliansi untuk mempertahankan output tidak berubah kali ini.
"Pasar tidak terlalu mengharapkan keputusan Saudi untuk memangkas produksi sebesar 1 juta barel per hari secara sepihak," kata presiden perusahaan analisis Rapidan Energy, Bob McNally.
“Ini sekali lagi menunjukkan bahwa Arab Saudi bersedia bertindak secara sepihak untuk menstabilkan harga minyak,” lanjut McNally.
Ia pun mencontohkan bahwa pada Januari 2021, Arab Saudi juga pernah secara sepihak memangkas produksi sebesar 1 juta barel per hari.
“Kami melihat defisit global yang besar terwujud pada paruh kedua tahun 2023 dan harga minyak mentah melebihi USD 100 tahun depan,” tambahnya.
Kenaikan Permintaan
Head of Global Demand and Asia Analytics S&P Global Commodity Insights Kang Wu mengatakan, kenaikan signifikan permintaan minyak global pada musim panas di Belahan Bumi Utara akan menyebabkan penarikan inventaris minyak dan mendukung harga minyak dunia ke level yang lebih tinggi di masa mendatang.
Sedangkan Direktur Pelaksana RBC Capital Markets Helima Croft mencatat bahwa sementara beberapa pelaku pasar akan fokus pada fakta bahwa Arab Saudi memangkas produksinya secara independen, tindakannya mendukung integritas pemotongan.
“Fakta bahwa [Arab Saudi] bersedia memikulnya sendiri menambah kredibilitas pemotongan dan menandakan minyak nyata keluar dari pasar,” tulis Croft dalam laporan penelitian.
Advertisement
Kegagalan Terakhir
Kepala penelitian komoditas dan direktur pelaksana global Citi Ed Morse mengatakan, akhir pekan ini menandai kegagalan Arab Saudi untuk mengumpulkan semua anggota OPEC+ untuk melakukan apa yang diperlukan untuk membawa harga yang lebih baik ke pasar.
Morse mengatakan kepada CNBC's "Squawk Box Asia" Senin bahwa pasar minyak masih sangat lemah sebagian karena permintaan yang mengecewakan di tiga wilayah konsumen terbesar yaitu China, Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS).
"Kami memiliki potensi pasokan menjadi jauh lebih besar daripada arah pertumbuhan permintaan," katanya. “Tidak ada jaminan bahwa [harga minyak] tidak akan turun di bawah USD 70,” lanjut dia.
Commonwealth Bank of Australia berpandangan bahwa Arab Saudi akan memperpanjang pemotongan produksi Juli jika Brent berjangka tetap berada di kisaran USD 70 hingga USD 75 per barel, atau bahkan turun di bawah itu.
"Kami pikir Arab Saudi akan berusaha untuk memperdalam pengurangan produksi jika Brent berjangka secara berkelanjutan turun di bawah USD 70 per barel," tulis Vivek Dhar dari CBA dalam sebuah catatan penelitian hari Senin.