Kalau Mau Anak Tidak Stunting, Orangtua Beli Telur Bukan Rokok

5,5 persen balita yang tinggal dengan orangtua perokok berisiko stunting.

oleh Benedikta Desideria diperbarui 16 Jan 2024, 10:32 WIB
Ilustrasi berhenti merokok terlebih bila sudah ada anak karena anak yang tinggal bersama orangtua merokok 5,5 persen berisiko stunting. (Photo Copyright by Freepik)

Liputan6.com, Jakarta Merokok bukan hanya merusak kesehatan penggunanya tapi berdampak juga pada status gizi anak. Berdasarkan penelitian dari Pusat Kajian Jaminan Sosial UI pada 2018, 5,5 persen balita yang tinggal dengan orangtua perokok berisiko stunting.

Selain itu, balita yang tinggal dengan orangtua perokok berat badannya 1,5 kg lebih kurang daripada yang tinggal dengan orangtua bukan perokok.

"Kita tahu bahwa angka stunting kita masih tergolong tinggi menurut kategori WHO yaitu di atas 20 persen, sementara Indonesia masih 21 persen. Kalau balita berpotensi terpapar rokok di rumahnya maka ini menjadi salah satu hambatan kita dalam menurunkan stunting,” ujar Dirjen Kesehatan Masyarakat dr Endang Sumiwi.

Melihat data studi itu, Endang berharap keluarga di Indonesia mengalihkan dana bukan untuk rokok. Seperti diketahui, dana yang dikeluarkan orang dewasa untuk membeli rokok bisa mencapai Rp382 ribu berdasarkan Global Adult Tobacco Survey beberapa saat lalu. 

Lebih baik, dana tersebut digunakan untuk membeli protein hewani seperti daging, ikan atau telur. Seperti diketahui, asupan protein hewani yang cukup mencegah anak alami stunting.

"Kalau mau berkontribusi untuk stunting, para orang tua tidak usah merokok dan lebih baik gunakan uangnya untuk membeli protein hewani seperti telur,” ungkap Endang dalam keterangan tertulis dikutip Rabu (7/6/2023).


Belanja Rokok Lebih Tinggi dari Beli Telur

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan dokter Maxi Rein Rondonuwu mengungkapkan konsumsi rokok dan hasil tembakau mempunyai dampak terhadap sosial ekonomi dan Kesehatan.

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021 menjelaskan pengeluaran keluarga untuk konsumsi rokok tiga kali lebih banyak daripada pengeluaran untuk kebutuhan protein di keluarga.

“Berdasarkan data tersebut belanja rokok merupakan belanja terbesar kedua di keluarga dan tiga kali lebih tinggi daripada beli telur,” ucap Maxi.

Rokok jadi persentase pengeluaran keluarga terbesar kedua sebanyak 11,9 persen baik di perkotaan maupun di pedesaan dibandingkan untuk mereka yang mengonsumsi makanan bergizi seperti telur, daging, dan ayam.


Efek Ibu Hamil Merokok pada Bayi yang Dilahirkan

Dokter spesialis paru konsultan Feni Fitriani Taufik mengatakan bahwa ada studi yang dilakukan RS Persahabatan mengenai efek rokok pada janin dan bayi.

Hasilnya didapatkan bahwa pada plasenta bayi dengan ibu perokok aktif dan pasif itu sama-sama ditemukan nikotin. Kemudian dari waktu lahir pun panjang badan dan berat badan bayi jauh lebih kecil dan lebih pendek dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang tidak merokok.

“Jadi, pajanan rokok berpengaruh bukan saja setelah lahir, tapi di dalam kehamilan pun itu sudah sangat berpengaruh kepada bayi,” ungkap Feni.

Ia melanjutkan, ada istilah secondhand smoke dan thirdhand smoke. Secondhand smoke adalah asap rokok yang dilepaskan oleh perokok kemudian dihirup oleh orang-orang di sekitarnya.

Sementara thirdhand smoke adalah sisa bahan kimia dari asap rokok. Umumnya tidak terlihat tapi berbahaya, bukan hanya asap tapi residu dari orang yang merokok yang menempel terutama di dalam rumah seperti gorden, karpet, dan sofa.

“Itu mengandung kimia berbahaya jika terhirup oleh orang-orang yang ada di rumah seperti anak-anak,” tutur Feni.

Jadi, kalau berbicara stunting, secondhand smoke and thirdhand smoke bisa menyebabkan bebean ekonomi keluarga jadi berlipat sebab membuat perkembangan anak jadi terganggu.

(Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya