Liputan6.com, Jakarta - Mandi wajib merupakan mandi yang bertujuan untuk bersuci dari hadas besar.
Aturannya, seluruh bagian tubuh harus terbasuh air, dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Baca Juga
Advertisement
Hanya saja, ada bagian-bagian yang lalai dikontrol. Misalnya, di sela antara kuku dengan kulit, atau lebih mudahnya disebut di bawah kuku.
Bagaimana hukumnya jika di sela-sela kuku masih ada kotoran, dan diketahuinya setelah mandi wajib. Apakah mandi wajib tersebut sah?
Simak Video Pilihan Ini:
Ini Dua Fardhu atau Rukun Mandi
Pada kolom Kiai NU Menjawab, di laman jateng.nu.or.id disebutkan, pada dasarnya tidak wajib hukumnya menghilangkan kotoran pada kuku dan daki pada tubuh atau badan saat mandi wajib atau mandi besar.
Alasannya adalah rukun atau fardhu mandi wajib atau mandi besar hanya ada dua di mana menghilangkan kotoran dalam kuku dan daki pada badan tidak termasuk di dalamnya.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab fiqih sebagai berikut:
فروض الغسل اثنان النية وتعميم البدن بالماء
Artinya: “Fardlu atau rukun mandi ada dua, yakni membaca niat dan meratakan air ke seluruh tubuh.” (lihat Muhammad Nawawi Al-Jawi, Kâsyifaus Sâja, (Cyprus, Dâr ibn Hazm: 2011) Cet. I, Hal. 104-105.
Oleh karena itu, jika terdapatnya kotoran di kuku dan daki pada tubuh menghalangi meratanya aliran air pada seluruh permukaan tubuh (kulit) karena volume kotoran tersebut cukup basar atau berupa bahan yang tidak dapat ditembus air seperti cat, lilin, dan sebagainya, maka wajib hukumnya membersihkan kotoran itu sebelum atau pada saat melakukan mandi besar sebab hal tersebut menunjukkan tidak terlaksananya dengan sempurna rukun kedua yang berakibat tidak sahnya mandi besar tersebut.
Akan tetapi jika volume kotoran hanya kecil atau sedikit saja dan masih bisa ditembus air, maka keberadaanya bisa ditoleransi. Namun demikian untuk lebih berhati-hati, tidak ada jeleknya apabila kotoran di kuku dan daki pada tubuh tetap diupayakan untuk dibersihkan sebisa mungkin demi menjaga kualitas kebersihan dan kesucian jasmani baik secara fiqih maupun kesehatan serta lebih memastikan keabsahan mandi wajib.
Sikap hati-hati seperti itu cukup bijak di tangah-tengah beragamnya pendapat ulama tentang sah tidaknya wudhu karena adanya kotoran di kuku atau daki pada anggota tubuh. Kasus ini bisa dijadikan acuan untuk menyikapi persoalan bagaimana sebaiknya kita menghadapi kotoran di kuku atau daki pada anggota tubuh dalam hubungannya dengan sah tidaknya mandi wajib.
Advertisement
Kotoran kuku Tidak Mengganggu Keabsahan Bersuci
Selengkapnya perbedaan pendapat tersebut dapat ditemukan dalam kutipan di bawah ini sebagai berikut:
ـ (أو جرم كثيف) كدهن جامد وكوسخ تحت الاظفار نهاية زاد شرح بافضل خلاف للغزالي اه قال الكردي عليه قال الزيادي في شرح المحرر وهذه المسألة مما تعم بها البلوى فقل من يسلم من وسخ تحت أظفار يديه أو رجليه فليتفطن لذلك انتهى وقال الشارح في حاشية التحفة وفي زيادات العبادي وسخ الاظفار لا يمنع جواز الطهارة لانه تشق إزالته بخلاف نحو العجين تجب إزالته قطعا لانه نادر ولا يشق الاحتراز عنه واختار في الاحياء والذخائر هذا فقال يعفى عنه وإن منع وصول الماء ما تحته
Artinya: “Atau benda padat (dapat mencegah sahnya wudhu) seperti lemak yang mengeras dan seperti halnya kotoran yang berada di bawah kuku, berbeda halnya menurut pendapat Imam al-ghazali. Imam al-Kurdi berkata “Berkata Imam az-Zayadi dalam Syarh al-Muharrar, “Permasalahan ini merupakan sebagian dari hal yang umum terjadi, sedikit orang yang terhindar dari kotoran di bawah kuku kedua tangannya atau kakinya, hendaknya engkau mengerti hal tersebut.”
Asy-Syarih berkata dalam kitab Hasyiyah at-Tuhfah dan dalam Ziyadat al-‘Ubadi bahwa kotoran kuku tidak mencegah keabsahan bersuci sebab kotoran tersebut sulit untuk dihilangkan, berbeda halnya benda seperti adonan roti, maka wajib untuk menghilangkannya karena dianggap sangat langka dan tidak sulit untuk menghindarinya” Pendapat tersebut dipilih dalam kitab al-Ihya’ dan ad-Dakhair, lalu beliau berkata, “Kotoran di bawah kuku merupakan hal yang di ma’fu meskipun sampai mencegah sampainya air terhadap bagian kulit dibawah kuku” (Abdul Hamid al-Makki asy-Syarwani dan Ahmad bin Qasim al-‘Ubadi, Hawasyi asy-Syarwani wa al-‘Ubadi (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), Juz 1, Hal. 198). Wallâhu a’lam.
Penulis: Nugroho Purbo