Liputan6.com, Jakarta Sekitar 50 persen dari perusahaan global besar akan membutuhkan lebih sedikit gedung perkantoran dalam tiga tahun ke depan, dengan kota-kota di Amerika Serikat, yang dipimpin oleh San Francisco paling banyak terpapar dengan kantor kosong.
Hal itu diungkapkan dalam penelitian baru oleh Knight Frank, sebuah perusahaan real estat yang berbasis di Inggris.
Advertisement
Melansir CNN Business, Rabu (7/6/2023) survei oleh Knight Frank mengungkapkan bahwa setengah dari perusahaan global dengan lebih dari 50.000 karyawan berencana memangkas ruang kantor, dengan sebagian besar mengantisipasi pengurangan antara 10 persen dan 20 persen.
Survei yang dilakukan terhadap 347 perusahaan di seluruh dunia ini menyoroti perubahan yang sedang berlangsung di pasar real estat komersial, yang berada di bawah tekanan dari berkurangnya permintaan ruang kantor.
Dari 347 perusahaan yang disurvei, 65 mengungkapkan memiliki lebih dari 50.000 karyawan, 71 memiliki 10.000-50.000 karyawan dan 211 kurang dari 10.000 karyawan.
Pengurangan itu menyusul kenaikan pekerjaan rumah setelah pandemi, serta dari jatuhnya nilai properti dan kenaikan suku bunga.
Ada kekhawatiran bahwa kenaikan tunggakan imbas dari penurunan dapat menyebabkan kerugian yang signifikan di bank, yang membiayai banyak transaksi real estat komersial.
Tetapi survei Knight Frank juga memberikan gambaran yang beragam.
Sementara perusahaan multinasional besar mengurangi ruang kantor, 55 persen dari semua perusahaan yang disurvei berharap untuk "meningkatkan atau sangat meningkatkan" jejak mereka selama tiga tahun ke depan, dengan pertumbuhan dipimpin oleh perusahaan kecil hingga 10.000 karyawan.
Tahap Awal
"Ada contoh di mana perusahaan kehilangan ruang… tetapi ada banyak organisasi, terutama perusahaan kelas menengah, yang benar-benar memperluas jejak global mereka," ungkap Lee Elliott, kepala penelitian penduduk global di Knight Frank.
"Sejumlah prusahaan juga sedang dalam tahap awal mengevaluasi kembali kebutuhan real estat mereka setelah pandemi, dan perubahan tidak akan terjadi dalam semalam", tambahnya.
“Kita akan melihat pergeseran tiga hingga enam tahun dalam hunian kantor, bukan pergeseran tiga hingga enam bulan," kata dia.
Advertisement
Kebijakan Kerja yang Berubah
Survei yang dilakukan Knight Frank pertama sejak pandemi menemukan bahwa 56 persen perusahaan telah memilih kebijakan kerja hybrid, di mana karyawan menghabiskan beberapa hari setiap minggu di kantor.
Sementara hampir sepertiga, atau 31 persen, mengharuskan staf untuk datang ke kantor hampir sepanjang waktu, sementara hanya 12 persen perusahaan yang berencana menerapkan kebijakan kerja jarak jauh sepenuhnya.
Penelitian yang diterbitkan minggu lalu oleh perusahaan real estat Inggris lainnya, Savills, juga menemukan bahwa kota-kota di AS paling berisiko memiliki ruang kantor paling banyak dalam dekade berikutnya, dengan San Francisco, New York, dan Los Angeles berada di puncak daftar global, diikuti oleh Chicago, Houston dan Washington DC.
London, Berlin, Madrid, dan Hong Kong juga diperkirakan memiliki kelebihan ruang kantor dalam jumlah besar.
Savills memilih San Francisco sebagai "contoh paling ekstrim" dari pergeseran yang sedang berlangsung di pasar perkantoran.
Sebelum pandemi, kota di negara bagian California, Amerika Serikat itu dikenal sebagai salah satu tempat tersulit di Amerika untuk menemukan ruang kantor, dengan tingkat lowongan hanya 9,5 persen.
Tetapi sekarang, 30 persen dari ruang kantornya kosong atau akan dikembalikan ke pasar tahun depan — tertinggi dalam 30 tahun.
"Ini bukan tentang kantor yang menjadi kosong karena beberapa kota melihat tingkat pengembalian kerja yang lebih rendah pasca pandemi. Ini tentang bagaimana tren ekonomi, demografi, dan pembangunan jangka panjang berinteraksi dengan pola kerja," kata Kelcie Sellers, rekanan peneliti Savills.