Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Moeldoko meminta masyarakat mengurangi konsumsi nasi. Alasannya karena konsumsi nasi masyarakat sangat terlalu tinggi sedangkan lahan produksi padi setiap tahun berkurang.
“Saya berpesan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk efisien dan mulai memikirkan bahwa kita makan nasi masih terlalu banyak seperti zaman Jepang, 40 tahun lalu,” kata Moeldoko pada acara HUT Ke-50 HKTI di Hotel Discovery Ancol, Jakarta Utara, Rabu (7/6).
Advertisement
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) ini menyarankan agar masyarakat mulai berhemat. Agar keseimbangan antara suplai dan permintaan terhadap padi bisa tetap terjaga. Apalagi, mulai Agustus tahun ini dampak fenomena el nino kian terasa dengan adanya potensi musim kemarau panjang.
“Mulai sekarang berhematlah dan mulai mengurangi nasi agar ada keseimbangan antara suplai dan demand,” kata dia.
Sebagai gantinya, masyarakat bisa mengkonsumsi sumber karbohidrat lainnya seperti sorgum, sagu, ubi dan sejenisnya. Moeldoko mengatakan masih banyak bahan pangan yang bisa menjadi pengganti nasi yang saat ini menjadi makanan pokok masyarakat.
“Terhadap sumber-sumber itu mari kita gali bersama. Ingat pertumbuhan populasi manusia makin banyak. Di sisi lain ladang sawah selalu berkurang, maka ada gape di situ,” kata dia.
Dampak El Nino
Terkait antisipasi dampak el nino, HKTI tengah gencar melakukan sosialisasi. Sekaligus mengembangkan tanaman lain yang bisa digunakan sebagai pengganti nasi, seperti sorgum.
“Kita akan hadap el nino. Ada tanaman lain yang bisa kita gerakkan yang tadinya tertidur seperti sorgum yang bukan barang baru bagi Indonesia. Di relief itu sudah digambarkan maknanya masyarakat Indonesia sudah lama mengenal sorgum tapi cukup lama barang itu tertidur, makanya perlu kita bangkitkan untuk menjadi sumber yang lebih sehat dari nasi,” pungkasnya.
Ada Ancaman El Nino, Awas Kopi Robusta Langka di Indonesia
Sebelumnya, fenomena kekeringan ekstrem atau El Nino memicu kekhawatiran pada ketersediaan biji robusta di produsen kopi besar seperti Vietnam dan Indonesia, yang berisiko mendorong lonjakan harga.
"Transisi yang sekarang banyak diharapkan ke kondisi El Nino di kuartal ketiga 2023 telah memicu kekhawatiran penurunan produksi di Vietnam dan Indonesia, di mana keduanya merupakan produsen kopi robusta utama," ungkap unit riset Fitch Solutions BMI dalam laporannya, dikutip dari CNBC International, Selasa (6/6/2023).
Kawasan Asia Tenggara baru-baru ini mengalami panas yang memecahkan rekor sejak pertengahan Mei 2023.
"Di seluruh Asia Tenggara, kondisi El Niño dikaitkan dengan curah hujan di bawah rata-rata dan suhu yang lebih tinggi, yang keduanya menekan produksi kopi," kata BMI dalam laporannya.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia, Vietnam, Indonesia, dan Brasil dikenal sebagai produsen robusta terbesar.
"Kami memperhatikan hujan lebat di Indonesia selama Q123, yang berdampak negatif pada kualitas biji kopi, dengan USDA memperkirakan penurunan sekitar seperlima dalam produksi kopi robusta," kata para analis.
Carlos Mera, kepala pasar komoditas pertanian di Rabobank, memperkirakan penurunan produksi dapat mencapai 10 persen menjadi 11,2 juta kantong robusta pada panen mendatang.
Sebagai informasi, El Nino adalah fenomena cuaca yang biasanya membawa kondisi yang lebih panas dan kering dari biasanya ke Samudera Pasifik tropis bagian tengah dan timur. Ilmuwan iklim memperkirakan bahwa El Nino tahun ini dapat terjadi pada paruh kedua tahun 2023.
Advertisement
El Nino Tahun 2016
Biji Robusta dikenal karena karakteristiknya yang pahit dan keasaman yang lebih tinggi, mengandung lebih banyak kafein daripada kopi arabika premium dan lebih mahal.
Selain Indonesia dan Vietnam, tanaman di robusta Brasil juga terkena dampak negatif dari kekeringan, menurut laporan BMI.
Masalah tersebut mendorong harga kopi instan dan espresso, yang sering dibuat dengan biji robusta, dapat mengalami tekanan di tengah kekhawatiran pasokan dan permintaan robusta yang lebih kuat dari biasanya, karena konsumen beralih ke pengganti arabika yang lebih murah.
Pada tahun 2016, kekurangan air terkait El Nino di Vietnam dan Indonesia menyebabkan penurunan produksi global mendekati 10 persen, menurut statistik unit penelitian.
Shawn Hackett, presiden perusahaan pialang komoditas Hackett Financial Advisors, mengatakan bahwa musim El Nino bukan musim yang pertama kali terjadi di Vietnam dan Indonesia, hingga berujung penurunan produksi sebesar 20 persen pada robusta.
"Itu artinya kontraksi robusta cukup parah," ujarnya.