Mandiri Sekuritas Ungkap Minat Obligasi Ritel Tak Kalah dari War Tiket Konser

Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas, Handy Yunianto menuturkan, bukan hanya tiket konser yang laris tetapi juga obligasi ritel.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 07 Jun 2023, 20:17 WIB
Minat investor terhadap obligasi ritel rupanya cukup tinggi. Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas, Handy Yunianto bahkan mengatakan penjualan obligasi ritel tak kalah menarik dibandingkan perang (war) tiket konser. (Photo created by rawpixel.com on Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Minat investor terhadap obligasi ritel rupanya cukup tinggi. Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas, Handy Yunianto bahkan mengatakan penjualan obligasi ritel tak kalah menarik dibandingkan perang (war) tiket konser. Dalam catatannya, penjualan obligasi ritel berlangsung lebih cepat dari penawaran yang dijadwalkan.

"Sebelumnya selalu lebih cepat. Targetnya itu lebih cepat kesampaian dibandingkan masa book building-nya. Jadi yang laris tidak hanya tiket konser, obligasi ritel juga laris," kata Handy dalam Jumpa Pers Equity and Fixed Income Markets Outlook 2023, Rabu (7/6/2023).

Secara umum, pasar surat utang atau obligasi dinilai memiliki prospek menarik di tengah sinyal suku bunga The Fed yang landai. Perkiraan arah kebijakan suku bunga ini merujuk pada tren inflasi yang juga mulai turun, sehingga Bank Sentral AS atau The Fed tak memiliki alasan kuat untuk terus menaikkan suku bunga acuan secara agresif.

"Konsekuensi dari inflasi yang turun, tekanan suku bunga berkurang. ini positif untuk pasar obligasi. Karena kalau suku bunga sudah tidak naik, biasanya yield obligasi sudah pick. Jadi kita lihat ke depannya yield akan turun berarti harga obligasinya akan naik,” ujar Handy.

Pada kondisi tersebut, Handy mengatakan aliran dana masuk dari investor asing juga akan tumbuh. Sebagai gambaran, asing mencatatkan net buy 67,8 triliun hingga Mei 2023. Terdiri dari net buy SUN senilai Rp 74,8 triliun dan net sell SBSN senilai Rp 7 triliun.

Ritel mencatatkan net buy Rp 22 triliun, terdiri dari ney buy pada SUN sebesar Rp 2,6 triliun dan net buy SBSN Rp 19,4 triliun. Lainnya mencatatkan total net buy 6,2 triliun, terdiri dari nervus pada SUn RP 1,5 triliun dan net buy pada SBSN Rp 4,7 triliun.

"Asing sudah masuk Rp 70 triliun. Saya pikir ini masih akan masuk lagi karena meskipun asing sudah masuk banyak, sudah relatif terhadap kondisi pre-covid level, tapi asing belum masuk semua,” imbuh Handy.

 


Prospek Pasar Obligasi Bakal Moncer di Tengah Sinyal Suku Bunga The Fed yang Melandai

Pengunjung mengabadikan papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta, Rabu (15/4/2020). Pergerakan IHSG berakhir turun tajam 1,71% atau 80,59 poin ke level 4.625,9 pada perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, pasar surat utang atau obligasi disebut memiliki prospek menarik di tengah sinyal suku bunga The Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral Amerika Serikat (AS) yang landai.

Perkiraan arah kebijakan suku bunga ini merujuk pada tren inflasi yang juga mulai turun, sehingga Bank Sentral AS atau The Fed tak memiliki alasan kuat untuk terus menaikkan suku bunga acuan secara agresif.

"Konsekuensi dari inflasi yang turun, tekanan suku bunga berkurang. ini positif untuk pasar obligasi. Karena kalau suku bunga sudah tidak naik, biasanya yield obligasi sudah pick. Jadi kita lihat ke depannya yield akan turun berarti harga obligasinya akan naik,” kata head of Fixed Income Research mandiri Sekuritas, Handy Yunianto dalam Jumpa Pers Equity and Fixed Income Markets Outlook 2023, Rabu (7/6/2023).

Optimisme terhadap pasar obligasi salah satunya memang merujuk pada tren suku bunga dan pertumbuhan ekonomi. Sebagai gambaran, saat ekonomi domestik masih tumbuh, pasar obligasi domestik cukup resilien meski dibayangi kenaikan suku bunga The Fed.

"Prospek pasar obligasi dalam negeri menarik. Domestik masih sangat support. Asuransi dana pensiun masih net buy, ritel juga aktif beli. Yang beda BI karena by design memang mengurangi kepemilikan SUN mereka. Onshore bank juga negatif tapi ini lebih karena ada yang jatuh tempo besar sekali belum masuk. Kami perkirakan ini akan masuk lagi ke pasar obligasi dan akan net buy lagi,” imbuh dia.


Kepemilikan Surat Utang

Pejalan kaki melintas dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di kawasan Jakarta, Senin (13/1/2020). IHSG sore ini ditutup di zona hijau pada level 6.296 naik 21,62 poin atau 0,34 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Hingga 29 Mei 2023, onshore bank mencatatkan total net sell sebesar Rp 24 triliun. ID mana net sell pada surat utang negara (SUN) tercatat sebesar Rp 5,4 triliun, dan net sell pada Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk senilai Rp 18,6 triliun.

Bank Indonesia (BI) mencatatkan total net sell Rp 40,3 triliun. Terdiri dari net sell pada SUN senilai Rp 44,4 triliun, sedangkan terjadi netbuy pada SBSN senilai 4,1 triliun. Mutual fund mencatatkan total net buy Rp 22 triliun. Terdiri dari net buy pada SUN senilai Rp 15,2 triliun dan ney buy pada SBS Rp 6,8 triliun.

Asuransi dan dana pensiun mendapatkan total net buy Rp 58,4 triliun,, terdiri dari SUN Rp 21,2 triliun dan SBSN Rp 37,2 triliun. Investor asing menyatakan net buy 67,8 triliun. Terdiri dari net buy SUN senilai Rp 74,8 triliun dan net sell SBSN senilai Rp 7 triliun.

Ritel mencatatkan net buy Rp 22 triliun, terdiri dari ney buy pada SUN sebesar Rp 2,6 triliun dan net bu SBSN Rp 19,4 triliun. Lainnya mencatatkan total net buy 6,2 triliun, terdiri dari nervus pada SUn RP 1,5 triliun dan netbuy pada SBSN Rp 4,7 triliun. Dari rincian tersebut, total net buy di pasar obligasi hingga Mei 2023 mencapai Rp 112 triliun. Terdiri dari netbuy pada SUN senilai Rp 65,5 triliun dan net buy SBSN Rp 46.6 triliun.

 

 

Infografis Ekonomi RI Jauh Lebih Baik dari Negara Lain (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya