Memaksimalkan Pangan Lokal untuk Tekan Angka Stunting yang Tinggi di Desa Sopo NTT

Setengah dari balita di Desa Sopo, Amanuban Tengah, Timor Tengah Selatan, NTT yang stunting. Beragam upaya dilakukan untuk menekan stunting termasuk memaksimalkan pangan lokal seperti kacang nasi.

oleh Benedikta Desideria diperbarui 09 Jun 2023, 18:45 WIB
Kacang nasi, salah satu bahan pangan yang mudah ditemukan di Desa Sopo NTT yang punya kandungan protein baik.

Liputan6.com, Timor Tengah Selatan Angka stunting yang tinggi (70 dari 139 balita per Februari 2023) masih menjadi pekerjaan rumah bagi Desa Sopo, Kecamatan Amanuban Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT). Beragam cara diupayakan, termasuk memaksimalkan bahan pangan lokal agar kasus stunting bisa ditekan.

Hal tersebut yang dilakukan Desa Sopo bekerja sama dengan Wahana Visi Indonesia bermitra dengan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Ada dua program yang dijalankan yakni lewat Pos Gizi dan Kebun Gizi.

Kedua program ini menekankan pada pemberdayaan masyarakat untuk memaksimalkan bahan pangan yang mudah ditemui di desa tersebut.

"Pos Gizi dan Kebun Gizi ini sebagai bentuk respons kami atas kasus stunting yang masih tinggi di sini," kata Area Program Cluster Timora (Timor dan Alor) Wahana Visi Indonesia (WVI), Berwaddin Ibrani Simbolon ditemui di Balai Desa Sopo pada akhir Mei lalu.

Program Pos Gizi berjalan pada akhir 2022 lalu dengan pendekatan penyimpangan positif dengan pemberdayaan masyarakat.  Pertama-tama, tim WVI dan mitra yakni GMIT melihat data yang ada di sana lalu memilih 18 anak dengan status gizi kurang. Harapannya, lewat Pos Gizi memperbaiki secara cepat status gizi anak agar tidak menjadi stunting.

Para orangtua yang terlibat diajak untuk berkomitmen mengikuti kelas Pos Gizi selama 10 hari. Sebelum kelas dimulai, anak-anak tersebut ditimbang berat dan tinggi badannya. Sehingga, bisa diketahui bagaimana pertumbuhan dalam 10, 30, 60 dan 90 hari. Target ideal dalam program ini adalah bisa menaikkan berat badan anak sebanyak 900 gram dalam 90 hari.


Mencari Tahu Asupan Pangan pada Anak Status Gizi Baik di Desa Sopo

Sebelum kelas Pos Gizi dimulai, tim WVI - GMIT mencari tahu makanan yang biasa dikonsumsi anak-anak bergizi baik tapi dari keluarga kurang mampu. Didapatlah beberapa bahan lokal yang biasa dikonsumsi seperti daun kelor, kacang nasi, jagung halus, pisang, pepaya dan sebagainya.

"Bahan-bahan itu didapatkan dari desa dan bisa diterapkan di masyarakat. Lalu, juga jadi pembelajaran bahwa gizi baik itu enggak harus mahal," kata Marthen Mantaon yang merupakan staf GMIT dalam kemitraan dengan Wahana Visi Indonesia.

"Jadi, kalau ada anggapan bahwa hanya orang kaya saja yang bisa, kita bisa menjawab dari temuan ini," kata Marthen.

 

 


Libatkan Relawan yang Berasal dari Desa Sopo

Marthen bersama ibu-ibu yang merupakan relawan yang terlibat dalam program Pos Gizi dari Wahana Visi Indonesia di Desa Sopo, Timor Tengah Selatan, NTT.

Program Pos Gizi juga melibatkan relawan dari Desa Sopo, beberapa diantaranya memiliki latar belakang kader posyandu, tenaga kesehatan maupun ibu-ibu yang suaminya perangkat desa.

Para relawan ini kemudian diberikan bahan pangan yang biasa dikonsumsi oleh anak-anak bergizi baik dari keluarga kurang mampu yang ada di Desa Sopo. Lalu, para relawan ini yang mengolah bahan pangan yang sudah dihitung nilai gizinya itu.

"Menu yang dibuat diantaranya kacang nasi dicampur daun kelor dibuat dalam bentuk bubur dan nasi goreng. Untuk nasi goreng, terbuat dari setengah bagian nasi lalu setengahnya lagi dari kacang nasi. Lalu ada juga jagung halus dipadukan dengan daun singkong," cerita Marthen.

Dari 10 hari kelas Pos Gizi, hari pertama makanan dibuat oleh para relawan. Namun, pada hari kedua hingga ke-10 para orangtua yang mengolah makanan tersebut.

"Bahan-bahan makanan itu disediakan oleh orangtua sendiri, kesepakatan saja, siapa bawa daun kelor dan bahan-bahan lainnya," kata Marthen.

Maksimal 300 Gram agar Padat Bergizi

Makanan yang disajikan bukan cuma terdiri dari karbohidrat dan sayur, lengkap juga bahan pangan lain yang mengandung protein hewani seperti dari telur serta lemak dari minyak goreng dan vitamin dari buah.Marthen menegaskan bahwa bahan pangan yang dibuat minimal memiliki berat 300 gram. Harapannya anak bisa mengahabiskan makanan yang disajikan.

"Kan kalau lebih dari 300 gram itu sulit dihabiskan. Jadi, menu itu memang dibuat sesedikit mungkin tapi padat gizi, sehingga bisa dihabiskan," tutur Marthen.

Sesudah masakan jadi, para balita yang menjadi peserta diminta untuk segera mengonsumsi makanan tersebut. Tentu saja harapannya bisa dihabiskan.

Saat ini, program Pos Gizi memang telah selesai tapi edukasi yang didapatkan selama di kelas diharapkan bisa tetap diterapkan orangtua dalam mengolah bahan pangan sehari-hari yang berasal di sekitar mereka.

"Hasil dari Pos Gizi ini sudah disampaikan ke masyarakat dan pemerintah desa. Dan, hasilnya didapat bahwa terdapat kenaikan berat badan, walau ada sebagian yang tidak memenuhi target karena sakit, " kata Marthen.


Cerita Ibu yang Berat Badan Anak Naik Drastis Usai Ikut Pos Gizi

Rispa (44) ibu dari Amri (3) merasakan kenaikan berat badan anaknya yang pesat usai ikut kelas Pos Gizi. Awal ikut program ini berat anak kelimanya itu hanya 9,1 kg tapi setelah 90 hari menjadi 10,4. Terjadi kenaikan 1,3 kilogram.

"Senang sekali karena dapat masukan yang bagus dari kelas Pos Gizi berat badannya langsung meningkat," cerita Rispa.

Ia pun merasa terbantu bahwa sebenarnya dengan bahan pangan yang ada di sekitar bisa meningkatkan berat badan anak dan menjauhkan dari stunting.

Selain pertumbuhan yang menunjukkan tren membaik, salah satu ibu PKK yang terlibat dalam program Pos Gizi, Astri melihat perkembangan otak Amri pun dirasa begitu pesat.

"Anak ini jadi cepat tangkap dan daya ingatnya pun kuat. Dia juga tidak terlihat lemas lagi anaknya bersemangat," kata Astri.


Kebun Gizi, Ketahanan Pangan dari Pekarangan Rumah

Kebun Gizi milik salah satu warga di Desa Sopo, TTS, NTT menanam wortel juga tomat.

Selain Pos Gizi, Tiga bulan lalu, WVI bermitra dengan GMIT juga menjalankan program Kebun Gizi. Sasarannya adalah keluarga yang memiliki balita.

"Pada saat awal-awal kami hanya meminta 30 keluarga saja yang datang tapi antusiasme tinggi sehingga yang datang 40," kata Marthen.

Pada saat edukasi tentang Kebun Gizi, para orangtua ini diajarkan dari A hingga Z mengenai menanam sayuran di pekarangan rumah. Mulai dari membuat pupuk dari bonggol pisang yang banyak ditemukan di Desa Sopo hingga merawat tanaman agar tidak diserang hama.

"Jadi, kami memanggil penyuluh pertanian untuk mengajarkan itu ke warga Desa Sopo," kata Marthen.

Setelah program edukasi dilakukan dilanjutkan dengan pemberian bibit oleh WVI. Mulai dari bayam, sawi, wortel hingga labu lilin.

Lewat program Kebun Gizi ini diharapkan masyarakat punya ketahanan pangan sehingga mampu memenuhi kebutuhan gizi termasuk balita yang ada dalam keluarga.

"Untuk masak sayur tidak pusing-pusing lagi kan karena tinggal petik, tidak perlu repot-repot untuk ke pasar yang jaraknya 15 menit naik motor," kata Marthen.


Penghasilan Bertambah

Keluarga Dessytiran siap panen sawi yang ditanam di pekarangan rumahnya.

Siapa sangka, bukan cuma kebutuhan gizi keluarga yang terpenuhi tapi bisa juga menambah pemasukan keuangan keluarga. Seperti yang terjadi pada keluarga Dessytiran yang menanam di pekarangan rumahnya yang berukuran sekitar 9 x 4 meter itu.

"Tidak habis juga untuk dimakan sendiri, ada juga tetangga yang beli," kata Dessytiran ditemui di pekarangan rumahnya.

Para tetangga tidak bisa menanam lantaran turut memelihara hewan ternak seperti ayam yang suka 'mengganggu' tanaman. Sehingga memilih membeli  sawi maupun kangkung yang tumbuh subur di pekarangan rumah Dessytiran. 

"Mereka tidak bisa tanam di pekarangan karena ada ternak kan. Nah di sini, di rumah ini kan bagus tidak ada ternak yang bisa makan sayuran yang ditanam. Jadi mereka bisa datang untuk membeli," lanjutnya.

 

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya