Liputan6.com, Jakarta - Jalan pendukung untuk mencapai target emisi adalah menerapkan green economy atau ekonomi hijau. Guna mencapai nol emisi pada 2060, Pemerintah Indonesia juga telah berupaya untuk membangun fondasi penerapan ekonomi hijau didukung oleh beberapa kebijakan strategis.
Ekonomi hijau didefinisikan sebagai rendah karbon, hemat sumber daya, dan inklusif secara sosial (UNDP). Di dalamnya, pertumbuhan lapangan kerja dan pendapatan didorong oleh investasi publik dan swasta ke dalam kegiatan ekonomi, infrastruktur, dan aset yang memungkinkan pengurangan emisi karbon dan polusi, peningkatan energi dan efisiensi sumber daya, dan pencegahan hilangnya keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem.
Advertisement
Komitmen itu didukung oleh alokasi anggaran melalui skema Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN) dan Non-APBN dalam pembiayaan program ekonomi hijau.
Titaningtyas selaku Senior Associate Green Finance di Global Green Growth Institute (GGGI) Indonesia mengatakan bahwa ekonomi hijau itu merupakan salah satu dari enam strategi tranformasi energi dari Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional).
Untuk diketahui, pemerintah Indonesia melakukan transformasi ekonomi melalui penerapan enam strategi besar, yaitu:
- SDM Berdaya Saing
- Produktivitas Sektor Ekonomi
- Ekonomi Hijau
- Transformasi Digital
- Integrasi Ekonomi Domestik
- Pemindahan IKN (Ibu Kota Nusantara)
"Green growth ini adalah bagaimana caranya kita bisa ada pertumbuhan ekonomi tapi juga tidak melupakan aspek sosial dan lingkungannya," kata Tita dalam workshop keempat Indonesian Climate Journalist Network (ICJN) bertajuk 'Green Economy' yang digagas FPCI bekerja sama dengan Kedutaan Besar Denmark di Jakarta pada akhir Mei 2023.
Selama ini, sambungnya, pertumbuhan ekonomi konvensional yang penting GDP (Gross domestic product) atau PDB (Produk domestik bruto) naik. "Tapi dampak lingkungan, sosial belum terlalu diperhatikan."
Menurut Tita, saat ini ketika melihat pertumbuhan ekonomi dan industri, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan. "Apakah ada kerusakan lingkungan, berdampak pula pada aspek sosial dan ketimpangan pendapatan," ucapnya.
Berkaca dari kondisi itu, Tita menjelaskan, diperkenalkanlah green growth, green economy (ekonomi hijau). Berikut ini di antaranya:
- Green Product (Produk Hijau)
- Customer awareness (Kesadaran Pelanggan)
- Sustainability (Keberlanjutan)
- Legal status related to green product (Status hukum terkait dengan produk hijau)
- Public private foreign collaboration (Kolaborasi publik swasta asing)
- Technological innovation and utilization (Inovasi dan pemanfaatan teknologi)
- Green consumer (Konsumen hijau)
- Fair pricing (Harga wajar)
- Comparative advantage (Keunggulan Komparatif)
- Green financing (Pembiayaan hijau)
- Ecological balance (Keseimbangan ekologis)
- Green investment (Investasi Hijau)
"Jadi ekonomi hijau menyediakan pendekatan makro ekonomi, mendorong pertumbuhan ekonomi juga melihat aspek manusia dan lingkungan. Jadi fokus pada investasi, tenaga kerja, dan skill di sumber daya manusia," tutur Tita.
Jadi dengan kata lain, ekonomi hijau adalah model pembangunan yang menyinergikan antara pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas lingkungan. Model ini diharapkan dapat mendorong peluang kerja baru (green jobs) dan juga peluang investasi baru (green investment).
Alasan utama munculnya program green growth ini, mengutip situs Kemenkeu RI, didasari oleh harapan akan pembangunan yang berkelanjutan yang dibangun melalui suatu pendekatan yang lebih terintegrasi dan komprehensif dengan penggabungan antara faktor sosial dan faktor lingkungan dalam proses ekonomi. Dalam proses pembangunan yang berkelanjutan tersebut, tidak bisa terlepas dari faktor-faktor kunci penggeraknya yaitu ekonomi hijau serta pertumbuhan hijau.
Menurut Indonesia.go.id, adapun strategi yang diungkap Presiden Joko Widodo dalam rangka mewujudkan ekonomi hijau tersebut, yaitu pertama, melalui pembangunan rendah karbon sebagaimana yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024. Kedua, kebijakan net zero emissions.
Diterbitkannya peta jalan untuk mencapai net zero emission pada 2060, termasuk net sink sektor kehutanan dan lahan tahun 2030. Ketiga, pemberian sejumlah stimulus hijau untuk mendorong peningkatan realisasi ekonomi hijau.
Perkembangan Ekonomi Hijau di Indonesia
Perempuan yang akrab disapa Tita itu kemudian mengungkap perkembangan ekonomi hijau di Indonesia dari sudut pandang Global Green Growth Institute (GGGI) selama ini.
"Dari GGGI sejauh ini melihat implementasi ekonomi hijau di Indonesia, melihat fase program pertumbuhan ekonomi hijau, karena ada beberapa fase, semakin maju maka inisiatifnya semakin banyak dan sektornya semakin luas. Makin banyak yang berpartisipasi dalam ekonomi hijau," paparnya.
"Saat ini awareness juga semakin banyak, sekarang sektor swasta menerapkan ESG. Berjalan lumayan progress nya."
ESG adalah singkatan dari Environmental, Social, and (Corporate) Governance. Sebuah alat untuk mengukur keberlanjutan investasi dalam bisnis.
Saat ditanya apakah ada negara acuan dalam hal penerapan sistem ekonomi hijau, seperti pelopor atau role model dalam hal transisi energi hijau global yang merujuk ke salah satu negara Nordik, Denmark misalnya, Tita mengarahkannya ke Skandinavia.
"Negara Skandinavia yang lebih advanced dalam tingkat ekonomi hijau," ujarnya.
Kendati demikian menurut Tita, dalam kasus negara yang projeknya banyak di approve dan implementasinya, salah satunya Mongolia -- dalam hal green finance secara spesifik. "Banyak projeknya, beragam, lumayan berjalan implementasinya," jelasnya.
Saat ini, Tita menuturkan, sudah ada tujuh provinsi utama di Indonesia yang masuk dalam kerangka program Indonesia dalam menerapkan sistem ekonomi hijau. Di antaranya Kalimantan Barat, Timur, Utara, Selatan, dan Tengah, Papua, serta Papua Barat. Dengan pekerjaan di provinsi lainnya berdasarkan basis proyek (seperti Sumatera Utara, Jambi, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat dan Timur).
Advertisement
Rekam Jejak Kebijakan Ekonomi Hijau dan Perubahan Iklim Indonesia
Melansir situs Kemenkeu RI, Indonesia diketahui sudah menikmati pertumbuhan ekonomi yang kuat dan konsisten sebesar sekitar 6% per tahun selama 15 tahun terakhir. Untuk dapat memberikan standar kehidupan yang layak bagi seluruh masyarakatnya, Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi yang pesat, namun juga memenuhi aspek inklusif dan berkelanjutan.
Sebagai satu kesatuan, program pertumbuhan ekonomi hijau atau green growth merujuk pada suatu konsep di mana perekonomian suatu negara dijalankan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi untuk mewujudkan prinsip keberlanjutan sebagai salah satu tujuan utama. Konsep ini juga menjadi salah satu strategi pemerintah dalam memitigasi risiko lingkungan yang terdampak oleh perubahan iklim dengan berbagai bauran kebijakan, baik secara substansi, kelembagaan maupun pembiayaan.
Dalam perjalanannya menjadi hijau melalui strategi ekonomi hijau, Indonesia memiliki sejumlah kebijakan sebagai acuan. Berikut di antaranya:
- 1994 - Ratifikasi UNFCC ke UU No.6/1994
- 2004 - Ratifikasi Kyoto Protokol ke UU No.17/2004
- 2011 dan 2014 - RAN GRK-API
- 2016 - Ratifikasi Paris Agreement ke UU No.16/2026
- 2016 - Submission of First NDC to UNFCC (Terkait berapa persen Indonesia akan menurunkan emisi dengan usaha sendiri atau bantuan dari luar)
- 2020 - RPJMN 2020-2024 (Prioritas Nasional 6)
- 2021 - Update NDC dan LTS-LCCR 2050
- 2022 - Enhanced NDC (Peningkatan program NDC)
Lantas bagaimana kontribusi GGGI dan Indonesia? Tita mengatakan ada lima target hasil dari program pertumbuhan hijau kerja sama antara pemerintah Indonesia dan GGGI.
"(Satu) Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, tidak cuma pertumbuhan ekonomi yang naik, GDP naik, tapi juga lingkungan tetap terjaga. Kalau bisa emisi turun, aspek sosialnya juga terjaga, kesetaraan gender. (Dua) Ketersediaan layanan ekosistem yang sehat dan produktif, (tiga) pertumbuhan yang adil dan inklusif, untuk komunitas yang digunakan bisa juga diperhatikan, misalnya ada proyek di suatu tempat dampaknya ke perempuan atau komunitas adat," paparnya.
"(Empat) Harapannya bisa berkontribusi ke ketahananan sosial dan lingkungan, dan (lima) tujuan akhirnya menurunkan emisi gas rumah kaca," imbuhnya.
Sumber Pendanaan Proyek Iklim yang Dianggap Berisiko Tinggi
Dalam proses untuk mencapai target net zero dengan ekonomi hijau, pendanaan juga diperlukan dan merupakan salah satu faktor penting.
"Kita butuh uang. Financing," tegas Senior Associate Green Finance di Global Green Growth Institute (GGGI) Indonesia, Titaningtyas.
Tita mengungkap, dari hasil climate budget (Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI saat ini belum bisa didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN). "Anggaran nasional itu baru bisa memenuhi 23,5 % saja dari kebutuhan pendanaan perubahan iklim," katanya.
"Padahal selama ini dari 2018-2020, Indonesia mengalokasikan 4,3 persen dari total APBN. Sementara dari NDC Roadmap, Indonesia butuh Rp343 triliun/tahun (27% dari dana APBN) hanya untuk mitigasi dalam mencapai target NDC."
Nationally Determined Contribution (NDC) merupakan komitmen setiap negara pihak terhadap Paris Agreement. Dalam kebijakan terbarunya, mengutip iesr.or.id, Indonesia telah menetapkan target penurunan emisinya pada 2030 sebanyak 31,89% (dengan usaha sendiri) dan 43,20% (dengan dukungan internasional dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya (NDC Diperbarui, 2021) – sebesar 29% (usaha sendiri dan 43,20% (dengan dukungan internasional).
Berkaitan dengan sektor energi, Pemerintah Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi sebesar 12,5% (dengan usaha sendiri) dan 15,5% (dengan dukungan internasional). Pengurangan emisi dari sektor ini penting sebagai komponen penting dari pembangunan ekonomi nasional. Ini tidak hanya mencakup kelistrikan namun juga pendinginan, komersil, rumah tangga, transportasi, pemanasan, produksi, bangunan, dan memasak (SEforALL).
Singkatnya, pengurangan emisi yang berhasil melalui transisi energi akan memberikan kontribusi signifikan terhadap perubahan iklim dan agenda ekonomi hijau.
Melihat situasi kurangnya pendanaan iklim tersebut, Tita mengatakan solusinya adalah dengan menutup kesenjangan finansial. Di antaranya melalui instrumen finansial, merancang instrumen yang inovatif.
"Proyek iklim terdengar mengawang, jika dibawa ke institusi pendanaan konvensional ke bank dianggap berisiko tinggi. Untuk itu perlu perlu adanya untuk mendapat loan, grant untuk meningkatkan kapasitas penduduk agar tidak tersisihkan dari proyek," jelas Tita.
Proyek bankable, menurut Tita bisa sukses diterapkan karena selain memperhitungkan segi pembayaran, proyek tetap bisa berjalan dengan sumber daya alternatif.
Sementara melalui moda pembiayaan nasional, sambung Tita, mendukung negara agar Indonesia meraih kapasitasnya untuk mencapai akses pendanaan internasional. "Karena ada ketentuan, regulasi. Pemangku kepentingan di Indonesia belum sampai pada tahap itu," ucapnya.
Jadi, Tita menambahkan, instrumen finansial ini kurang lebih untuk melihat penilaian dampak hijau di depan, proyek bankable untuk strategi perencanaan dan sub-sektor dan mode pembiayaan merupakan bagian implementasi yang sudah ada proyeknya.
Advertisement
Tantangan Pendanaan Perubahan Iklim
Tita menuturkan, tantangan untuk memenuhi pendanaan perubahaan iklim di antaranya terkait perihal koordinasi.
"Kurangnya koordinasi pendanaan perubahan iklim antar pemangku kepentingan, karena di level nasinal dan sub-nasional perlu dibantu koordinasinya, di level proyek perlu dijembatani lagi untuk konsultasi kepentingannya," jelasnya.
Hal itu, sambung Tita, sejatinya terkait dengan ketimpangan informasi terkait pendanaan perubahan iklim. "Jadi seperti ada proyek tapi bagaimana cara aksesnya dan lain-lain tidak tahun, itu salah satu hal yang perlu dijembatani," ungkapnya.
Salah satu highlight ekonomi hijau, kata Tita, bisa tetap menjembatani agenda pembangunan hijau tetap tercapai, masyarakat setempat kesejahtaraannya bisa meningkat dan lingkungan sekitarnya tidak dirusak. "Bagaimana caranya mencapai keseimbangan itu," tegasnya.
Tita mengatakan bahwa proyek bankable suku bunganya tinggi karena masih berisiko tinggi. Sehingga salah satu solusinya dengan pendanaan internasional sebagai contoh melalui green climate fund.
Untuk memobilisasi pendanaan iklim melalui green climate fund, Tita mengatakan diperlukan pertukaran dan perluasan pengetahuan. Selain itu juga peningkatan pertukaran pengetahuan dan informasi di tingkat negara, lalu juga kolaborasi perencanaan strategus proyek perubahan iklim Indonesia, terakhir dengan perluasan pengetahuan di masyarakat umum melalui media dan jurnalis.
Melansir situs Kemenkeu RI, budaya hijau diketahui telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir dikarenakan meningkatnya kesadaran bersama akan urgensi manfaat dari praktik yang berkelanjutan dengan memperhatikan aspek lingkungan yang semakin mengalami degradasi fungsi.
Pentingnya pertumbuhan pada sektor perekonomian yang merupakan salah satu denyut nadi keberlangsungan negara tentunya harus memperhatikan keselarasan dengan lingkungan dan aspek sosial akibat pertumbuhan penduduk yang cepat serta meningkatnya intensitas konsumsi SDA.
Proses pembangunan berkelanjutan melalui pertumbuhan ekonomi hijau ini menjadi suatu komitmen untuk melindungi kehidupan manusia dan lingkungan di masa yang akan datang melalui berbagai pendekatan dan mekanisme untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang kuat dan ramah lingkungan serta inklusif secara sosial.