Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron meminta seluruh pihak menyudahi perdebatan masa jabatan pimpinan KPK. Menurut Ghufron, keputusan yang sudah dibacakan Mahkamah Konstitusi (MK) harus dipatuhi semua pihak.
"Mari kita tutup perdebatan ini, dan kami berharap mari kita kembali memikirkan kebersamaan dalam pemberantasan korupsi," ujar Nurul Ghufron dalam keterangannya, Jumat (9/6/2023).
Advertisement
Ghufron menyebut, berdasarkan Pasal 47 UU MK yang menyatakan 'Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum' itu seharusnya sudah bisa menjelaskan kepada semua pihak yang masih mendebatkan persoalan ini.
Menurut Ghufron, keputusan MK itu berlaku untuk masa kepemimpinannya dan Firli Bahuri.
"Itu artinya sejak 25 Mei 2023, ketika selesai dibacakan putusan MK No. 112/PUU/2022, telah berlaku Pasal 34 berdasar putusan MK menjadi hukum baru mengenai masa periodisasi pimpinan KPK adalah 5 tahun," kata dia.
MK Putuskan Masa Jabatan Pimpinan KPK Menjadi 5 Tahun
Hakim MK mengetuk masa jabatan pimpinan KPK menjadi 5 tahun, dari yang sebelumnya hanya 4 tahun.
"Amar Putusan, mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," tutur Hakim Anwar Usman di Gedung MK, Jakarta, Kamis (25/5/2023).
Anwar menyampaikan, Amar Putusan menyatakan Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) yang semula berbunyi, "Berusia paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kemudian, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, "berusia paling rendah 50 tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan".
Selain itu, Amar Putusan juga menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) yang semula berbunyi, "Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, "Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan".
"Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya, kata Anwar.
Advertisement
Mahfud Md: Putusan MK soal Pimpinan KPK Terasa Inkonsisten, Tapi Pemerintah Ikuti
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md mengakui dalam beberapa hal, pemerintah kurang sependapat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang perpanjangan masa jabatan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dia menyebut putusan MK terasa inkonstitusional. Kendati begitu, Mahfud mengatakan pemerintah harus tetap mengikuti putusan MK.
Mahfud mencontohkan Pimpinan KPK saat ini diangkat berdasarkan UU lama, yang menyatakan masa jabatan berlaku empat tahun. Namun, tiba-tiba aturan tersebut diubah dan berlaku langsung untuk periode saat ini.
"Ya misalnya dulu ini kan diangkat berdasar UU lama yang 4 tahun. Kok diubah sekarang apa tidak boleh berlaku ke depan aja, misalnya. Dulu (Nurul) Ghufron (Pimpinan KPK) tidak memenuhi syarat menurut UU baru maka diberlakukan yang lama. Terasa inkonsisten," jelasnya.
Mahfud menuturkan dirinya sudah bertemu dengan delapan hakim MK pada 29 Mei lalu dan dinyatakan bahwa keputusan terkait jabatan pimpinan KPK mulai berlaku untuk periode saat ini. Mahfud menyampaikan pemerintah harus taat terhadap putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
"Ya sudah diikuti saja (putusan MK). Kan tidak bisa kita mengatakan tidak pada putusan MK. Lalu dasar hukum apa yang mau kita pakai kalau putusan MK sudah mengatakan itu kita tidak taat. Kan ini negara hukum, jadi diikuti," tutur Mahfud.