Rahasia Indonesia Keluar 10 Besar Penyumbang Emisi Gas Rumah Kaca Dunia

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) RI Prof Dwikorita Karnawati, mengatakan Indonesia saat ini tidak lagi masuk dalam daftar 10 besar negara penyumbang emisi gas rumah kaca. Kepastian tersebut menurut Dwikorita didapatkan setelah adanya hasil pemantauan dari alat global greenhouse watch yang memonitor gas rumah kaca.

oleh Yanuar H diperbarui 11 Jun 2023, 03:00 WIB
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati. (Liputan6.com/ist)

Liputan6.com, Yogyakarta - Tahun lalu Indonesia belum berhasil keluar dari 10 besar negara penyumbang emisi gas rumah kaca di dunia. Namun kini hasil pemantauan dari alat global greenhouse watch yang memonitor gas rumah kaca menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) RI Dwikorita Karnawati Indonesia sudah keluar dari 10 besar.

“Dengan adanya global ini ternyata rata-rata emisi gas rumah kaca di bawah global, sehingga keluar dari sepuluh besar penghasil gas rumah kaca,” kata Dwikorita Karnawati dalam Diskusi Temu Bisnis dan Forum Investasi yang bertajuk "Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim" di gedung University Club UGM, Jumat (9/6/2023).

Dwikorita mengatakan setelah memasang alat pemantau emisi gas rumah kaca ini dapat memantau emisi gas rumah kaca. Alat global greenhouse watch ini terpasang di seluruh dunia sebagai pengawas atmosfer global.

“Satu di antaranya ada di BMKG. Tugasnya memonitor gas rumah kaca penyebab utama terjadinya pemanasan global. Kita diharapkan nantinya bisa memahami secara mendalam dimana sumber gas rumah kaca di tingkat lokal. Saya kira perlu keterlibatan perguruan tinggi untuk memantau dan menganalisis,” ujarnya, di Yogyakarta.

Dwikorita mengatakan emisi gas rumah kaca terdiri atas senyawa co2, ch4 dan N20 yang dalam beberapa dekade terakhir meningkat. Kekeringan akibat pemanasan global dengan kenaikan suhu bumi 1-2 derajat celcius telah mengakibatkan bencana kekeringan dan banjir di belahan dunia.

“Lalu adanya ancaman ketahanan pangan global, krisis pangan semakin menguat dan merata. Diprediksi oleh FAO pada tahun 2050 sekitar 500 juta petani yang menghasilkan 80 persen produk pangan global akan kena dampak, kelaparan dimana-mana, nanti tidak ada negara yang bisa saling menolong, karena kekurangan pangan masing-masing,” katanya.

Menurutnya dampak perubahan iklim ini semakin nyata bisa mempengaruhi situasi keamanan dan politik dunia, sehingga perlu mitigasi untuk memantau buangan emisi gas rumah kaca. Sementara Oki Muraza dari SVP Research and Technology Innovation PT Pertamina (Persero) mengatakan Pertamina memiliki beberapa inisiatif untuk mencapai target emisi nol bersih dalam rangka pengurangan emisi gas rumah kaca.

“Kita mulai berupaya mengurangi emisi metana dan mendorong pemulihan dari penggunaan sumber energi metana. Pemanfaatan etanol dan limbah biomassa dari perkebunan terus didorong dan Pertamina juga telah memulai inisiatif pemanfaatan green hidrogen di Indonesia yang akan menggunakan listrik dari lapangan geothermal pertamina,” katanya.

 

Simak Video Pilihan Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya