Liputan6.com, Jakarta - Seiring populernya media sosial, influencer bukanlah istilah yang asing bagi kebanyakan orang. Tapi sekarang, generasi baru "deinfluencer" telah tiba, dan mereka mengatakan bahwa materialisme dan tren yang terlalu mahal tidak lagi populer.
Melansir CNN, Senin (12/6/2023), saat konsumen memperhatikan pengeluaran mereka selama masa inflasi di banyak negara di dunia, kelompok pengguna media sosial yang baru muncul ini mendesak orang mengevaluasi apakah mereka benar-benar membutuhkan barang yang dipromosikan di media sosial.
Advertisement
Pesan mereka sederhana dan lugas: Barang-barang ini dilebih-lebihkan, Anda tidak membutuhkannya, dan inilah alasannya. Terkadang, mereka menyarankan opsi lain. Deinfluencer juga berbicara tentang keberlanjutan dan biaya pemborosan terkait industri tertentu, seperti kecantikan dan mode.
Di TikTok, 582 juta dari total 584 juta penayangan untuk tagar #deinfluencing terangkum dalam 12 bulan, kata platform itu pada Mei 2023. Jadi, apa sebenarnya fenomena deinfluencer?
Deinfluencer adalah tren media sosial yang sedang berkembang yang membuat konsumen enggan membeli produk tertentu yang dianggap tidak penting, tidak efektif, atau tidak sepadan dengan uang yang dikeluarkan, kata Kris Ruby, analis media sosial dan presiden Ruby Media Group.
Itu terjadi karena media sosial jadi sangat penting dalam memasarkan produk dan layanan, terutama untuk konsumen yang lebih muda. Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa 87 persen orang yang disurvei mengikuti suatu merek, mengunjungi situs webnya, atau melakukan pembelian secara online setelah mereka melihat suatu produk diiklankan di media sosial.
Perkembangan Tren Minimalis
Merek dan perusahaan membayar influencer untuk memasarkan barang, pengalaman, dan layanan pada pengikut mereka. Singkatnya, influencing adalah mencoba membujuk pengguna media sosial untuk membeli produk tertentu. Namun, deinfluencing adalah kebalikan dari itu, tapi dengan beberapa peringatan.
"Daripada mengatakan beli ini, mereka mengatakan, jangan beli ini. Keduanya adalah bentuk memengaruhi. Ini tidak berbeda dengan mengatakan, 'Pilih kandidat ini,' versus 'Inilah mengapa Anda tidak boleh memilih kandidat ini,'" kata Ruby.
Namun demikian, katanya, deinfluencing dan serangan balik terhadap konsumsi berlebihan mencerminkan tren yang berkembang ke arah minimalis. Alih-alih membeli barang-barang yang digembar-gemborkan selebritas media sosial, tren ini mendorong konsumen mengevaluasi apakah mereka membutuhkan suatu barang sebelum mengeluarkan uang untuk itu.
Mikayla Mains (28) adalah kreator konten dari St. Louis, Amerika Serikat (AS) yang mengaku terhubung dengan budaya deinfluencer. Ia mengatakan, tren terasa menyegarkan saat pemasaran media sosial terasa seperti tekanan dengan menyarankan Anda membutuhkan kemewahan yang mahal untuk merasa nyaman dengan diri sendiri.
Advertisement
Tidak Semua Setuju
Mains berkata, "Sebagai seseorang yang selalu bergumul di ranah influencer dengan moral untuk memengaruhi, saya senang melihat kami mengambil arah yang berbeda. Meski menurut saya influencing tidak semuanya buruk, saya senang bahwa kami mengambil langkah mundur untuk memikirkan kembali cara kami mengonsumsi tidak hanya produk, tapi juga konten."
Namun demikian, tidak semua orang setuju dengan deinfluencing. Aria Connor (36) membuat konten gaya hidup di media sosial dan mengatakan beberapa deinfluencer tidak ikut arus utama karena alasan yang tepat. "Banyak orang yang berpartisipasi dalam tren deinfluencer lebih tertarik membuat orang merasa tidak enak karena membelanjakan uang mereka dengan cara yang tidak sesuai dengan nilai atau anggaran deinfluencer," katanya.
Yang lain, katanya, hanya mencoba membujuk orang membeli beberapa produk lain. Connor juga tidak percaya itu membantu konsumen. "Ada begitu banyak deinfluencer yang memberi tahu audiens mereka, 'Jangan beli itu. Beli ini.' Dalam hal ini, berhentilah menyebutnya sebagai penghilang pengaruh," katanya. "Sebut saja beda pendapat tentang produk apa yang terbaik."
Beberapa deinfluencer menyarankan pengikut mereka menghindari produk tertentu, sementara yang lain berbicara lebih umum tentang tidak membuang-buang uang untuk barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Ruby mengatakan tidak jelas apakah beberapa deinfluencer dibayar oleh merek saingan untuk menjatuhkan produk tertentu.
Deinfluencer Membawa Keseimbangan?
Tapi, mereka yang memberi tahu pengikut apa yang harus dihindari mungkin memiliki kredibilitas lebih daripada orang yang hanya berbagi rekomendasi tentang apa yang harus dibeli, katanya. Ruby menyebut bahwa deinfluencer dapat menanamkan lebih banyak kepercayaan pada pengikut karena nasihat mereka terdengar jujur.
Mains, yang memiliki 13 ribu pengikut TikTok, mengatakan deinfluencer dapat membawa keseimbangan yang sangat dibutuhkan ke platform sosial yang mendorong konsumsi berlebihan dan disalahkan atas peningkatan masalah kesehatan mental di kalangan remaja.
Namun, saran media sosial tentang apa yang harus dibeli atau apa yang tidak boleh dibeli tidak terlalu berarti, katanya. Alih-alih, deinfluencer harus membuat orang "mempertanyakan bagaimana kita mengonsumsi, apa yang kita konsumsi, dan mengapa kita mengonsumsinya," katanya.
"Masalah dengan gerakan baru seperti ini adalah setiap orang membuat makna tersendiri di baliknya," tambahnya.
Ruby menyambung bahwa mempengaruhi dan menghilangkan pengaruh pada platform sosial tidak jauh berbeda, katanya. "Anda harus dipengaruhi dulu sebelum bisa tidak terpengaruh," ujar dia. Kunci bagi konsumen, menurutnya, adalah tidak memercayai semua yang Anda lihat di TikTok, YouTube, atau Instagram.
Baca Juga
Advertisement