Liputan6.com, Chaska - Pada tanggal 13 Juni 1991, sebuah insiden langka terjadi saat berjalannya turnamen kejuaraan U.S. Open di Amerika Serikat.
Kilat yang menangguhkan permainan golf itu selama hampir tiga jam berubah menjadi mematikan, menewaskan satu penonton dan melukai lima lainnya di Hazeltine National Golf Club -- salah satu situs utama negara untuk kejuaraan golf.
Advertisement
Kejuaraan Amerika Serikat Terbuka atau The United States Open Championship, umumnya dikenal sebagai US Open, adalah kejuaraan golf nasional tahunan di Amerika Serikat.
Ini merupakan ketiga dari empat kejuaraan golf utama, dan juga merupakan bagian dari jadwal resmi Tur PGA -- penyelenggara tur golf profesional di AS.
Melansir dari Associated Press, Selasa (13/6/2023) Sambaran petir pada hari pertama turnamen menewaskan penonton yang bernama Billy Fadell, dan membuat lima orang lainnya dirawat di rumah sakit setelah mereka berdiri di bawah pohon saat hujan badai.
Lima korban lainnya diidentifikasi sebagai John James Hannahan, Ray John Gavin, Glenn Mark Engstrom, Jeffery Skalicky, dan Scott Michael Aune.
Salah satu dari mereka mengalami perhentian napas dan tercatat dalam kondisi kritis. Sementara, sisanya menderita luka bakar superfisial dan mati rasa di kaki bagian bawah. Semua terdaftar dalam kondisi stabil.
Saat kejadian, para petugas turnamen bergerak cepat untuk menggiring penonton keluar dari lapangan, tetapi hanya ada sedikit perlindungan yang tersedia untuk 40.000 orang.
Itu adalah sambaran petir pertama di turnamen U.S Open sejak Oakmont di Pennsylvania pada 1983. Satu orang terkena sambaran petir tetapi selamat.
11 tahun setelah kejadian 13 Juni, Tur PGA itu diadakan kembali di Hazeltine, dan para penyintas menceritakan secara detail apa yang terjadi pada mereka.
Kronologi Insiden
Gavin dan John Hannahan, yang selamat dari sambaran petir, sedang menghadap ke timur di punggung bukit yang menghadap ke Danau Hazeltine dan fairway ke-16 ketika Gavin dikejutkan oleh pemandangan balon udara yang tiba-tiba membelok menjauh dari mereka.
"Saya langsung tanya, 'Apa yang terjadi?'" kata Gavin. "Kemudian John menyuruh saya untuk melihat apa yang ada di balik bahu saya. Pemandangannya seperti siang dan malam - saya belum pernah melihat yang seperti ini. Langitnya berwarna hijau (mengindikasikan badai)."
"Sebelum kita menyadarinya," kata Hannahan, "badai dan petir habis-habisan turun melanda turnamennya."
Mereka tidak berada di dekat mobil mereka, dan tanpa izin VIP, mereka tidak diizinkan untuk masuk ke salah satu tenda yang tersedia. Kemudian, pasangan itu menemukan sebuah pohon kecil untuk berteduh dibawahnya.
Akhirnya, mereka dengan cepat bergabung dengan empat orang lainnya yang juga sedang berteduh.
Gavin dan Hannahan ingat bahwa saat itu mereka mengomentari para penonton di bangku yang basah kuyup karena takut kehilangan kursi mereka.
"Betapa bodohnya," pikir mereka. "Orang-orang bodoh itu akan tersambar petir," kata Gavin.
Ternyata, yang tersambar petir adalah dia sendiri, bersama dengan orang-orang yang berteduh di pohon yang sama.
Karena daun pohon willow lebih mudah menahan air, ia berubah menjadi penangkal petir. Keenam orang itu terjatuh seperti kartu domino.
Billy Fadell, yang berdiri di antara Gavin dan Hannahan, meninggal sebelum sampai di rumah sakit. Jantung Hannahan pun berhenti. Yang lainnya lumpuh sementara.
Namun, ternyata Hannahan baik-baik saja.
Pohon itu ditebang tak lama setelah insiden itu.
Advertisement
Pengalaman Traumatis
Sejak musim panas itu, sistem pendeteksi cuaca buruk telah ditingkatkan di Tur PGA. Tetap saja, terserah penonton bagaimana mereka menanggapi peringatan itu.
"Jika sambaran petir mencapai 50 yard ke timur laut, itu dapat membunuh 100 orang," kata Hannahan. "Ini hal yang tidak bisa dibercandakan."
Keluarga Gavin dan Hannahan berkumpul setiap tahun untuk memperingati kematian nyaris mereka.
Sementara penyintas lainnya bernama Glenn Engstrom, dulunya sering memotret petir saat badai, bahkan fotonya pernah memenangkan kontes. Tetapi sejak insiden, dia tidak ingin melihat foto-foto petir miliknya lagi.
Dia masih bermain golf, tapi ketika cakrawala berubah menjadi badai, dia jadi sulit bermain.
"Aku hanya ingin masuk ke clubhouse. Saya berlari duluan dan melakukan pukulan mendahului grup, berjalan di sepanjang garis pohon. Saya tidak ingin berada di tempat terbuka."
"Satu hal yang masih menghantui saya adalah bahwa bocah Fadell itu baru berusia 27 tahun", kata Gavin.
"Mengapa dia dibunuh dan bukan saya?" kata Glenn. "Saya hanya bersyukur kepada Tuhan setiap hari karena saya masih ada."
Pandemi Covid-19 Bikin Popularitas Golf Meningkat
Pandemi virus corona Covid-19 yang menghantam dunia pada awal 2020 telah memberi dampak begitu besar di berbagai sendi kehidupan manusia. Tak terkecuali dunia olahraga.
Dikarenakan kontak fisik dilarang, cabang olahraga yang merupakan permainan tim begitu terganggu. Namun cabor yang bisa dimainkan sendiri tanpa kontak fisik justru mendapat durian runtuh.
Salah satunya adalah golf. Pandemi Covid-19 justru membuat olahraga golf naik daun. Banyak orang yang gemar olahraga beralih ke golf karena lebih aman dilakukan di masa pandemi Covid-19.
Hal ini terlihat di Jababeka Golf & Country Club. Jumlah pemain golf di sana justru mengalami peningkatan selama pandemi Covid-19. Angkanya naik signifikan.
"Pandemi covid-19 justru bikin golf booming. Saya percaya jumlah pemain golf baik di lapangan golf maupin drive range naik drastis. Di kami, pada tahun 2020 jumlah orang yang main 52 ribu dalam setahun. Tahun 2021 naik jadi 56 ribu. Kemudian di 2022 menembus 60 ribu," ujar Fachrully F. Lasahido, direktur padang golf Cikarang.
Peningkatan jumlah pemain golf selama pandemi Covid-19 ini tak hanya terjadi di Jababeka Golf & Country Club saja. Menurut Rully, lapangan golf lain di Indonesia juga mengalami hal serupa.
Selengkapnya baca di sini.
Advertisement