PalmCo Bakal IPO, Incar Dana Segar hingga Rp 10 Triliun

Perkebunan Nusantara sedang menanti persetujuan resmi dari kreditur sehingga dapat buka jalan untuk proses IPO. Diharapkan IPO PalmCo digelar pada akhir 2023.

oleh Elga Nurmutia diperbarui 12 Jun 2023, 18:52 WIB
PalmCo ditargetkan bakal melantai di pasar modal pada akhir 2023 dengan mengincar dana hingga Rp 10 triliun. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III sedang menyelesaikan penggabungan empat anak perusahaan perkebunan menjadi unit PalmCo yang baru didirikan bulan ini. Selain itu, PalmCo ditargetkan bakal melantai di pasar modal pada akhir 2023 dengan mengincar dana hingga Rp 10 triliun. 

Direktur Utama Perkebunan Nusantara Mohammad Abdul Ghani mengatakan, pihaknya sedang menunggu persetujuan resmi dari kreditur bulan ini yang akan membuka jalan bagi proses penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) untuk segera dimulai.

Dalam IPO tersebut, Mandiri Sekuritas, DBS, BNP Paribas, CIMB telah ditunjuk sebagai penjamin emisi. Meski demikian, Ghani belum bisa menjabarkan secara rinci terkait target IPO.

Ghani mengatakan, pada tahun lalu perusahaan berharap dapat mengumpulkan antara Rp 5 triliun - Rp 10 triliun dari penawaran 20 persen saham.  

"Dana tersebut akan kami gunakan untuk investasi proyek industri hilir, termasuk produksi energi terbarukan,” kata Ghani, dikutip dari Financial Post, Senin (12/6/2023).  

Di samping itu, PTPN III akan memulai pembangunan pabrik biodiesel di kawasan ekonomi Sei Mangke, Sumatera Utara, tahun ini, dengan target mulai berproduksi pada Januari 2024.

PTPN III juga berencana meningkatkan produksi minyak goreng tahunan menjadi 1,8 juta ton pada 2026 dari 460.000 ton. Kedua proyek tersebut akan membutuhkan pengeluaran sekitar USD 270 juta, termasuk biaya untuk memperluas perkebunan menjadi 650.000 hektar selama lima tahun ke depan.

Grup juga berencana mengembangkan pabrik gula untuk mendukung program swasembada pangan dan energi nasional. Indonesia adalah pembeli gula mentah terbesar di dunia, menurut laporan Dinas Pertanian Luar Negeri Departemen Pertanian AS.

Entitas baru lainnya bernama SugarCo akan didirikan dalam upaya untuk meningkatkan produksi tahunan menjadi 2,1 juta ton pada 2026 dari 768.000 ton saat ini.

Perusahaan menggandakan perkebunan tebu menjadi 100.000 hektar dengan mengkonversi beberapa perkebunan karet, kopi atau kakao dan mengimpor varietas tebu baru dari Australia dan Brazil. Perkiraan lain Rp 16 triliun akan dibutuhkan untuk rencana tersebut.


PalmCo Bakal Peruat Industri Sawit Indonesia, Bisa Susul Malaysia

Pekerja melintas di depan layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Senin (3/1/2022). Pada pembukan perdagagangan bursa saham 2022 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) langsung menguat 7,0 poin atau 0,11% di level Rp6.588,57. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, kebijakan Pemerintah melalui Kementerian BUMN yang berencana membentuk Palm Co, sebagai sub-holding PTPN Group, khusus mengelola bisnis sawit dari hulu ke hilir, dinilai sebagai kebijakan yang sangat tepat.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB) Didin S. Damanhuri, mengatakan pembentukan Palm Co akan menguntungkan perusahaan, industri sawit dan perekonomian nasional, sehingga perlu segera direalisasikan secara konsisten.

Dia mengatakan pembentukan Palm Co akan mendukung program hilirisasi sumber daya alam, terutama komoditas perkebunan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) di Indonesia.

“Ini langkah yang sangat baik. Jika Palm Co dibentuk dalam rangka hilirisasi saya rasa ini tepat. Kalau menurut saya begitu,” jelas Didin S Damuri yang juga pendiri dan ekonom senior INDEF, dikutip Kamis (23/3/2023).

Bagi industri kelapa sawit nasional, dia menilai dengan adanya Palm Co, akan meningkatkan nilai tambah CPO di dalam negeri, mengingat saat ini, Indonesia hanya memproduksi 47 produk turunan dari CPO. Itupun, menurutnya, belum komersil.

Produksi Malaysia

Padahal, paparnya, Malaysia telah memproduksi sekitar 100 jenis produk turunan CPO dan hampir semuanya telah dipasarkan di pasar regional dan internasional. Sedangkan, Indonesia masih mengandalkan CPO dan minyak goreng.

“Adanya PalmCo dalam rangka hilirisasi ini adalah langkah sangat jitu, asal jangan setengah-setengah karena produk turunan minyak sawit sangat bervariasi,” ujarnya.

Didin mencontohkan salah satu produk turunan CPO yang sedang diteliti peneliti IPB dan Taiwan adalah memproduksi gula dari CPO karena gula tebu dinilai tidak efisien dari sisi penggunaan lahan dan produktivitas tanaman.

“Kebetulan IPB baru saja menandatangani dengan perusahaan Taiwan bagaimana sawit bisa menghasilkan gula. Ini lebih produktif dari tebu. Jadi kalau IPB berhasil, PTPN bisa langsung membeli patennya. Banyak lagi contoh produk turunan CPO hasil inovasi di dalam negeri yang bisa dikomersilkan melalui Palm Co,” paparnya.

 


Hilirisasi CPO

Ilustrasi CPO 5 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Sementara itu, bagi perekonomian nasional dan negara, dia mengatakan program hilirisasi CPO yang didukung oleh Palm Co akan mampu meningkatkan devisa dari ekspor produk turunan yang akan dihasilkan.

“Begini, kalau dengan CPO saja Indonesia bisa mengumpulkan devisa ekspor tahun lalu sekitar Rp530 triliun, tentu dengan hilirisasi akan lebih besar lagi,” terangnya.

Namun, dia mengingatkan untuk mencapai target ini tidak hanya membutuhkan dukungan teknologi, modal, tetapi juga marketing intelligent, sampai mengukur daya saing dengan produk-produk yang telah lebih dulu diproduksi oleh negara lain.

“Untuk itulah, Pemerintah harus memastikan seleksi Direksi di Palm Co dilakukan dengan ketat. Direksinya harus berkelas internasional, dari sisi manajerial dan R&D sampai menemukan produk-produk baru dengan benchmark minimal ke Malaysia,” terangnya.

Di sisi lain, Didin S Damanhuri mengingatkan bahwa industri minyak sawit Indonesia juga ada sisi kelamnya, yaitu dugaan kartel minyak sawit.

Pemerintah melalui Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), menurutnya, harus bisa mengatasi persoalan ini, sehinga perusahaan yang ingin berkembang, seperti Palm Co, bisa melaju dengan pesat, sesuai dengan mekanisme pasar.

Lebih jauh, dia mengingat kembali jika mundur ke belakang, sebenarnya regrouping dan restrukturisasi sudah mulai diwacanakan di masa Menteri BUMN Tanri Abeng di awal era reformasi tahun 1998. Namun, jelasnya, tidak sampai direalisasikan.

“Terakhir ini, saya lihat agak serius. Saya ikuti perkembangannya, ada dibentuk holding, Palm Co, kemudian ada hilirisasi sawit. Saya kira ini tepat, asalkan implementasinya konsisten,” tambahnya.

 

 


Sub Holding Palm Co

Ilustrasi CPO 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Seperti diketahui dalam pengumuman rencana penggabungan, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V, VI dan XIII akan bergabung ke dalam PTPN IV atau nantinya dikenal sebagai Sub Holding PalmCo.

Dari hasil konsolidasi, PalmCo akan menjadi salah satu perusahaan sawit terbesar di dunia dari sisi luas lahan, yaitu mencapai lebih dari 600 ribu Ha pada tahun 2026, dan akan menjadi pemain utama industri sawit dunia.

Terkait minyak goreng, PTPN nantinya akan mampu meningkatkan produksi minyak goreng curah dalam negeri dan meningkatkan produksi CPO. Melalui PalmCo, diharapkan pada 2026, PTPN akan mampu memproduksi 1,8 juta ton minyak goreng.

Kemudian, untuk membantu mencapai target bisnisnya, terutama dari sisi dukungan modal, efisiensi dan transparasi tata kelola perusahaan, PalmCo ditargetkan bisa IPO tahun 2023 dan mendapatkan modal baru sekitar Rp5 triliun hingga Rp10 triliun.

Penggabungan PalmCo menurut PTPN Holding direncanakan akan dilakukan pada Mei 2023.(*)

 

 

infografis 10 Daerah Penghasil Kelapa Sawit Terbesar di Indonesia pada 2021. (Liputan6.com/Tri Yasni).

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya