Liputan6.com, Jakarta - Kemajuan teknologi, di bidang media sosial saat ini berbanding lurus dengan sikap masyarakat yang cenderung senang menunjukkan aktivitas kesehariam masyarakat.
Tak jarang sikap arogansi pun berseliweraan di layar HP kita. Kekerasan tergambar baik sesama manusia, maupun manusia terhadap binatang.
Beberapa waktu lalu terjadi kekerasan terhadap hewan hewan yang statusnya dilindungi, ada juga yang menyiksa hewan piaraan. Tentu masih ingat kalimat ‘one shoot one kill’, yang maksudnya satu kali tembak hewan akan mati.
Pada kasus itu adalah kucing yang ditembak dan divideokan serta disebarkan di media sosial. Konten ini jelas viral dan mengundang perhatian berbagai pihak terutama kalangan pecinta binatang.
Mirisnya, ternyata Indonesia adalah salah satu negara dengan konten penyiksaan hewan tertinggi.
Baca Juga
Advertisement
Sementara, Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Islam mengajarkan agar manusia melindungi dan menyayangi makhluk hidup.
Bagaimana seharusnya sikap manusia terhadap binatang dalam pandangan Islam?
Simak Video Pilihan Ini:
Hak Hidup Binatang Secara Umum Dijamin dalam Islam
Mengutip laman NU, binatang merupakan makhluk Allah yang dilindungi. Hak hidup binatang secara umum dijamin dalam Islam. Binatang baik peliharaan maupun lepas memiliki hak yang sama, tidak boleh dizalimi oleh manusia.
Rasulullah dalam hadis riwayat Imam Muslim melarang manusia untuk menjadikan nyawa binatang sebagai taruhan atau permainan:
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَا تَتَّخِذُوا شَيْئاً فِيهِ اَلرُّوحُ غَرَضًا رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya, “Dari Ibnu ‘Abbas RA, ia berkata, Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Jangan kalian menjadikan binatang bernyawa sebagai sasaran bulan-bulanan,’” (HR Muslim).
Advertisement
Manusia Harus Memperhatikan Hak Hidup Binatang
Dari sini dapat dipahami bahwa manusia harus memperhatikan hak hidup binatang. Manusia juga harus memperlakukan dengan baik binatang di sekitarnya. Imam An-Nawawi dalam syarah sahih Muslim-nya mengatakan, larangan pada hadits riwayat Imam Muslim bermakna pengharaman bagi umat Islam menganiaya binatang.
Imam Izzuddin bin Abdissalam dari mazhab Syafi’i mengaitkan perlindungan atas hak binatang dan prinsip dasar penghadiran maslahat dan penolakan mafsadat (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid). Imam Izzuddin yang dujuluki sulthanul ulama ini merinci hak-hak hewan dan binatang yang harus dipenuhi oleh manusia sebagai berikut:
القسم الثالث من أقسام الضرب الثاني من جلب المصالح ودرء المفاسد حقوق البهائم والحيوان على الإنسان، وذلك أن ينفق عليها نفقة مثلها ولو زمنت أو مرضت بحيث لا ينتفع بها، وألا يحملها ما لا تطيق ولا يجمع بينها وبين ما يؤذيها من جنسها أو من غير جنسها بكسر أو نطح أو جرح، وأن يحسن ذبحها إذا ذبحها ولا يمزق جلدها ولا يكسر عظمها حتى تبرد وتزول حياتها وألا يذبح أولادها بمرأى منها، وأن يفردها ويحسن مباركها وأعطانها، وأن يجمع بين ذكورها وإناثها في إبان إتيانها، وأن لا يحذف صيدها ولا يرميه بما يكسر عظمه أو يرديه بما لا يحلل لحمه،
Artinya, “Jenis ketiga yang masuk kategori kedua dalam rangka mendatangkan maslahat dan menolak mafsadat adalah kewajiban manusia dalam menjaga hak binatang ternak dan hewan. Manusia wajib menafkahi dengan pantas binatang tersebut seandainya binatang itu sakit dan tidak dapat diambil manfaatnya; tidak boleh membebaninya dengan pekerjaan yang tidak sanggup dilakukannya; tidak mengumpulkannya dengan hewan sejenis atau hewan jenis lain yang dapat menanduk, memecahkan, atau melukainya; harus menyembelih dengan cara terbaik bila ingin menyembelihnya; tidak mengoyak kulitnya, tidak boleh mematahkan tulangnya sehingga melemahkan dan menghilangkan daya hidupnya, tidak boleh menyembelih anaknya di hadapannya, tidak boleh mengisolasinya, harus menyiapkan alas terbaik untuk dia duduk mendeku; mengumpulkan jantan dan betina pada musim kawin; tidak boleh membuang hasil buruannya; tidak boleh melemparnya dengan alat (keras) yang dapat mematahkan tulangnya; atau melempar/membenturkannya dengan benda yang tidak membuat halal dagingnya,” (Izzuddin bin Abdissalam, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2010 M], juz I, halaman 112). Wallahu A’lam.
Penulis: Nugroho Purbo