Liputan6.com, Jakarta - Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan berlangsung pada 2024 turut menjadi sentimen pasar modal Indonesia. Head of Equity Research & Strategy, Mandiri Sekuritas, Adrian Joezer cukup optimistis pasar modal akan mencatatkan tren positif sepanjang periode tersebut.
Keyakinan itu merujuk pada tren pemilu sebelumnya yang secara historis tetap positif meski berlangsung usai krisis. Misalnya, seperti pada pemilu 2024, yang terjadi setelah ada taper tantrum pada 2013. Kemudian pemilu 2009 terjadi setelah global financial crisis 2008. Di sisi lain, kondisi fundamental ekonomi dalam negeri sejauh ini juga terpantu cukup resilien.
Advertisement
"Kita melihat masih optimistis di semester II 2023. Kita melihat dari sisi inflasi Indonesia yang sudah terkendali dengan kedisiplinan fiskal dan monetary policy dari pemerintah, maka sebenarnya memiliki ruang di semester II ini untuk bisa genjot sedikit untuk pertumbuhan konsumsi dan juga pertumbuhan ekonomi domestik. Maka harusnya pada saat itu terjadi, akan tampak lebih positif ke bursa saham," ujar Adrian dalam Money Buzz - Raup Cuan Jelang Pemilu Tahun Depan, Selasa (13/6/2023).
Dari sisi valuasinya, Adrian mengatakan, pasar saham RI tidak berada pada posisi overvalue dibandingkan dengan negara-negara seperti Amerika atau Thailand untuk emerging market.
"Mereka secara valuasi jauh di atas Indonesia, dan kita punya valuasi itu saat ini berada di level 13 kali PE rationya, sehingga kalau saya melihat harusnya secara risk reward lebih positif," imbuh Adrian.
Adapun faktor yang lebih mendominasi pasar saham tahun depan lebih pada faktor global, di mana ada kemungkinan investor melakukan rotasi portofolio menyesuaikan kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed. Informasi saja, saat ini pasar usnag di Amerika memberikan imbal hasil di atas 5 persen.
Jika The Fed Pangkas Suku Bunga
Namun, jika The Fed melakukan pemangkasan suku bunga acuan pada 2024, pasar negara bekembang )emerging merket) termasuk Indonesia masih cukup menarik.
"Jadi saya melihat bahwa penguatan bursa saham yang terjadi di 2014, 2019 maupun pemilu 2009, sama-sama terjadi setelah efek tightening. Seperti 2024, terjadi setelah ada taper tantrum di 2013. Kemudian pemilu 2009 terjadi setelah global financial crisis 2008. Kali ini, kita lihat tightening (suku bunga) sudah mencapai puncaknya. Sehingga harusnya pattern-nya mungkin bisa agak mirip. Sehingga kita melihat optimis ke bursa saham di tahu ini," tutur Adrian.
Potensi Dana Investor Asing
Pada kondisi tersebut, Adrian mengatakan potensi masuknya dana asing terbuka lebar. Sebagai gambaran, dia menjabarkan terdapat capital outflow atau dana asing yang kabur dari Indonesia pada akhir 2022 hingga awal tahun ini mencapai Rp 24 triliun.
Namun, kondisi tersebut telah berbalik, bahkan dana asing masuk tercatat lebih besar. Kaburnya dana investor asing pada Desember lalu ditengarai pembukaan ekonomi China. Sehingga terjadi kekhawatiran di benak investor mengenai proyeksi ekonomi Indonesia yang ditakutkan tidak lagi menjadi primadona. Namun, seiring berjalannya waktu, Indonesia kembali kebanjiran dana asing ditopang kondisi ekonomi dalam negeri yang cukup baik.
"Jadi meskipun investor pasti tahu tahun depan adalah tahun pemilu, tapi kita lihat secara fundamental ekonomi Indonesia sudah jauh lebih baik strukturnya. Sudah terjadi hilirisasi, pembangunan infrastruktur yang sangat masif. Jadi secara fondasi ekonomi sudah jauh lebih baik dari sisi current account deficit, dari sisi ketahanan eksternal faktor kita juga lebih baik. Jadi saya melihat bahwa YTD ini cukup menarik," ujar Adrian.
"Jadi investor asing sudah melakukan penjualan sebesar Rp 24 triliun di Desember dan Januari. Angka tersebut balik arah sebesar hampir sama yaitu Rp 24-25 triliun di periode Februari tahun ini hingga kemarin. jadi kalau kita lihat bahwa investor asing pun sebenarnya masih cukup optimis dengan bursa saham Indonesia," ia menambahkan.
Tren serupa disebutkan juga terjadi di pasar obligasi. Di mana inflow sata ini tercatat sudah mencapai Rp 70 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang berkisar Rp 40-50 triliun.
Advertisement
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Cerah, Bagaimana Prospek Pasar Obligasi?
Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia disebut cukup baik dan stabil di kisaran 5 persen. Head of Fixed Income Ashmore Asset Management Indonesia, Anil Kumar mengatakan angka ini tumbuh dua kali lipat dibandingkan pertumbuhan ekonomi global yang di kisaran 2,8 persen tahun ini dan 3 persen pada 2024.
"Kita patut bersyukur akan hal ini. Karena walaupun nanti akan mengalami proses perubahan kepemimpinan dan lain sebagainya, ekonomi kita tetap di-drive oleh private market. Ditambah lagi dengan adanya hilirisasi, maka ekspor dan penerimaan negara juga sudah meningkat," kata Anil dalam Money Buzz edisi The Best Time for Bonds is Now, Selasa (16/5/2023).
Bersamaan dengan itu, Anil menyebutkan asumsi harga minyak adalah USD 90 per barel pada APBN 2023. Sementara saat ini harga minyak sedang dalam level USD 70-80 per barel. Sehingga pengeluaran negara melalui subsidi menjadi sedikit berkurang.
"Hal ini akan memberikan prospek yang sangat baik untuk pasar obligasi Indonesia. Kita sudah di awal Januari, di mana di awal lelang obligasi konvensional yang dilakukan pemerintah setiap dua minggu, sudah turun dari Rp 23 triliun menjadi Rp 18 triliun. Itu menunjukkan bahwa pemerintah punya akses money yang mereka gunakan, sehingga tidak perlu lebih banyak berutang," imbuh Anil.
Dari sisi APBN, Anil mencatat sampai dengan Maret setidaknya masih surplus Rp 128,5 triliun. Pada periode yang sama, pendapatan dan penerimaan negara naik hampir 30 persen yoy, walaupun pengeluaran pemerintah hanya naik 6 persen pada kuartal pertama 2023.
"Ini semua menunjukkan bahwa supply obligasi untuk tahun ini akan turun dari target awal kurang lebih Rp 700 triliun atau 2,85 persen fiskal budget deficit. Kemungkinan kita akan mengakhiri tahun ini antara level tinggal 2-2,4 persen dari fiskal budget deficit," ujar Anil.
Investor Ritel Meningkat
Menariknya, lanjut Anil, pemerintah berasumsi fiskal budget deficit tahun depan berkisar antara 2,1- 2,4 persen, lebih rendah dari tahun ini. Bersamaan dengan itu, Bank Indonesia mengasumsikan, inflasi tahun depan mulai turun dari 3 persen tahun ini +/- 1 menjadi 2,5 persen +/- 1. Dengan kondisi seperti itu, asumsinya obligasi juga akan mulai stabil.
"Dengan pertumbuhan ekonomi 5 persen dan pertumbuhan pinjaman yang sedikit mulai turun, maka kita hampir yakin mengatakan bahwa suku bunga perbankan di Indonesia juga akan mulai turun dan akan mulai ada perpindahan uang dari dana pihak ketiga masuk ke dalam pasar obligasi dalam jumlah yang lumayan besar karena memang imbal hasil obligasi kita kali ini hampir dua kali lipat daripada deposit rate di perbankan ," tutur Anil.
Investor ObligasiIa menilai, telah terjadi peningkatan kepemilikan investor individu di pasar obligasi hingga tujuh kali lipat dalam tujuh tahun terakhir. Sementara terjadi penyusutan kepemilikan asing. Kondisi ini mencerminkan kebutuhan Indonesia akan uang dari investor asing makin sedikit.
"Ini harus kita jaga dengan trade balance kita yang terus surplus, current account kita yang lumayan surplus atau kalaupun defisit, defisitnya kecil. Maka selama balance of payment kita positif, selama efek reserve kita terus bertambah, maka imbal hasil obligasi kita akan memiliki kecenderungan turun," kata Anil.
Advertisement
Kesalahan Kebijakan Suku Bunga The Fed Jadi Peluang Investor Obligasi
Sebelumnya, bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed disebut kerap melakukan kesalahan dalam menentukan tindakan terkait suku bunga, baik saat menaikkan maupun menurunkan.
Head of Fixed Income Ashmore Asset Management Indonesia, Anil Kumar, CFA, MBA mengatakan, biasanya The Fed terlambat menaikkan suku bunga yang menyebabkan inflasi tinggi. Kemudian terlambat turunkan suku bunga sehingga pertumbuhan ekonomi melambat. Namun, kondisi tersebut rupanya menguntungkan untuk investor obligasi.
"Ketika The Fed mengatakan inflasi terlalu rendah tapi tidak mau menaikkan suku bunga, saat itulah kita melakukan unwinding posisi dari obligasi kita, terutama yang memiliki tingkat kupon tetap ke dalam instrumen yang memberikan kupon floating," kata Anil dalam Money Buzz edisi The Best Time for Bonds is Now, Selasa (16/5/2023).
Di sisi lain, ketika The Fed mengatakan belum saatnya menurunkan suku bunga karena inflasi masih tinggi, Anil menilai momen tersebut sebenarnya merupakan sinyal bahwa tren suku bunga akan cenderung turun setelahnya.
"Selama argumentasi yang diberikan The Fed yakni menahan suku bunga tetap tinggi hingga inflasi turun ke target 2 persen, maka selama itu investor obligasi bisa lumayan tenang karena inflasi ada dalam kontrol Bank Sentral," imbuh Anil.
Diakui, inflasi AS saat ini telah melebar dari semula inflasi produk menjalar ke inflasi jasa. Anil mengatakan, hal itu disebabkan pembukaan kembali ekonomi usia pandemi Covid-19 di beberapa negara. Kondisi tersebut mendongkrak adanya mobilitas termasuk untuk liburan, sehingga harga jasa ikut melambung.
Bersamaan dengan itu, Anil memperkirakan inflasi kali ini akan berlangsung lebih lama dibanding dekade sebelumnya lantaran terjadi pula deglobalisasi. Deglobalisasi sendiri disebut telah terjadi sejak 2018, saat terjadi perang dagang antara AS-China.
"Ini kondisi yang tidak bisa dihindari. Tapi inflasi memiliki cycle, itu juga akan kejadian. Jika inflasi pada tahun lalu tinggi, maka akan diikuti inflasi lumayan rendah sebelum The Fed melakukan pemotongan suku bunga. Dan inflasi akan sedikit naik lagi di akhir 2024 hingga awal 2025," ujar Anil.