Liputan6.com, Jakarta Penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) pada semester I 2023 diprediksi akan mengalami penurunan. Melorotnya penerimaan cukai tersebut terjadi untuk pertama kalinya dalam 5 tahun terakhir.
Hal tersebut diungkapkan Pengamat Ekonomi Kun Haribowo. Menurut dia, untuk pertama kalinya dalam 5 tahun terakhir, penerimaan cukai rokok akan mengalami penurunan hingga 14% di semester I 2023.
Advertisement
"Penurunan hingga 6%-14% dengan asumsi tidak ada forestalling pita cukai. (Penyebabnya) Penurunan produksi perusahaan rokok Golongan 1 yang tidak bisa dikompensasi kenaikan produksi Golongan 2 dan Golongan 3," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (13/6/2023).
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam Konferensi Pers APBN Kita edisi Mei 2023 lalu menyatakan bahwa penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) pada akhir April 2023 senilai Rp 72,35 triliun. Realisasi penerimaan cukai rokok tersebut menurun 5,16% secara tahunan atau year on year (yoy) dibandingkan realisasi di periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 76,29 triliun.
Rendahnya penerimaan negara ini antara lain disebabkan kenaikan konsumsi rokok murah dari golongan 2 dan 3 yang membayar tarif cukai lebih rendah.
Fenomena perpindahan konsumsi ke rokok murah ini tidak hanya menjadi ancaman bagi penerimaan negara dari CHT, namun juga tidak sejalan dengan tujuan kesehatan, utamanya untuk menurunkan prevalensi perokok anak. Dalam RPJMN 2020 - 2024, prevalensi perokok anak ditargetkan untuk turun menjadi 8,7%. Dengan semakin banyaknya rokok murah, target ini terancam tidak tercapai.
Kenaikan Tarif Cukai
Kun Haribowo menyoroti perilaku konsumsi masyarakat yang rentan terpengaruh dengan kebijakan kenaikan tarif CHT. Pergeseran konsumsi rokok dari golongan 1 ke rokok golongan 2 dan 3 yang lebih murah sangat memungkinkan terjadi jika melihat gap harga yang cukup jauh antar golongan.
“Sebagai masyarakat yang rasional, konsumen tentu akan memilih rokok yang harganya sesuai dengan kondisi ekonominya. Dengan harga yang separuh antara golongan 1 dan 2, ada potensi pergeseran konsumsi ke golongan yang lebih murah,” ungkap Kun.
Dalam analisanya, produksi rokok golongan 1 saat ini sangat elastis terhadap kenaikan cukai. Penurunan produksi golongan 1 tidak dapat dikompensasi oleh kenaikan produksi golongan 2 dan 3 sehingga penerimaan CHT secara keseluruhan menjadi kontraksi.
Kun memprediksi outlook penerimaan CHT Semester 1 tahun 2023 pertama kali dalam 5 tahun terakhir akan mengalami penurunan hingga 6%-14% (yoy).
“Perlu perbaikan dalam struktur tarif cukai HT untuk menghindari shifting dari segi demand maupun supply (produsen) termasuk pengaturan tarif cukai di dalam struktur tersebut,” kata Kun.
Perpindahan Konsumsi Rokok
Sementara itu, Director of Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji menjelaskan diversifikasi golongan rokok berdasarkan produksinya membuka celah perpindahan konsumsi rokok yang lebih besar karena perbedaan harga yang cukup jauh.
Konsumen akan selalu mencari celah untuk mengonsumsi rokok dengan substitusi yang ditawarkan, misalnya beralih ke rokok yang lebih murah. Kebutuhan menaikkan tarif cukai untuk tujuan prevalensi semakin kompleks dengan diversifikasi harga berdasarkan produksi golongan rokok.
“Perlu sama-sama paham bahwa cukai merupakan instrumen untuk pengendalian konsumsi produk tertentu. Kalau cukai sifatnya diversifikasi tarif, ini akan berpengaruh pada struktur di pasar. Dengan jarak tarif yang makin besar maka akan semakin banyak tantangannya, baik dari sisi pengendalian konsumsi rokok maupun penerimaan negara,” kata Bawono.
Bawono menambahkan penurunan penerimaan negara tidak selamanya menunjukkan efektivitas pengendalian konsumsi rokok. Sebab, selain penurunan produksi, ada kebiasaan konsumen yang berubah mengonsumsi alternatif rokok murah sebagai respon dari kebijakan. “Kebijakan yang akan diterapkan harus selalu dilandasi dengan kehati-hatian, karena cukai sifatnya spesifik dan berpengaruh pada pasar,” ucap Bawono.
Advertisement
Naikkan Tarif Cukai Rokok 10 Persen di 2024, Pemerintah Tunggu Restu DPR
Sebelumnya, Direktur Jenderal Bea Cukai, Kementerian Keuangan Askolani berharap penerimaan cukai rokok di tahun politik tidak berubah. Mengingat kenaikan tarifnya sudah ditetapkan sejak tahun lalu yakni 10 persen di masing-masing tahun 2023 dan 2024.
“Mudah-mudahan tidak banyak perubahan,” kata Askolani di Kantor Bea Cukai Bandara Soekarno- Hatta, Tangerang, Banten, Minggu (28/5) malam.
Asko menjelaskan penerimaan cukai biasanya tergantung dari tarif yang ditetapkan dan produksi dari pabrik. Namun, meski sudah ditetapkan kenaikannya sejak tahun lalu, pihaknya akan terus memantau perkembangan dan implementasinya.
“Jadi tentunya itu menjadi langkah kebijakan yang akan diputuskan tahun depan dan kita akan kelola untuk implementasi dan juga kita monitor,” kata dia.
Asko menambahkan Ditjen Bea Cukai akan terus mengikuti mekanisme terkait tarif cukai di DPR. Sebab walau sudah ditetapkan Kementerian Keuangan kenaikannya 2 tahun, tetapi dalam implementasinya tetap harus mendapatkan restu dari DPR.
“Satu tahap itu memang harus dilakukan dan sudah disepakati untuk jangka menengah 2 tahun, tetapi secara hukum, secara ketentuan regulasi tetap harus kita bahas dan mendapat penetapan dari DPR,” kata dia.
Pembahasan ini nanti akan masuk dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024. “Kita akan membahas di UU APBN 2024 untuk kepastiannya,” pungkasnya.
Rokok Murah Menjamur, Penerimaan Cukai Terancam Turun
Pemerintah telah mengumumkan kinerja APBN kuartal pertama (Januari – Maret) 2023. Penerimaan kepabeanan dan cukai tercatat Rp72,24 triliun, merosot 8,93 persen dibanding kuartal I tahun lalu.
Hal ini merupakan kali pertama penerimaan Bea Cukai kuartal I dalam enam tahun terakhir mencatat angka negatif.
Adapun yang mengalami penurunan ialah penerimaan cukai di sektor cukai hasil tembakau. Penerimaan cukai hasil tembakau kuartal I 2023 dibandingkan kuartal I 2022 terkoreksi 0,74 persen (year-on-year) menjadi hanya Rp55,24 triliun.
Koreksi penerimaan cukai rokok disebabkan oleh penurunan produksi hasil tembakau dan maraknya fenomena downtrading dimana konsumsi rokok golongan 1 dengan cukai lebih mahal berpindah ke golongan cukai yang lebih rendah.
Secara keseluruhan, produksi rokok kuartal pertama 2023 tercatat sebesar 69,4 miliar batang atau turun 19,05 persen dibanding kuartal 1 2022. Penurunan terbesar terjadi di Golongan 1 dari 55.1 miliar batang ke 38,8 miliar batang, anjlok 29,58 persen (yoy). Golongan 2 turun 12,4 persen ke 17,9 miliar batang. Sedangkan produksi rokok golongan III melonjak 24,68 persenmenjadi 12,60 juta batang.
Sejumlah analis juga telah mengingatkan bahwa downtrading di industri rokok akan marak seiring masih tingginya selisih tarif cukai antar-golongan.
Analis Ciptadana Sekuritas Putu Chantika mencontohkan selisih tarif cukai rokok golongan I dengan golongan 2 di segmen SKM saat ini rata-rata Rp432 per batang. Padahal, tahun lalu selisih di antara keduanya hanya sebesar Rp385 per batang.
"Mengingat latar belakang ini, kami perkirakan downtrading akan terus berlanjut di tahun ini, menguntungkan pemain tier-2" ujarnya beberapa waktu lalu.
Advertisement