Mistis dan Naif, 2 Cara Pandang Masyarakat Terhadap Penyandang Disabilitas

Penyandang disabilitas tidak hanya menghadapi tantangan secara fisik, mental, dan intelektual, tapi juga dari cara pandang masyarakat.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 15 Jun 2023, 13:00 WIB
Penyandang disabilitas tidak hanya menghadapi tantangan secara fisik, mental, dan intelektual, tapi juga dari cara pandang masyarakat. Foto: Ade Nasihudin/Liputan6.com.

Liputan6.com, Jakarta Penyandang disabilitas tidak hanya menghadapi tantangan secara fisik, mental, dan intelektual, tapi juga dari cara pandang masyarakat.

Menurut buku “Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas,” secara umum, cara pandang terhadap disabilitas didominasi oleh cara pandang mistis dan cara pandang naif.

Cara Pandang Mistis

Cara pandang mistis adalah cara pandang yang menganggap bahwa disabilitas adalah takdir dari Tuhan. Tuhan yang menentukan apakah seseorang memiliki keterbatasan atau tidak. Manusia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah menjalaninya.

Sebagian beranggapan bahwa disabilitas adalah aib atau bahkan kutukan. Terhadap kelompok disabilitas, orang yang memiliki cara pandang ini akan meminta agar mereka bersabar dan berdoa semoga diberi kekuatan di tengah berbagai keterbatasan mereka.

Sementara terhadap masyarakat, orang yang memiliki cara pandang ini meminta agar masyarakat menyantuni penyandang disabilitas karena mereka memang dianggap memiliki keterbatasan. Menurut cara pandang ini, menyantuni kelompok-kelompok disabilitas adalah kebajikan.

Cara Pandang Naif

Berbeda dengan cara pandang mistis, cara pandang naif melihat bahwa disabilitas adalah akibat dari adanya infeksi penyakit, keturunan, kecelakaan, atau penuaan.

Dengan kata lain, disabilitas adalah fenomena manusiawi, bukan fenomena “ukhrawi” (yang berkaitan dengan akhirat.

Oleh karena keterbatasan fisik, mental, maupun intelektual adalah fenomena manusiawi, maka cara pandang ini melihat pentingnya memberi pendidikan, pelatihan, kursus, keterampilan dan semacamnya. Sehingga, penyandang disabilitas bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik.


Kedua Cara Pandang Berdasar pada Belas Kasihan

Penyandang disabilitas tidak hanya menghadapi tantangan secara fisik, mental, dan intelektual, tapi juga dari cara pandang masyarakat. (Photo by Jung Ho Park on Unsplash.com)

Secara umum, cara pandang naif lebih baik ketimbang cara pandang mistis. Namun, keduanya memiliki kelemahan mendasar karena cara pandang keduanya berbasis belas kasihan.

“Kita bersikap dan berbuat baik terhadap penyandang disabilitas karena kita kasihan terhadap mereka. Tentu ini tidak salah; tetapi tidak mencukupi untuk bisa membuat kaum disabilitas memiliki kemandirian,” menurut buku terbitan Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) itu.

Cara pandang inilah yang melahirkan stigma terhadap kaum disabilitas. Beberapa bentuk stigma terhadap kaum disabilitas adalah bahwa mereka kelompok yang:

  • Lemah
  • Tidak berdaya
  • Tidak memiliki kemampuan
  • Tidak dapat berbuat sesuatu yang berarti
  • Tidak beruntung
  • Sakit
  • Tidak normal
  • Tidak lengkap dan sejenisnya.

Penyandang Disabilitas Dianggap Tidak Mampu Hidup Mandiri

Penyandang disabilitas tidak hanya menghadapi tantangan secara fisik, mental, dan intelektual, tapi juga dari cara pandang masyarakat. Foto: Ade Nasihudin.

Penyandang disabilitas dianggap sebagai orang yang “tidak mampu” melakukan pekerjaan, hidupnya bergantung kepada orang lain, dan tidak ada harapan untuk hidup mandiri sehingga mereka patut dikasihani.

Secara sederhana stigma ini seolah-olah ingin mengatakan bahwa penyandang disabilitas tidak dapat berfungsi sepenuhnya seperti individu-individu lainnya. Stigma ini biasanya diikuti dengan berbagai bentuk diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas.

Diskriminasi ini tidak hanya terlihat dari fasilitas-fasilitas publik yang tidak memberi akses yang memadai bagi penyandang disabilitas, tetapi juga akses informasi, pendidikan, dan pekerjaan.

Penyandang disabilitas yang dalam percakapan sehari-hari disebut sebagai orang cacat, sering dianggap sebagai warga masyarakat yang tidak produktif, tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sehingga hak-haknya pun diabaikan.


Cara Pandang Kritis

Penyandang disabilitas tidak hanya menghadapi tantangan secara fisik, mental, dan intelektual, tapi juga dari cara pandang masyarakat. Foto: (Ade Nasihudin/Liputan6.com).

Maka dari itu, cara pandang mistis maupun naif harus dilengkapi dengan cara pandang kritis bahwa disabilitas bukan hanya soal takdir, juga bukan semata-mata fenomena manusiawi.

Disabilitas adalah konstruksi sosial-politik. Oleh karena itu, tanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak disabilitas tidak hanya dipikul oleh penyandang disabilitas sendiri dan keluarganya, tetapi juga tanggung jawab masyarakat, ormas dan terutama negara (pemerintah).

“Dengan perspektif ini, maka membangun situasi sosial yang ramah disabilitas adalah kewajiban. Membangun sarana dan prasarana publik yang ramah disabilitas adalah keharusan yang tidak bisa ditolak. Inilah yang diamanatkan dalam UU no. 8 tahun 2016,” bunyi buku yang disusun pula oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) itu.

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya