Liputan6.com, Jakarta - Dalam khazanah Islam, Uwais al Qarni merupakan sosok yang populer. Pemuda Yaman ini saleh, sekaligus amat berbakti kepada ibunya.
Kisah inilah yang memantik Khaeroni (Tim Monev Penyelenggaraan Haji Indonesia 1444 H), menyandingkan dengan kondisi sekarang, di mana jemaah haji lansia menjadi prioritas. Banyaknya jemaah lansia membuat simpati dan empati jemaah haji lainnya diuji.
Terbukti kemudian, banyak yang berlaku seperti Sahabat Nabi, Uwais Al Qarni, meski bukan ibunya sendiri. Mereka menggendong para lansia dalam prosesi jemaah haji. Berikut ulasan Khaeroni, dikutip dari laman Kemenag.
Baca Juga
Advertisement
Berbicara tentang memuliakan manusia apalagi terhadap seorang ibu, kita perlu belajar kepada salah seorang sahabat Nabi. Pemuda ini tidak pernah berjumpa dengan nabi. Dia seorang pemuda miskin yang tinggal di pinggiran Yaman, namanya Uwais Al-Qarni.
Uwais Al-Qarni bukan pemuda terkenal. Dia miskin dan memiliki penyakit kulit. Namun, ia pernah disebut Rasulullah SAW sebagai pemuda yang sangat dicintai Allah dan terkenal di langit.
Dikisahkan, Uwais al Qarni sehari-hari mencari nafkah dengan berdagang dan menggembala kambing milik orang lain. Dia masuk Islam setelah beberapa sahabat yang diutus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di Yaman.
Di rumahnya yang kecil dan reyot, Uwais al Qarni hidup berdua dengan sang ibu yang seorang tunanetra. Satu hari, dia berkata, "Tidak akan pernah terlontarkan dari mulut ibuku, kecuali akan kulakukan yang dia inginkan."
"Wahai Uwais, ibu sudah tua. Andai kematian mendatangi ibu, ada keinginan yang ibu ingin sampaikan," kata Ibunya satu waktu.
"Apa itu, Ibu? Katakan," jawab Uwais al Qarni penasaran. "Ibu ingin pergi haji," jelas sang ibu yang sudah sangat renta kepada Uwais al Qarni.
Uwais termenung, memikirkan bagaimana mewujudkan hal itu, sedangkan mereka berjarak ribuan kilometer dari Tanah Suci dan keadaannya sangat miskin. Namun Uwais tidak menyerah. Dia mendapat cara untuk melatih dirinya agar dapat menggendong ibunya ke Kota Makkah.
Dia membeli seekor anak sapi yang setiap hari digendongnya menaiki puncak gunung. Naik-turun, naik-turun, tiada henti. Delapan bulan berselang, fisik Uwais terbentuk, besar, dan kuat menggendong.
Kemudian mulailah ibunya digendong, menempuh jarak yang sangat jauh menuju Makkah untuk berhaji. Di sana, sang ibu diajak tawaf 7 putaran sampai selesai, lalu dibawa ke makam Nabi Ibrahim untuk salat 2 rakaat, dan sai.
Petikan kisah di atas menyentuh hati kita semua, betapa humanitas kepada sesama manusia, apalagi terhadap seorang ibu yang berniat haji, menjadi sebuah keniscayaan. Banyaknya jemaah haji Indonesia berusia lansia dan risiko tinggi (risti) juga telah menumbuhkan rasa kemanusiaan yang luar biasa.
Simak Video Pilihan Ini:
Empati untuk Jemaah Haji Lansia
Berbicara tentang memuliakan manusia apalagi terhadap seorang ibu, kita perlu belajar kepada salah seorang sahabat Nabi. Pemuda ini tidak pernah berjumpa dengan nabi. Dia seorang pemuda miskin yang tinggal di pinggiran Yaman, namanya Uwais Al-Qarni.
Uwais Al-Qarni bukan pemuda terkenal. Dia miskin dan memiliki penyakit kulit. Namun, ia pernah disebut Rasulullah SAW sebagai pemuda yang sangat dicintai Allah dan terkenal di langit.
Dikisahkan, Uwais al Qarni sehari-hari mencari nafkah dengan berdagang dan menggembala kambing milik orang lain. Dia masuk Islam setelah beberapa sahabat yang diutus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di Yaman.
Di rumahnya yang kecil dan reyot, Uwais al Qarni hidup berdua dengan sang ibu yang seorang tunanetra. Satu hari, dia berkata, "Tidak akan pernah terlontarkan dari mulut ibuku, kecuali akan kulakukan yang dia inginkan."
"Wahai Uwais, ibu sudah tua. Andai kematian mendatangi ibu, ada keinginan yang ibu ingin sampaikan," kata Ibunya satu waktu.
"Apa itu, Ibu? Katakan," jawab Uwais al Qarni penasaran. "Ibu ingin pergi haji," jelas sang ibu yang sudah sangat renta kepada Uwais al Qarni.
Uwais termenung, memikirkan bagaimana mewujudkan hal itu, sedangkan mereka berjarak ribuan kilometer dari Tanah Suci dan keadaannya sangat miskin. Namun Uwais tidak menyerah. Dia mendapat cara untuk melatih dirinya agar dapat menggendong ibunya ke Kota Makkah.
Dia membeli seekor anak sapi yang setiap hari digendongnya menaiki puncak gunung. Naik-turun, naik-turun, tiada henti. Delapan bulan berselang, fisik Uwais terbentuk, besar, dan kuat menggendong.
Kemudian mulailah ibunya digendong, menempuh jarak yang sangat jauh menuju Makkah untuk berhaji. Di sana, sang ibu diajak tawaf 7 putaran sampai selesai, lalu dibawa ke makam Nabi Ibrahim untuk salat 2 rakaat, dan sai.
Petikan kisah di atas menyentuh hati kita semua, betapa humanitas kepada sesama manusia, apalagi terhadap seorang ibu yang berniat haji, menjadi sebuah keniscayaan. Banyaknya jemaah haji Indonesia berusia lansia dan risiko tinggi (risti) juga telah menumbuhkan rasa kemanusiaan yang luar biasa.
Perhatian Gus Menteri terhadap lansia boleh dikata mengagumkan. Mulai dari sarana transportasi, akomodasi, konsumsi, kesehatan, dan lain-lain selalu dipantau setiap saat. Kebijakan Menteri Agama dalam pelaksanaan haji kali ini dengan tajuk "Haji Ramah Lansia" disambut dengan penuh suka cita oleh jajaran di bawahnya dan para panitia.
Tidak jarang, aparatur di bawah Gus Menteri dan panitia penyelenggaraan haji, bahu membahu memuliakan jamaah haji lansia dan risti. Aksi spontan Kakanwil NTB yang menggendong jemaah lansia di asrama haji tak luput dari pujian netizen. Hal yang sama juga banyak dilakukan panitia di embarkasi lain, sebut saja embarkasi Makassar, Jakarta, Surabaya, Solo, dan lain-lain
Hal serupa juga dilakukan oleh Muallif, biasa di panggil Kang Alif, PPIH Sektor 7 Mekkah. Meski dengan segala keterbatasan, keteguhannya untuk menolong jamaah patut dicontoh. Di luar jam tugas dan piket di Sektor 7 Makkah, Kang Muallif meluangkan waktu ke Masjidil Haram untuk membantu jamaah haji Indonesia.
Kang muallif menggendong jamaah haji Indonesia di Masjidil Haram. Saat menggendong Pak Kosim (jamaah haji asal Ogan Komering Ulu Sumsel) tersebut, di belakang Kang Muallif ada istri Pak Kosim yang dipapah petugas haji Sektor 7 lainnya. Cukup jauh Kang Muallif menggendong Pak Kosim, dari pintu keluar Sai sampai terminal bus jemaah. Sehingga, Kang Muallif harus beberapa kali berhenti.
Kira-kira kurang 200 meter dari terminal, Kang Muallif tidak kuat lagi untuk menggendong. Dia terpikir untuk sewa kursi roda, dia rogoh kantong celananya, ternyata tidak membawa uang. Tiba-tiba, ada jemaah haji asal Turki yang menghampirinya. Jemaah haji Turki itu lalu memanggil tukang kursi roda, dan membayarnya.
Kisah lainnya tentang seorang kakek yang digendong Chandra dari bus, lalu ditempatkan di kursi roda untuk dibawa ke toilet di dekat Masjidil Haram. Dengan sabar, Chandra membersihkan kotorannya. Kakek itu hanya terdiam, saat Chandra membersihkan badannya dan mencuci kain ihramnya.
Setelah semua bersih dan suci, kain ihram kembali dikenakan. Kursi roda juga dibersihkan. Chandra lalu menggendong sang Kakek, menempatkannya kembali di kursi roda, lalu mendorongnya menuju Masjidil Haram.
Kasus gendong menggendong lansia dan risti yang tak diketahui khalayak tentu sulit terhitung jumlahnya, karena tak terpublikasikan dan memang tidak berniat untuk dipublikasikan. Belum lagi para petugas yang merawat lansia sakit, tersesat jalan, menyuapi makan/minum dan lain-lain.
Cuaca ekstrem, dengan suhu rata-rata di tanah suci di atas 44 derajat celcius di siang hari, menjadikan pendampingan dan perawatan lansia dan risti perlu ekstra. Dan lagi-lagi, anak buah Gus Menteri tak kenal lelah memberikan layanan secara optimal.
Tanpa disadari, kebijakan Gus Menteri Agama telah "melahirkan" Al-Qarni Al-Qarni baru dari Indonesia. Biarlah tidak populer di bumi, semoga terkenal di langit. (Dirangkum dari berbagai sumber).
Tim Rembulan
Advertisement