The Fed Tahan Suku Bunga, Rupiah Hari Ini Langsung Melemah Dekati 15.000 per Dolar AS

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada pembukaan perdagangan Kamis ini. Pelemahan rupiah terhadap dolar AS ini terjadi usai Bank Sentral AS atau the Fed memutuskan menahan suku bunga acuan.

oleh Arthur Gideon diperbarui 15 Jun 2023, 11:15 WIB
Pada Kamis (15/6/2023), nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta melemah 0,29 persen atau 43 poin menjadi 14.906 per dolar AS dari sebelumnya 14.863 per dolar AS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada pembukaan perdagangan Kamis ini. Pelemahan rupiah terhadap dolar AS ini terjadi usai Bank Sentral AS atau the Fed memutuskan menahan suku bunga acuan.

Pada Kamis (15/6/2023), nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta melemah 0,29 persen atau 43 poin menjadi 14.906 per dolar AS dari sebelumnya 14.863 per dolar AS.

Analis Pasar Mata Uang Lukman Leong menjelaskan, rupiah mengalami pelemahan setelah The Fed rapat Federal Open Market Committee (FOMC) memberikan sinyal adanya dua kali kenaikan 25 bps hingga akhir tahun.

"Rupiah melemah cukup besar," ujar dia di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, sikap yang sangat hawkish dari The Fed berpotensi membawa dolar AS untuk menguat dalam beberapa waktu ke depan.

Untuk keadaan domestik, investor disebut akan mencermati data perdagangan Indonesia yang diperkirakan masih akan surplus cukup besar dengan nominal USD 3 miliar.

"Dalam beberapa kali kesempatan, surplus perdagangan sering lebih besar dari perkiraan, hal ini bisa menahan pelemahan yang lebih dalam pada rupiah," ucapnya.

Senada, Pengamat Pasar Uang Ariston Tjendra menerangkan bahwa Bank Sentral AS telah memberikan sinyal bahwa tidak ada pemangkasan suku bunga tahun ini. Target suku bunga acuan yang berada di angka 5,6 persen dikatakan akan mengalami 1-2 kali kenaikan.

"Ini tidak seperti yang diekspektasikan sebagian pelaku pasar yang mengharapkan sinyal pemangkasan dari the Fed," ungkap Aris.

Meskipun data inflasi menurun, Bank Sentral melihat inflasi intinya masih mendatar, yang berarti risiko inflasi naik kembali masih terbuka.

Chair of the Federal Reserve of the United States Jerome Powell dinyatakan memberikan penegasan bahwa inflasi yang rendah dan stabil sangat penting bagi perekonomian AS.

"Oleh karena itu, dolar AS berpeluang menguat lagi terhadap nilai tukar lainnya termasuk rupiah hari ini," kata dia.


Eropa Resesi, Rupiah Dalam Bahaya?

Teller menghitung mata uang Rupiah di Jakarta, Kamis (16/7/2020). Bank Indonesia mencatat nilai tukar Rupiah tetap terkendali sesuai dengan fundamental. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Zona euro atau kawasan Eropa yang telah memasuki resesi teknis pada kuartal pertama 2023, diprediksi bisa berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Resesi Eropa ini diprediksi akan berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah dalam jangka pendek-menengah.

"Dari jalur perdagangan, perlambatan ekonomi Eropa berpengaruh pada penurunan surplus neraca transaksi berjalan sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah dalam jangka pendek-menengah," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, kepada Liputan6.com, Senin (12/6/2023).

Selain itu, perlambatan ekonomi Uni Eropa diperkirakan akan mempengaruhi permintaan produk ekspor Indonesia dari Eropa.

Berdasarkan data terkini, kontribusi ekspor ke Eropa tercatat sekitar 8 persen dari total ekspor Indonesia setelah ekspor ke Tiongkok, ASEAN, AS, Jepang dan India.

Perlambatan ekonomi Eropa yang terindikasi dari resesi teknikal yang sudah dialami oleh Jerman, berimplikasi pada penurunan kinerja ekspor Indonesia ke Jerman dan secara keseluruhan Eropa.

"Produk ekspor utama Indonesia ke Eropa antara lain CPO, alas kaki, aneka produk kimia dan batubara," ujarnya.

 


Diversifikasi Daerah Tujuan Ekspor

Lebih lanjut, sejalan dengan masih tingginya tingkat inflasi Eropa dan tren perlambatan ekonomi, bahkan resesi teknikal dari beberapa negara Eropa berpotensi akan mendorong penurunan kinerja ekspor Indonesia ke Eropa, yang selanjutnya akan berpengaruh pada penurunan surplus perdagangan yang pada akhirnya akan berdampak pada moderasi pertumbuhan ekonomi terutama komponen net ekspor.

Oleh sebab itu, dalam rangka memitigasi perlambatan ekonomi Eropa, pemerintah perlu menyiasatinya dengan diversifikasi daerah tujuan ekspor non-tradisional terutama yang kinerja perekonomian masih solid.

Pemerintah juga perlu mengoptimalkan produktivitas sektor manufaktur, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah ekspor produk manufaktur dan dapat membatasi penurunan nilai ekspor di tengah perlambatan ekonomi Eropa dan global pada tahun ini.

Infografis Beda Rupiah 1998 dengan 2018 terhadap Dolar AS. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya