Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi menolak sistem pemilu proporsional tertutup. Hal itu disampaikan usai MK membacakan putusan terhadap uji materil sistem pemilu proporsional terbuka yang pemohon dinilai tidak sesuai dengan Undang-Undang 1945.
Meski uji materil ditolak, namun terdapat perbedaan pendapat hakim terhadap putusan tersebut, yakni datang dari Hakim Arief Hidayat. Berdasarkan pernyataannya, Hakim Arief mengaku tidak sepenuhnya setuju dengan penolakan sistem pemilu dengan sistem prorporsional terbuka.
Advertisement
"Dissenting opinion, bahwa terhadap putusan MK a quo Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan pendapat berbeda dissenting opionion dengan pertimbangan," kata dia saat membacakan pendapatnya di Gedung MK Jakarta, Kamis (15/6/2023).
Menurut Hakim Arief sistem Pemilu proporsional terbuka harus dilihat dari perspektif ideologis filosofis, sosiologis dan yuridis.
Dia yakin, isu hukum mengenai sistem Pemilu merupakan kebijakan hukum terbuka namun tidak berarti hal tersebut menghalangi mahkamah untuk menilai konstitusionalitasnya. Karena itu, penerapaannya setelah lima kali pemilu perlu dievaluasi.
"Setelah lima kali penyelenggaraan Pemilu, diperlukan evaluasi perbaikan dan perubahan pada sistem proporsional terbuka yang telah 4 kali diterapkan, yakni 2004, 2009, 2014 dan 2019,” tegas dia.
Karena itu, dia pun mengusulkan sistem Pemilu proporsional terbuka terbatas. "Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Terbatas itulah yang saya usulkan," kata Hakim Arief.
Dia melanjutkan, maka peralihan sistem pemilu dari sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional terbuka terbatas diperlukan. Sebab dari perspektif filosofis dan sosiologis pelaksanaan sistem proporsional terbuka yang seama ini eksis ternyata didasarkan pada demokrasi yang rapuh.
"Karena para calon anggota legislatif bersaing tanpa etika, menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih masyarkat dan adanya potensi konflik yang tajam di masyarakat yang berbeda pilihan," kata Hakim Arief.
MK Tolak Proporsional Tertutup
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). MK memutuskan tetap menggunakan sistem proporsional terbuka untuk Pemilu 2024.
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman membacakan putusan di Gedung MK, Kamis (15/6/2023).
MK menilai, dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
"Pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," ujar Anwar.
Pada putusan Mahkamah Konstitusi ini, terdapat dissenting opinion atau pendapat berbeda dari hakim konstitusi.
Sebelumnya, MK telah menerima permohonan uji materi (judicial review) terhadap sejumlah pasal di UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.
Keenam orang yang menjadi pemohon ialah Demas Brian Wicaksono (Pemohon I), Yuwono Pintadi (Pemohon II), Fahrurrozi (Pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (Pemohon IV), Riyanto (Pemohon V), dan Nono Marijono (Pemohon VI).
Pemohon menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup atau coblos partai diterapkan pada Pemilu 2024.
Delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR RI pun menyatakan menolak sistem pemilu proporsional tertutup, yakni Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP, dan PKS. Hanya satu fraksi yang menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup, yakni PDI Perjuangan.
Selanjutnya, sempat terdapat isu mengenai bocornya putusan MK terkait sistem pemilu.
Isu tersebut muncul ke permukaan akibat cuitan mantan wakil menteri hukum dan hak asasi manusia (wamenkumham) Denny Indrayana yang mengklaim mendapat informasi soal putusan MK terkait sistem pemilu legislatif yang akan kembali ke sistem proporsional tertutup atau coblos partai.
Advertisement