Niat dan Tata Cara Sholat Tahiyatul Masjid, Peroleh Berkahnya

Salah satu sholat sunnah yang lazim dilakukan sebelum sholat Jumat adalah sholat tahiyatul masjid. Karenanya, terkadang ada yang mengira bahwa sholat tahiyatul masjid dilakukan hanya ketika akan sholat Jumat

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Jun 2023, 08:30 WIB
Ilustrasi sholat di masjid. (Dok. Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Salah satu sholat sunnah yang lazim dilakukan sebelum sholat Jumat adalah sholat tahiyatul masjid. Karenanya, terkadang ada yang mengira bahwa sholat tahiyatul masjid dilakukan hanya ketika akan sholat Jumat.

Sebab, sebelum sholat Jumat juga ada shoat rawatib, yakni sholat qobliyah Jumat yang pada hari-hari lain qobliyah dzuhur.

Kadangkala, ada pula yang salah kaprah mengira bahwa sholat tahiyatul masjid dilakukan karena hendak duduk mendengarkan khutbah saja. Barangkali itu tidak bisa disalahkan, meski tidak sepenuhnya benar.

Sholat sunnah tahiyatul masjid secara etimologi (bahasa) bisa diartikan sholat sunnah dalam rangka menghormati masjid. Sedangkan menurut terminologi, sholat sunnah tahiyatul masjid adalah sholat sunnah dua rakaat yang dilakukan ketika seseorang memasuki masjid dan hendak berdiam diri di dalamnya.

Sholat Tahiyatul Masjid juga merupakan bentuk penghormatan kepada Dzat yang memiliki masjid, yaitu Allah SWT. Oleh karenanya, penghormatan itu diletakkan di awal, sebelum bergegas melaksanakan ibadah lainnya.

Lebih dari itu, sholat sunnah ini adalah ajang peningkatan spiritualitas dan manifestasi pengakuan seorang hamba kepada Tuhan-Nya akan ketidakberdayaan dirinya di hadapan-Nya.

Karenanya, sholat sunnah ini tidak hanya dilakukan saat hendak sholat Jumat. Dalam kesempatan lainnya pun, umat Islam sunnah melakukan sholat tahiyatul masjid.

 

Simak Video Pilihan Ini:


Tata Cara dan Niat Sholat Tahiyatul Masjid

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur menjelaskan di NU Online, tata cara sholat tahiyatul masjid, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam al-Adzkar lin Nawawi (Bairut: Darul Fikr, 1994: 120), tidak jauh berbeda dengan tata cara shalat sunnah lainnya. Berikut langkah-langkahnya:

Dimulai dengan takbiratul ihram. Bersamaan dengan mengangkat tangan, seseorang hendaknya berniat melaksanakan shalat sunnah Tahiyyatul Masjid.

Sebelumnya, untuk memantapkan, silakan lafalkan niat:

أُصَلِّي تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ رَكْعَتَيْنِ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَى

Ushallî tahiyatal masjidi rak’ataini sunnatan lillîhi ta’âla

Artinya, “Saya shalat Tahiyatul Masjid dua rakaat sunnah karena Allah ta’ala.”

Dilaksanakan dengan dua rakaat dengan satu kali salam; membaca surat al-Fatihah (wajib) dan surat al-Kafirun (sunnah) pada rakaat yang pertama, dan membaca surat al-Fatihah (wajib) dan surat al-Ikhlas (sunnah) pada rakaat yang kedua.

Tutup shalat dengan salam.

Hanya saja, shalat Tahiyatul Masjid mempunyai aturan secara khusus yang tidak dimiliki shalat sunnah lainnya, yaitu harus dilakukan di dalam masjid. Oleh karenanya, shalat sunnah yang satu ini hanya dianjurkan bagi orang-orang yang memasuki masjid, bukan yang lainnya. Selebihnya ia tidak memiliki aturan dan bacaan khusus.

Shalat sunnah yang satu ini juga boleh diniati dengan shalat sunnah lainnya, seperti dengan niat shalat sunnah mutlak, atau sunnah rawatib, atau bahkan dengan niat shalat fardhu juga tidak masalah, sebagaimana penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, yaitu:

وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ يَنْوِيَ بِالرَّكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ بَلْ إِذَا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ بِنِيَةِ الصَّلَاةِ مُطْلَقًا أَوْ نَافِلةً رَاتِبَةً أَوْ غَيْرَ رَاتِبَةٍ أَوْ صَلَاةً فَرِيْضَةً أَجْزَأَهُ ذَلِكَ

Artinya, “Tidak disyaratkan untuk berniat (shalat) Tahiyatul Masjid dua rakaat, akan tetapi bila mengerjakan shalat dua rakaat dengan niat shalat sunnah mutlak, sunnah rawatib, selain rawatib, atau niat shalat fardhu, maka sudah dianggap cukup (mendapat pahala shalat Tahiyatul Masjid).” (An-Nawawi, Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, 1995, juz IV, h. 52).

Juga perlu diketahui, shalat Tahiyatul Masjid harus dilakukan sebelum duduk. Artinya, ketika seseorang memasuki masjid dan langsung duduk tanpa mengerjakan shalat sunnah tersebut, maka hilanglah kesunnahan Tahiyatul Masjid baginya, kecuali jika ia duduk disebabkan tidak tahu kesunnahan shalat tersebut, atau lupa dan waktu duduknya tidak dianggap lama, maka ia masih mempunyai kesempatan untuk melakukan shalat sunnah Tahiyatul Masjid.


Dalil Kesunahan Sholat Tahiyatul Masjid

Kesunnahan shalat Tahiyatul Masjid berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِس

Artinya, “Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid maka hendaklah ia mengerjakan sholat dua rakaat sebelum ia duduk” (HR Abu Qatadah).

Terkait hadis di atas, Imam Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi mengatakan, mayoritas ulama sepakat mengenai kesunnahan melakukan shalat sunnah Tahiyatul Masjid bagi orang-orang yang memasuki masjid. Bahkan, tidak dianjurkan (baca: makruh) bagi orang-orang yang memasuki masjid untuk langsung duduk sebelum melaksanakannya (Imam Nawawi, Syarah Nawawi alal Muslim [Bairut: Darul Ihya’ al-Arabi, 1998], juz V, h. 226).

Dalil yang lain juga bisa ditemukan dalam beberapa teks hadits Rasulullah tentang anjuran shalat tersebut, di antaranya, Rasulullah ﷺ bersabda:

دَخَلَ رَجُلٌ يَوْم الجُمُعةِ والنّبيُّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم يخطُبُ فَقَالَ أَصَلّيْتَ؟ قالَ لَا قالَ قُمْ فَصَلِّ ركْعَتَيْن

Artinya, “Seorang laki-laki pada hari Jumat masuk (masjid) ketika Nabi Muhammad SAW sedang melakukan khutbah. Maka Rasulullah bertanya, ‘Apakah engkau sudah shalat?’ Ia menjawab, ‘Belum’. Rasulullah bersabda, ‘Berdirilah, kemudian shalatlah dua rakaat” (HR al-Bukhari).

Dalam kitab Tanbihul Ghafilin juga disebutkan bahwa shalat yang dilakukan ketika memasuki masjid adalah murni sebagai penghormatan kepadanya. Syekh as-Samarqandi mengatakan,

لِكُلِّ شَيْءٍ تَحِيَّةٌ وَتَحِيَّةُ الْمَسْجِدِ رَكْعَتَانِ

Artinya, “Setiap sesuatu memiliki penghormatan, dan menghormati masjid dengan melakukan (shalat sunnah) dua rakaat” (Syekh as-Samarqandi, Tanbihul Ghafilin, [Bairut: Dar Ibnu Katsir, Damaskus, 2000], juz 1, h. 304).


Waktu Shalat Tahiyatul Masjid

Shalat sunnah Tahiyatul Masjid tidak memiliki waktu secara khusus untuk dikerjakan. Ia bisa dilaksanakan setiap saat, baik siang dan malam, tentu dilakukan ketika seseorang masuk ke dalam masjid, dan sebelum duduk yang disengaja, atau tidak disengaja namun dengan batas waktu yang dianggap lama.

Lantas bagaimana jika memasuki masjid di waktu-waktu yang dilarang melakukan shalat sunnah, seperti setelah shalat subuh dan shalat ashar, atau ketika waktu istiwa di selain hari Jumat? Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarhil Muhadzdzab menjelaskan,

وَيُكْرَهُ أَنْ يَجْلِسَ مِنْ غَيْرِ تَحِيَّةٍ بِلَا عُذْرٍ لِحَدِيْثِ أَبِى قَتَادَةَ المُصَرّحِ بِالنَّهْيِ وَسَوَاءٌ عِنْدَنَا دَخَلَ فِي وَقْتِ النَّهْيِ عَنِ الصَّلَاةِ أَمْ فِي غَيْرِهِ

Artinya, “Dan dimakruhkan untuk duduk (dalam masjid) tanpa mengerjakan shalat sunnah tahiyat jika tidak ada udzur (karena lupa atau tidak tahu). (Kemakruhan tersebut) disebabkan adanya hadits yang diriwayatkan Abi Qatadah tentang larangan tersebut, baik seseorang itu masuk (masjid) di waktu yang dilarang mengerjakan shalat (sunnah) atau di selain waktu tersebut.” (Imam Nawawi, Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, [Bairut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1995], juz IV, halaman 52).

Jika berpedoman pada pendapat Imam Nawawi di atas, maka tidak ada waktu khusus bagi kesunnahan shalat Tahiyatul Masjid. Artinya, shalat sunnah yang satu ini bisa dilakukan di waktu apa pun dan kapan pun, bahkan tetap disunnahkan di waktu-waktu yang dilarang melakukan shalat sunnah, misalnya setelah shalat subuh dan shalat ashar, waktu terbit dan terbenamnya matahari, juga tidak makruh di saat tergelincirnya matahari. Pendapat ini merupakan pendapat masyhur dari kalangan mazhab Syafi’iyah.


Tidak Dianjurkan dalam 3 Kondisi Ini

Sebagaimana penjelasan di atas, shalat sunnah Tahiyatul Masjid mempunyai hukum sunnah. Hanya saja, hukum sunnah ini bisa berubah ketika ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi pada hukum tersebut.

Setidaknya, ada tiga faktor yang bisa mengubah hukum asalnya (menjadi tidak dianjurkan), yaitu:

1. Ketika memasuki masjid sedangkan imam shalat fardhu telah memulai shalat jamaah, atau sudah mendekati pelaksanaan shalat jamaah, misalnya ketika iqamah sudah dikumandangkan

2. Ketika memasuki Masjidil Haram (Makkah) maka tidak dianjurkan untuk sibuk dengan melakukan shalat Tahiyatul Masjid akan tetapi lebih dianjurkan melakukan thawaf

3. Saat hari Jumat dan pembacaan khutbah hampir selesai. (Syekh Waliyuddin Abu Zara’ah al-Qahiri asy-Syafi’i, Tahrirul Fatawa, [Bairut: Darul Ihya’, Mamlakah Arabiah, 2004], juz 1, h. 316).

Tim Rembulan

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya