Liputan6.com, Jakarta - Beberapa hari lalu, stunting ramai jadi pembicaraan usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) blak-blakan membongkar anggarannya yang lebih banyak digunakan untuk perjalanan dinas dan rapat.
Topik soal anggaran stunting dibahas oleh Jokowi saat Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengawasan Intern Pemerintah pada Rabu, 14 Juni 2023.
Advertisement
"Baru saja minggu yang lalu saya cek di APBD Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri). Rp10 miliar untuk stunting. Cek. Perjalanan dinas Rp3 miliar, rapat-rapat Rp3 miliar, penguatan pengembangan apa-apa blablabla Rp2 miliar," kata Jokowi.
"Yang benar-benar untuk beli telur itu enggak ada Rp2 miliar. Kapan stuntingnya akan selesai kalau caranya seperti ini? Ini yang harus dirubah," tegasnya.
Lantas, apa sebenarnya stunting dan bagaimana gejalanya? Berikut penjelasannya.
Mengenal Soal Stunting
Sederhananya, stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam rentang waktu yang cukup lama.
Contohnya saat seorang anak yang asupan makannya tidak sesuai dengan kebutuhan gizi seusianya, maka dirinya dianggap berisiko mengalami stunting.
Berdasarkan keterangan yang dikutip melalui laman Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Jumat (16/6/2023), biasanya permasalahan stunting mulai terjadi sejak seorang anak berada dalam kandungan.
Namun, gejala stunting baru benar-benar terlihat saat anak menginjak usia dua tahun.
Indonesia sendiri tengah berjuang untuk menurunkan angka stunting. Targetnya, angka stunting menjadi 14 persen pada 2024 mendatang. Saat ini, stunting berada pada angka 21,6 persen, menurut Survei Status Gizi Nasional (SSGI) 2022.
Apa Saja Gejala Stunting yang Bisa Dialami Anak?
Ada beberapa gejala stunting khas yang bisa dialami oleh seorang anak. Pertama, dari segi fisik. Anak stunting akan memiliki tubuh lebih pendek dari anak seusianya.
Kedua, proporsi tubuh anak stunting bisa pula cenderung normal. Namun, anak tampak lebih muda atau kecil dibandingkan dengan anak-anak seusianya yang lain.
Ketiga, berat badan anak stunting terbilang rendah. Keempat, pertumbuhan tulang anak mengalami keterlambatan atau tertunda.
Belum berhenti di sana. Stunting pun turut berkontribusi dalam menyebabkan gangguan lainnya pada anak. Hal itu jugalah yang menyebabkan pemeriksaan stunting penting dilakukan secara menyeluruh.
Advertisement
Stunting, Bukan Sekadar Kurus dan Pendek
Beberapa waktu lalu, dokter spesialis gizi klinik, Nurul Ratna Mutu Manikam menjelaskan bahwa anak stunting yang sudah tidak bisa dikoreksi berisiko menyebabkan obesitas atau kelebihan berat badan.
"Metabolisme linearnya terganggu, sel-sel lain terganggu. Akhirnya anak tersebut karena tidak bisa mengadaptasi dengan baik, terjadilah obesitas yang kemudian bisa jadi diabetes, hipertensi, dan penyakit lain yang berbahaya," ujar Nurul dalam acara Aksi Gizi Generasi Maju bersama Danone Indonesia di Lombok, Nusa Tenggara Barat pada Februari 2023 lalu.
"Jadi yang mestinya dia tumbuh linear ke atas, ototnya terbentuk dengan baik, karena dia stunting jadi enggak optimal. Di usia kemudian hari, proses metabolisme masih tetap mengadaptasi yang awal itu, yang rate-nya rendah," sambungnya.
Stunting Bisa Sebabkan Gangguan Kognitif dan Anemia
Lebih lanjut Nurul mengungkapkan bahwa selain menyebabkan obesitas, diabetes, dan menimbulkan penyakit tidak menular yang berbahaya, stunting masih punya dampak lainnya terkait gangguan kognitif.
"Overweight, obesitas, terus termasuk juga jadi penyakit tidak menular. Selain juga prestasi belajarnya ya. Jadi kemampuan kognitifnya jadi lebih rendah," ujar Nurul.
Terlebih, dari penelitian yang sudah ada, banyak anak-anak stunting yang mengalami anemia. Sehingga perlu melakukan skrining tambahan khusus untuk anemia.
"Kalau dari penelitian yang sudah ada---Ternyata anak-anak yang stunting itu lebih banyak yang anemia. Jadi harus pakai skrining anemia juga, dicek HB-nya juga," pungkasnya.
Advertisement