UGM dan Kemlu Bahas Penyelesaian Konflik di Papua, Apa Hasilnya?

Pembangunan di Papua sudah sejak lama dilakukan pemerintah dalam upaya untuk menangani konflik di Papua. Terkini, pemerintah pusat menetapkan Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua untuk penyelesaian konflik di Papua

oleh Yanuar H diperbarui 18 Jun 2023, 22:00 WIB
Massa Aliansi Masyarakat Indonesia Timur menggelar unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/9/2019). Massa menyatakan bahwa Papua tetap NKRI dan meminta pemerintah mengusut tuntas kasus rasis yang berujung konflik. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Yogyakarta - Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset, dan SDM Fisipol UGM, Nurhadi Susanto menekankan adanya penyamaan persepsi dalam penyelesaian konflik di Papua. Yaitu melalui pendekatan pengakuan hak sipil politik, ekonomi sosial budaya, memperkuat pendidikan untuk kesadaran hak dan memperkuat kualitas SDM anak muda dengan pendidikan adat dan pendidikan nasional. 

“Membicarakan tentang Papua tidak hanya melalui diskursus saja, perlu penyamaan persepsi, framework yang jelas dan semua proses perlu untuk didiskusikan. Dengan harapan, ketimpangan pembangunan dan tujuan mulia konstitusi segera dapat diwujudkan. Fisipol UGM akan sangat bersedia untuk bekerja sama untuk menguraikan persoalan yang ada di Tanah Papua,” katanya dalam focus group discussion (FGD) yang bertajuk 60 Tahun Integrasi: Menelaah Kembali Pendekatan Pembangunan untuk Perdamaian Papua, di di Ruang Rapat Dekanat Fisipol UGM Selasa 13 Juni 2023.   

Kepala Bidang Strategi Kebijakan Luar Negeri Kementerian Luar Negeri RI, Yayan G. H. Mulyana menegaskan keterlibatan ahli dan masyarakat sangat penting dalam penyelesaian konflik di Papua.  

 

“Kami sangat ingin mendengar masukan saran dan pandangan dalam mencari akar rumput permasalahan di tanah Papua serta memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi,” jelasnya.

Sekretaris Gugus Tugas Papua UGM Arie Ruhyanto mengatakan angka kekerasan di Papua meningkat di tengah gencarnya proses pembangunan oleh pemerintah. Namun Gerakan Papua Merdeka semakin terorganisir melalui budaya, sosial, politik luar negeri, senjata, dan bahkan berhasil menarik perhatian aktivis NGO.  

“Pendekatan perdamaian dalam pembangunan, mudah tergelincir, menghadirkan provisi atau pertumbuhan ekonomi, otomatis memicu kehadiran para pendatang karena terbukanya peluang ekonomi. Harus kita akui Orang Asli Papua (OAP) masih belum bisa berkompetisi secara penuh dengan pendatang. Justru pendekatan pembangunan menunjukkan marginalisasi bagi OAP,” katanya. 

Peneliti dari Yayasan Bentala Rakyat Laksmi Adriani Savitri mengatakan konflik di Papua ini  salah satu akar masalahnya adalah dorongan modernisasi yang dipaksakan. Kondisi ini mendorong resistensi terselubung atau yang disebut matohale seperti penolakan pasif dan putus sekolah di kalangan masyarakat Papua.  

“Kami menghadirkan Dekolonisasi Budaya (akulturasi). Akulturasi budaya sudah berjalan melalui inisiatif anak muda Papua tentang pertanian berkelanjutan di Papua, festival musik tentang lingkungan dan lain sebagainya. Proses ini bertujuan untuk mendapat pengakuan budaya yang bermartabat,”ujarnya. 

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Papua Melkias Hetharia menyampaikan  pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Papua telah menjadi memori kelam kolektif yang disebut sebagai memoria passionis. Padahal Memoria Passionis ini menyebabkan perasaan yang tidak menyenangkan, sedih, marah, kecewa dan apatis, serta curiga terhadap proyek-proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.  

Menurutnya 4 akar masalah di Papua, yaitu pelurusan sejarah integrasi, pelanggaran HAM, marginalisasi, dan ketimpangan pembangunan, dengan akar masalah berupa ideologi Papua Merdeka.  

“Saya melihat 4 akar masalah di Tanah Papua berasal dari 1 masalah dasar yaitu ideologi Papua Merdeka. Persoalan ideologi orang Papua bergantung pada penyelesaian akar masalah yang ada,” ujarnya tentang konflik di Papua.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya