OPINI: Transfer Pricing dan Aspek Perpajakannya

Volume dan besaran nilai TP akan terus bertambah karena lebih dari 60% transaksi ekonomi internasional dilakukan oleh pelaku usaha global.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Jun 2023, 14:00 WIB
John Hutagaol, Guru Besar Perpajakan dan bekerja di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. (Triyasni)

Liputan6.com, Jakarta Transfer Pricing (TP) adalah satu dari sekian banyak skema penghindaran pajak (tax avoidance) yang merupakan tantangan dan permasalahan perpajakan (tax matter and challenges) yang membebani administrasi (administrative cost) dari otoritas pajak di banyak yurisdiksi.

Volume dan besaran nilai TP akan terus bertambah karena lebih dari 60% transaksi ekonomi internasional dilakukan oleh pelaku usaha global (multinational corporations) dan juga dipicu oleh perbedaan struktur dan tarif pajak antar yurisdiksi.

State of Tax Justice melaporkan bahwa secara global potensi penerimaan pajak yang hilang (tax revenue forgone) mencapai USD 312 miliar sebagai akibat dari penghindaran pajak antar yurisdiksi secara agresif (cross border aggressive tax avoidance) oleh perusahaan multinasional, yang salah satunya dilakukan melalui skema TP. TP masuk dalam agenda besar Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) atau disingkat Inclusive Framework pada tahun 2015 untuk dibahas dan dirumuskan standar penanganannya.

Sesuai dengan 15 Rencana Aksi BEPS, standar penanganan TP diatur dalam Rencana Aksi 8-10. Inclusive Framework merupakan international fora yang beranggotakan 143 yurisdiksi dan difasilitasi oleh OECD. Praktik TP tumbul dari transaksi hubungan istimewa (related party transactions) seperti penjualan, pembelian, pinjaman, penjualan harta berwujud/tidak berwujud, jasa manajemen, jasa tehnik dan/atau royalti, yang dilakukan oleh entitas-entitas hukum (subsidiary companies) dalam perusahaan grup yang sama di suatu yurisdiksi (sering disebut TP domestik), dan/atau oleh antar entitas hukum yang berbeda status domisili hukumnya namun masih dalam perusahaan grup yang sama (sering disebut TP lintas yurisdiksi).

Dampak disruptif yang ditimbulkan oleh ke-2 (dua) TP tersebut sama yaitu menggerus basis pemajakan (base erosion) suatu yurisdiksi. Sehubungan dengan dampak negatif tersebut, otoritas pajak dari yurisdiksi maju (developed jurisdictions) menangani TP dengan melengkapi ketentuan peraturan perundang-undangan (legal framework) termasuk tax treaty, ketentuan mengenai penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) atau Arm’s Length Price Principle, pencegahan tumbulnya sengketa pajak akibat TP atau Advance Pricing Agreement (APA) dan penyelesaian sengketa pajak atau Mutual Agreement Procedure (MAP).

Selain itu, membangun struktur dan proses bisnisnya, sebagai contoh Australian Tax Office (ATO) memiliki suatu divisi khusus yaitu divisi Public Groups and International[1] untuk menangani kepatuhan perusahaan grup (associate enterprises) termasuk  penanganan TP yang dilakukan secara terpusat. Hal tersebut mungkin dimaksud untuk menjaga kualitas pada pemeriksaan pajak dalam rangka TP dan solusi atas keterbatasan jumlah SDM yang memenuhi kualifikasi untuk melakukan pemeriksaan.

Koreksi hasil pemeriksaan TP timbul karena perbedaan antara harga atau laba usaha yang wajar sesuai PKKU dengan harga atau laba usaha dari transaksi hubungan istimewa atau sering disebut primary adjustment. Permasalahan pajak ganda (double taxation) timbul ketika primary adjustment tersebut tidak memperoleh corresponding adjustment dari otoritas pajak.

Atas transaksi lintas yurisdiksi, hal dimaksud telah difasilitasi dalam tax treaty atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Sedangkan atas transaksi hubungan istimewa domestik tergantung pada ketentuan perundang-undangan domestik (domestic legislation framework) dari masing-masing yurisdiksi. 

Berhubung penanganan TP yang mencakup pengawasan dan pemeriksaan pajak menghabiskan banyak sumber daya (resources) baik SDM, waktu dan biaya, otoritas pajak di banyak yurisdiksi menawarkan program APA baik yang sifatnya sepihak dengan otoritas pajak dari suatu yurisdiksi dimana perusahaan tersebut terdaftar dan berdomisili, atau sering disebut Unilateral Advance Pricing Agreement (UAPA) atau secara bilateral yang disepakati oleh otoritas pajak dari kedua yurisdiksi mitra perjanjian atau sering disebut Bilateral Advance Pricing Agreement (BAPA).

Dalam rangka memberikan keadilan (equality) atas sengketa pajak (tax dispute) yang timbul, perusahaan dapat menyelesaikannya melalui prosedur hukum misalnya keberatan (objection) dan banding (appeal), yang diatur dalam ketentuan perundang-undang pajak pada masing-masing yurisdiksi, atau sering disebut domestic remedies.

Selanjutnya khusus sengketa pajak atas transaksi lintas yurisdiksi, sesuai tax treaty dapat diselesaikan melalui MAP yang proses penyelesaiannya dilakukan oleh Competent Authority dari kedua yurisdiksi mitra perjanjian (Contracting States), dan prosedur tersebut sebagai alternatif dari domestic remedies.

Berbeda dengan yurisdiksi berkembang (developing jurisdictions), penanganan TP perlu dikelola dengan baik dari aspek regulasi, SDM, sarana dan prasarana, struktur dan proses bisnis.

Penanganan TP yang baik (sound of TP management) dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum (legal certainty) bagi para pelaku usaha baik domestik dan internasional, serta berkorelasi positif terhadap kepatuhan (compliance) dan tambahan penerimaan pajak. Selain itu, hal tersebut dapat mendorong iklim investasi yang kondusif yang dapat menarik minat investor global.

 

John Hutagaol, Penulis adalah Guru Besar Perpajakan dan bekerja pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sebagai Tenaga Pengkaji Bidang Pembinaan dan Penertiban SDM. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya