5 Organisasi Profesi Bakal Ajukan Judicial Review Jika RUU Kesehatan Disahkan

Rencana pengajuan 'judicial review' ke Mahkamah Konstitusi oleh 5 Organisasi Profesi jika RUU Kesehatan disahkan.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 20 Jun 2023, 08:00 WIB
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Moh. Adib Khumaidi menyampaikan rencana pengajuan 'judicial review' ke Mahkamah Konstitusi oleh 5 Organisasi Profesi jika RUU Kesehatan disahkan saat jumpa pers di Kantor PB IDI Jakarta pada Senin, 19 Juni 2023. (Dok Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Liputan6.com, Jakarta - Jika pembahasan RUU Kesehatan berlanjut ke Pembahasan Tingkat II dan disahkan menjadi Undang-Undang (UU), lima Organisasi Profesi Kesehatan berencana mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kelima Organisasi Profesi tersebut, terdiri dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Mereka pun tetap menolak pembahasan RUU Kesehatan.

"Apabila ini nanti berlanjut sampai kepada tingkat II dan disahkan pada tingkat II, maka kami akan siapkan proses judicial review di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia," ungkap Ketua Umum Pengurus Besar IDI Moh. Adib Khumaidi saat ditemui Health Liputan6.com di Kantor PB IDI Jakarta pada Senin, 19 Juni 2023.

OP Minta RUU Kesehatan Tidak Segera Disahkan

Penolakan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan terus disuarakan organisasi profesi. Mereka juga meminta agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak segera mengesahkan RUU tersebut.

"Kami dari teman-teman tenaga medis dan tenaga kesehatan yang tergabung di dalam 5 OP tetap berharap tentunya kepada Presiden untuk tidak segera melakukan pengesahan dan penandatanganan atas RUU Kesehatan Omnibus Law tersebut," ucap Adib.


Dinilai Sudah 'Cacat Hukum'

Moh. Adib Khumaidi menyampaikan, Organisasi Profesi tidak ingin muncul sebuah regulasi yang akan berdampak dan menimbulkan kerugian terhadap masyarakat profesi maupun masyarakat luas.

Ia mengaku prihatin RUU Kesehatan akhirnya masuk dalam Pembahasan Tingkat II di DPR RI. Padahal, menurut Adib, RUU Kesehatan ini belum mencapai partisipasi yang bermakna (meaningful participation).

Apalagi organisasi profesi merasa tidak dilibatkan dalam penyusunan Daftar Inventariasi Masalah (DIM), bahkan aspirasi mereka tidak didengar oleh Pemerintah dan DPR RI.

"Kami tidak tahu isi yang dibahas. Kami terus terang, tidak tahu apakah yang menjadi masukan kami diterima apa tidak. Apa isi atau RUU ini sudah memberikan apresiasi kepada kami? Ini sebenarnya secara formal sudah cacat hukum," pungkas Adib.


Kelompok Masyarakat yang Paling Dirugikan

Apabila RUU Kesehatan Omnibus Law disahkan, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan menilai terdapat beberapa kelompok masyarakat yang dinilai paling dirugikan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Apabila RUU Kesehatan Omnibus Law disahkan, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan menilai terdapat beberapa kelompok masyarakat yang dinilai paling dirugikan.

Alasan ini salah satunya berkaitan dengan dampak akibat besaran anggaran kesehatan 10 persen yang dihapus di RUU Kesehatan.

RUU Kesehatan meniadakan alokasi minimal anggaran kesehatan yang potensial berdampak pada semakin minimnya dukungan anggaran untuk pelayanan kesehatan.

Pasal 171 ayat 1 dan 2 UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur alokasi anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji dan diprioritaskan untuk pelayanan publik.

Maka pihak yang paling dirugikan adalah kelompok miskin, penyandang disabilitas, kelompok rentan, termasuk perempuan dan anak, dan kelompok masyarakat di daerah 3T (daerah tertinggal, terdepan, dan terluar), demikian rilis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan beberapa hari lalu.

Dihapuskannya alokasi anggaran minimal akan berdampak pada kondisi pemenuhan hak atas layanan kesehatan bergantung pada “kebaikan hati” penguasa pusat dan daerah.

Padahal, pemenuhan hak atas kesehatan adalah kewajiban negara dan pemenuhan kewajiban itu dibuktikan dengan adanya alokasi anggaran minimal untuk sektor kesehatan.


Kenapa RUU Kesehatan Ingin Cepat Disahkan?

Juru Bicara Aksi Damai IDI untuk RUU Kesehatan Beni Satria pada Senin (5/6/2023) menyampaikan, selain mempertanyakan kenapa RUU dengan metode omnibus law ini ingin lekas dibahas dan disahkan, organisasi profesi juga merasa tidak dilibatkan dalam penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Hal itulah yang membuat organisasi profesi menyuarakan 'Setop Pembahasan RUU Kesehatan' dan menggelar Aksi Damai Jilid 2 pada hari yang sama.

"Yang kami tolak hari ini adalah kenapa undang-undang ini sangat cepat ingin dibahas. Kemudian sangat cepat itu disahkan, termasuk tidak melibatkan kami," kata Beni di depan Gedung DPR/MPR RI Jakarta.

"Bahkan mencabut undang-undang eksisting yang ada sekarang. Nah, itu dia yang ingin kami bahas di situ. Bahwa keterlibatan kami dan kemudian kami dibenturkan seolah-olah kami menolak program pemerintah, tidak (seperti itu)."

Kawal Hak Pelayanan Kesehatan di Daerah

Beni menegaskan, yang dikawal dalam RUU Kesehatan adalah hak pelayanan kesehatan di daerah. Disebutkan pula besaran anggaran pada RUU Kesehatan dihapuskan.

"Yang kami ingin kawal adalah hak kami. Termasuk jawaban yang hari ini belum kami dapatkan. Kenapa anggaran itu dihapuskan? Kita bayar pajak, gitu. Kita semuanya juga punya hak pelayanan kesehatan,"

"Pelayanan kesehatan di daerah, contohnya saat ini 67 persen rumah sakit yang ada di Indonesia itu swasta, bukan pemerintah yang membangun itu.  Nah, hak pelayanan masyarakat di daerah bagaimana? Pelayanan RSUD saat ini bagaimana?"

Infografis Demonstrasi Tolak RUU Kesehatan, Begini Respons Kemenkes. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya