Tindak Tegas Pelaku Kejahatan Terhadap Satwa Dilindungi di Kawasan Hutan Taman Nasional

Pelaku kejahatan terhadap satwa liar dilindungi semakin meresahkan. Penegak hukum didorong untuk menindak tegas para pelaku yang melakukan aksinya di kawasan hutan taman nasional.

oleh Reza Efendi diperbarui 20 Jun 2023, 19:02 WIB
Foto yang diambil pada 20 Juni 2020 memperlihatkan seekor Harimau Sumatra liar berjenis kelamin betina berlari keluar dari kerangkeng besi saat proses pelepasliaran di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Aceh. (CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP)

Liputan6.com, Medan Pelaku kejahatan terhadap satwa liar dilindungi semakin meresahkan. Penegak hukum didorong untuk menindak tegas para pelaku yang melakukan aksinya di kawasan hutan taman nasional.

Jika terus dibiarkan, aksi para pelaku kejahatan terhadap satwa liar dilindungi tersebut semakin mengkhawatirkan. Sehingga mengancam ekosistem dan juga konflik atau interaksi negatif yang ditimbulkan.

Hal itu menjadi kesimpulan pada diskusi 'Strategi Penyelamatan Satwa Liar dari Ancaman Jerat dan Perburuan' yang digelar Sumatera Tropical Forest Journalism (STFJ) di Kafe Rumah Kita, Jalan STM, Kota Medan, Selasa (20/6/2023).

Dalam diskusi, Kepala Bidang (Kabid) Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Stabat Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), Palber Turnip, yang hadir sebagai narasumber, mengatakan, pelaku kejahatan terhadap satwa liar dilindungi dapat ditindak tegas sesuai Pasal 21 Undang-Undang 5 tahun 1990 tentang konservasi.

"Dalam aturan, disebutkan, menangkap, melukai satwa liar yang dilindungi, hukuman maksimal 5 tahun denda maksimal Rp 100 juta," kata Palber Turnip.

Selain Palber Turnip, narasumber lainnya adalah Kepala Balai Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), Teguh Setiawan, Ketua Forum Kehutanan Daerah Sumatera Utara (Sumut), Panut Hadiswoyo, dan Direktur STFJ, Rahmad Suryadi.

 


Masyarakat Harus Paham

Kuta, orangutan Sumatera (Pongo abelii), dilepasliarkan ke habitat asli di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Sumut. (Liputan6.com/Reza Efendi)

Palber Turnip menegaskan, masyarakat harus paham atas dampak aksi jerat walaupun yang menjadi target adalah babi hutan. Sebab, satwa yang juga disebut celeng ini menjadi salah satu buruan harimau sumatera (Panthera tigris).

"Babi hutan itu merupakan bagian dari ekosistem yang berasal dari taman nasional. Kalau babi hutan mangsa harimau habis, maka konflik harimau memangsa ternak warga akan semakin meningkat," tegasnya.

Menurutnya, seharusnya masyarakat sekitar kawasan TNGL bisa menerima kehadiran satwa liar dengan tidak memasang jerat sebagai penghalang yang malah mengancam kehidupan satwa tersebut.

"Ya, masyarakat harus bisa menerima kehadiran satwa liar ini di kawasan kelola mereka. Seperti tidak memasang jerat, tetapi barrier yang merupakan pembatas tanaman atau perkebunan warga agar tidak terganggu," sebutnya.

Mengenai penegakkan hukum, Palber Turnip menjelaskan, tahun ini pihaknya menangkap pelaku dari sebuah perusahaan yang melakukan jerat di batas kawasan TNGL. Pelaku memasang lebih dari 100 jerat, dan menjerat sepasang beruang nadu di Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat.

Kasus ini sudah dalam tahap persidangan. Pihaknya juga menemukan indikasi keterlibatan oknum yang masuk ke dalam kawasan mencoba mengambil satwa liar.

"Untuk yang kasi ini sedang dalam proses, kita tetap pada prinsip semua sama di hadapan hukum. Siapa pun jika tertangkap tangan, kita proses hukum," ujarnya.


Kematian Harimau Sumatera

Diskusi 'Strategi Penyelamatan Satwa Liar dari Ancaman Jerat dan Perburuan' yang digelar Sumatera Tropical Forest Journalism (STFJ) di Kafe Rumah Kita, Jalan STM, Kota Medan, Selasa (20/6/2023)

Kepala Balai Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), Teguh Setiawan menuturkan, tahun ini 1 kasus jerat satwa liar di kawasan TNBG terjadi pada Mei menjerat harimau sumatera yang menyebabkan kematian.

Setelah kejadian itu, pihaknya rutin mengelar operasi jerat dan mengedukasi masyarakat, serta berupaya membangkitkan nilai luhur masyarakat untuk menjaga satwa liar.

"Harus bisa sama-sama hadir dan tidak saling menganggu. Ini yang penting dibangkitkan kembali nilai-nilai luhur, jangan sampai luntur," ucapnya.

Ketua Forum Kehutanan Daerah Sumut, Panut Hadiswoyo menilai, yang utama dalam hal strategi penyelamatan satwa liar dari ancaman jerat dan perburuan adalah faktor pendorong pelaku melakukan aksi tersebut.

"Benar, jerat salah satu ancaman. Jerat teknologi paling sederhana, murah, mudah, tapi mematikan. Persoalannya bukan soal jerat, tapi faktor pendorong kenapa orang melakukan penjeratan," sebutnya.


Permintaan Pasar

Kuta, orangutan Sumatera (Pongo abelii), dilepasliarkan ke habitat asli di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Sumut. (Liputan6.com/Reza Efendi)

Menilik dari negara Asia Tenggara, ucap Panut, aksi jerat dilakukan karena permintaan pasar. Negara-negara seperti Laos, Kamboja dan Vietnam 'menghalalkan' jerat satwa liar untuk dikonsumsi.

Sebab, kebutuhan makan daging satwa liar ini juga atas pemikiran menjadi sumber protein. Jerat juga sengaja digunakan untuk mendapatkan satwa liar yang menjadi target, karena adanya permintaan.

"Di Asia Tenggara, makan daging satwa liar itu utama, dan jerat dilakukan mencapai 12 juta. Laos, Vietnam, Kamboja sebanyak 7 persen daging di restoran berasal dari satwa liar. Ini menjadi dorongan," Panut menandaskan.

Diskusi ini turut dihadiri Program Manager WCS IP, Tarmizi, Founder Voice of Forest, Bambang Saswanda Harahap, Wildlife Whisper Sumatera, Badar Johan, Arisa, juga dari WWS, Inji Warrior, Mahdiyah, serta sejumlah jurnalis lingkungan.

Diskusi ini diharapkan menjadi pembelajaran dan penyadartahuan tentang fakta ancaman yang terjadi pada satwa liar dilindungi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya