Liputan6.com, Jambi- Nasib nelayan Suku Duano--masyarakat adat di Pesisir Timur Jambi masih terkatung-katung karena terjepit krisis iklim. Perubahan anomali cuaca, ditambah semakin sering terjadinya cuaca buruk dan gelombang tinggi memaksa nelayan untuk tidak melaut.
Situasi ini menyebabkan pendapatan nelayan menurun dan ekonomi terpuruk. Ketergantungan terhadap tauke--orang dengan kelas ekonominya berada di atasnya membuat nelayan semakin dipenuhi ketidakpastian.
Advertisement
Kisah Nelayan Suku Duano, salah satu komunitas paling rentan terhadap krisis iklim ini adalah bagian sekrup kecil berbagai masalah yang dihadapi nelayan kecil dan sudah lama terjadi di negeri dengan julukan maritim. Liputan tentang Nelayan Suku Duano ini diproduksi dengan dukungan dari Internews’ Earth Journalism Network.
Belasan rumah panggung berjejer dan saling terhubung. Pemukiman yang berhadap-hadapan itu dibelah jalan setapak cor beton. Atapnya menggunakan seng, dindingnya kusam. Terletak di lorong Trio Perkasa, Kawasan Kampung Laut, Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Tanjab Timur), Jambi, rumah-rumah itu dihuni puluhan keluarga nelayan Suku Duano.
Siang itu 03 Januari 2023, ketika saya melawat ke perkampungan nelayan Suku Duano, kondisi perkampungan itu tampak sepi, sebagian pintu rumah tertutup. Di luar hanya ada beberapa orang perempuan. Mereka saling bercengkrama di beranda rumah sembari menunggu suami mereka pulang melaut.
Matahari sedang tinggi-tingginya kala lelaki bernama Amri (40) itu pulang melaut. Dia berjalan menenteng kotak kecil yang berisi bekal melaut. Belum sampai melangkahkan kaki di rumahnya, seorang anak perempuan berlari dan langsung memeluknya.
“Bapak sudah pulang,” teriak anak perempuan itu. Dia lalu berlari menghampiri bapaknya.
Usai menuntun anak perempuannya, saya menghampiri Amri di teras rumah tetangganya. Di awal obrolan, Amri langsung bertutur tentang kerasnya hidup sebagai nelayan mencari sumber pendapatan di lautan.
Menurutnya, setiap menjelang akhir hingga awal tahun memasuki musim pancaroba. Nelayan Kuala Jambi--wilayah administratif yang melingkupi Kampung Laut–diuji oleh musim Perbani.
Musim yang sering mereka sebut dengan nama Perbani ini jelas Amri, terjadi ketika air laut tak kunjung pasang dan juga tak surut. Tidak ada arus di bawah air, sehingga kondisi ini menyulitkan nelayan menebarkan jaring.
Pada musim ini tangkapan ikan mereka menurun drastis dan perahu banyak mengandalkan mesin ketimbang angin dan arus. Ongkos melaut pun jadi lebih mahal dengan hasil yang justru sangat sedikit dan cenderung anjlok.
Am--begitu sering disapa mengatakan, dia dan kawan-kawan nelayan lainnya kini dirundung kesusahan. Mereka sulit mengumpulkan hasil tangkapan ikan. Penghasilan melaut kini tak sebanyak dulu.
“Hari ini sepi. Ikan (hasilnya) pun kurang juga. Lokasinya air sudah mulai mati, tidak deras lagi, ikan-ikan menjauh,” kata Amri.
Amri adalah seorang nelayan dari suku Duano--masyarakat adat yang mendiami wilayah pesisir timur Provinsi Jambi, tepatnya di Kelurahan Tanjung Solok, Kampung Laut, di Kabupaten Tanjab Timur
Bagi masyarakat adat Suku Duano, laut dan pesisir merupakan identitas budaya mereka. Kehidupan mereka sangat bergantung pada laut dan mereka tidak dapat dipisahkan dari wilayah pesisir.
Menurut sejarahnya sebagaimana yang diteliti Ristanto, peneliti bahasa daerah dari Kantor Bahasa Provinsi Jambi menyebutkan, Suku Duano dulunya dikenal dengan sebutan Orang Suku Laut. Awalnya mereka tinggal di dalam perahu kajang--alat transportasi tradisional yang dijadikan rumah.
Suku ini memiliki kearifan lokal yang unggul mencakup pengamatan bintang dan navigasi, prakiraan cuaca, dan konservasi air. Kearifan nenek moyang mereka ini sangat bermanfaat bagi kelestarian laut dan pesisir.
Dulunya mereka biasa hidup secara nomaden dan berpindah dari satu titik pantai ke titik pantai lainnya atau disebut kaum gipsi laut.
Namun mulai tahun 1980-an, masyarakat suku ini memindahkan tempat tinggalnya ke daratan yang tidak jauh dari pesisir. Mereka dibangunkan rumah oleh pemerintah di daerah Kampung Laut Tanjung Solok. Sampai sekarang mereka tak memiliki hak atas tanah dari rumah yang ditempati.
Kemudian saat Kongres Bahasa pada tahun 2000-an di Pekanbaru, Riau, nama Suku Orang Laut yang berada di Indragiri Hilir dan Jambi ini diubah menjadi Suku Duano. Perubahan nama ini dikarenakan Suku Duano telah memeluk agama Islam dan mengadopsi budaya Melayu.
Sehari-hari mereka hidup bergumul dengan orang-orang Minang, Bugis, Jawa, dan Banjar yang menetap di sekitar Kampung Laut--mendiami Pantai Timur Sumatera dan berhadapan langsung dengan Selat Malaka.
Kehidupan Suku Duano bergantung pada hasil tangkapan ikan di laut. Amri mengenang bahwa di masa lalu sekitar satu dekade silam, dia bisa mendapatkan begitu banyak tangkapan dari satu hari melaut. Tangkapan waktu dulu bisa tiga kali lipat dari tangkapan nya hari ini.
Namun setengah dekade terakhir, Amri dan nelayan Suku Duano lainnya harus bekerja di laut lebih keras untuk mendapatkan hasil tangkapan, meski hasilnya tidak menentu. Belum lagi ia harus membayar cicilan perahu kecil bermesin tempat kepada pengepul atau tauke yang juga membeli hasil tangkapannya.
Jika dulu saat cuaca bagus, dia bercerita, dalam sehari melaut bisa mendapat puluhan kilogram dan mengantongi duit Rp300.000. Namun hari-hari dimana pendapatanya dapat memenuhi kebutuhan, tinggal kenangan.
"Sekarang ini paling banyak saya dapat Rp100.000 per hari, itu pun masih harus bayar bahan bakar dan cicilan perahu ke bos. Jadi, rata-rata seharinya hanya bisa membawa pulang Rp 50.000," kata Am sembari menghela napas.
Tak Punya Kapal, Bergantung Pada Pemodal
Seorang tetua adat Suku Duano, Asri Tara (77) menyebutkan bahwa sukunya tercatat sebanyak 300-an jiwa. Mereka tinggal di pemukiman padat. Sebagian besar anggota Suku Duano adalah nelayan tradisional. Mereka semua merasa bahwa saat ini menangkap ikan menjadi semakin sulit dengan cuaca yang tidak menentu.
Asri Tara menuturkan, mayoritas Suku Duano tidak punya kapal sendiri untuk melaut. Dari jumlah 77 kepala keluarga Suku Duano yang bermukim di Tanjung Solok Kampung Laut, hanya 9 persen yang memiliki kapal atau perahu sendiri.
Sementara selebihnya nelayan Suku Duano bergantung pada tauke dan menjadi pekerja kepada pemodal yang memiliki kapal dan duit. Tauke atau pemodal akan memberikan pinjaman modal kepada nelayan untuk membeli perahu. Nelayan akan terikat kontrak dan mereka dilarang menjual hasil tangkapannya ke tempat lain.
Keadaan seperti ini membuat Suku Duano sangat bergantung dengan pemodal yang secara sosial dan kelas ekonomi berada di atas mereka. Dengan kondisi ini, Asri Tara pun tak menampik kalau penghasilan dari pekerjaan nelayan Suku Duano ini rendah. “Sementara sekarang tangkapan semakin sedikit,” kata Asri Tara.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari, sebagian dari mereka terpaksa putar otak. Kadang saat cuaca sedang buruk mereka tak melaut dan mencari pemasukan dari menjadi tukang ojek atau berjualan makanan ringan.
Begitu pun dengan perempuan Suku Duano dan budaya mencari Kerang Bambu atau Sumbun (Ensis leei). Aktivitas menyumbun ini sangat lekat dengan nelayan Suku Duano, terutama kelompok perempuan.
Biasanya para nelayan perempuan menggunakan kapal atau perahu untuk menuju ke lokasi pencarian kerang yang mereka sebut beting. Setibanya di lokasi mereka akan menyusuri daratan beting dan mencari lubang yang menjadi sarang kerang sumbun. Alat yang digunakan cukup sederhana: pancing bambu dengan umpan kapur sirih.
Tapi kini tradisi mencari kerang sumbun mulai ditinggalkan. Nelayan perempuan lebih banyak beraktivitas di darat dan mencari kesibukan lain dengan bekerja sebagai buruh belah ikan di tempat penampungan ikan.
Cik Ijah (60), seorang perempuan Suku Duano mengaku telah berhenti melaut dan mencari kerang sumbun sejak setengah dekade terakhir karena tak memiliki kapal sendiri. Ia tambah enggan melaut karena lokasi beting– tempat kerang sumbung sering tenggelam disebabkan oleh naiknya permukaan air laut.
Dia pun kini sibuk dengan jualan makanan ringan di rumahnya. Tak hanya itu, Cik Ijah juga terkadang bekerja sebagai tukang belah ikan di malam hari.
Malam itu, Selasa 3 Januari 2023, di bawah sorot lampu, Cik Ijah sibuk menyortir tumpukan ikan di tempat penampungan. Tangannya cekatan memilah-milah ikan dan kemudian setelah disortir ukurannya, ikan-ikan itu dibelah untuk dijadikan ikan asin.
“Sekarang sudah dak melaut lagi, dak punyo pompong (perahu bermesin tempel),” kata Cik Ijah.
Para nelayan tradisional Suku Duano adalah bagian dari sekrup kecil dalam sistem nelayan tradisional di Pesisir Timur Sumatera di Jambi. Mereka dihadapkan oleh gempuran perubahan iklim, dan kerusakan ekosistem bakau--area penting tangkapan nelayan kecil seperti mereka.
Advertisement
Beban Berlipat Nelayan
Pompong--perahu kecil bermesin tempel yang dikemudikan Amri merambat pelan ketika hendak bersandar ke dermaga Kampung Laut, Kecamatan Kuala Jambi, Rabu sore (4/01/2023). Di dermaga itu, para nelayan sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang menimbang dan mengangkut hasil laut menggunakan gerobak sorong.
Usai menambatkan perahunya di tiang penopang dari kayu nibung, Amri dengan membawa wadah ikan langsung menuju ke bos pengepul ikan. Tak lama kemudian, usai menimbang berat hasil tangkapannya, Siti Hayat (50), tauke ikan yang cukup terkenal di kampungnya itu menyodorkan duit ke Amri.
“Ini dari subuh pergi (melaut) sampai sore dia dapat Rp85.000,” kata Siti Hayat ketika ditemui di rumah penampungan ikan miliknya dihari yang sama.
Siti Hayat sudah sepuluh tahun menjalin kerjasama dengan Amri. Selain menampung ikan, ia juga memberikan pinjaman modal kepada Amri dan nelayan lain untuk membeli perahu, namun dengan catatan mereka menyetujui perjanjian untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada Siti.
Sayangnya mayoritas nelayan tradisional di daerahnya memang tidak memiliki cukup uang untuk membeli perahu. Begitu pula tiba waktunya paceklik, tak jarang nelayan berhutang kepada Siti Hayat. Kini di daerahnya kata dia, ada sekitar belasan nelayan yang bekerjasama dan menjual ikan dengannya.
Namun saat kondisi paceklik seperti sekarang ini, Siti mengaku belum berani memberikan pinjaman lagi kepada nelayan. Sebab dia, tak memungkiri kekhawatirannya soal tangkapan nelayan yang semakin sedikit.
“Sekarang tengoklah hasilnya lagi kurang kan, kalau kayak gini belum berani kasih hutang. Jadi kalau sudah melunasi baru kita kasih pinjam lagi,” kata Siti Hayat.
Asri Tara meyakini Suku Duano di Kampung Laut Jambi sebagai orang yang pertama kali membuka pemukiman di daerah tersebut. Dia meyakini, bahwa nenek moyang masyarakat Suku Duano di daerahnya berasal dari daerah Riau yang bermigrasi ke arah selatan hingga sampai di perairan pesisir timur Jambi.
“Identitas Suku Duano ini laut, kami tidak bisa dipisahkan dengan laut dan pesisir. Semua sumber mata pencaharian kami berasal dari laut,” kata Asri.
Kini nelayan tradisional dihadapkan oleh beban berlipat. Mereka seakan tak berdaya di lautnya sendiri. Selain dihadapkan ongkos melaut yang tinggi, mereka juga dihadapkan oleh anomali cuaca, dan kerusakan ekosistem bakau.
Dengan bermodalkan armada kecil, nelayan tradisional tidak mungkin dapat melaut lebih jauh karena taruhannya nyawa ketika menghadapi gelombang tinggi. Sementara kawasan pesisir mereka yang seharusnya kaya dengan sumber daya, sudah rusak akibat eksploitasi dan tak dapat diandalkan lagi.
Pada Agustus 2022, hutan mangrove di Pesisir Timur Jambi, tepatnya di Desa Sungai Sayang, Tanjung Jabung Timur, dibabat untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Dari tangkapan citra satelit yang diolah KKI Warsi--lembaga non profit yang fokus pada isu konservasi menyebut, luasan mangrove yang dibabat di Sungai Sayang mencapai 110 hektar.
Nelayan menyebut hutan mangrove yang hancur itu dulunya merupakan habitat kepiting dan udang. Akibat kerusakan ekosistem itu secara tidak langsung berdampak pada mata pencaharian nelayan kecil, seperti Suku Duano yang setiap harinya selalu menyusuri pesisir.
Wak Ninggal, pria paruh baya Suku Duano ini mengatakan dia dulunya rajin menyusuri kawasan pesisir untuk mencari penghasilan. Bahkan ia menyusuri pesisir timur sampai ke daerah Sumatera Selatan.
Tapi kini di tengah kerusakan ekosistem pesisir, ditambah musim yang tidak menentu dan sukar diprediksi, ia berusaha bertahan dengan tetap menangkap ikan. Seperti Amri, Wak Ninggal tak punya pilihan dan harus melaut lebih jauh dengan konsekuensi biaya operasional dan risiko yang tinggi menghadapi gelombang besar.
Kerugian pun tak terelakkan jika hasil tangkapan tak sesuai. Padahal, sebelumnya wilayah tangkapan di sekitar pesisir Pantai Timur Jambi masih menjanjikan. Dulu nelayan bisa mendapatkan penghasilan yang lumayan dan cukup melimpah. Mulai dari ikan, kepiting, kerang, dan udang dibawa pulang.
"Sekarang sulit, musim ikan sudah berubah siklusnya," kata Ninggal.
Degradasi Hutan Mangrove
Journal of Natural Resources and Environmental Management menjelaskan, dari hasil interpretasi Citra Satelit tahun perekaman 1989, 2000 dan 2018, kerapatan mangrove terus menurun dari tahun ke tahun.
Pada tahun 1989, tutupan kerapatan bakau didominasi oleh tutupan kerapatan tinggi walau ada di beberapa lokasi yang memiliki tutupan kerapatan rendah dan jarang, namun tidak terlalu signifikan.
“Kerapatan tutupan mangrove mulai terganggu pada tahun 2000, dimana hampir di seluruh Kecamatan yang berbatasan dengan pesisir Provinsi Jambi mengalami peningkatan untuk kategori tutupan sedang dan jarang,” tulis Eva Achmad dkk dalam jurnalnya yang berjudul Studi Kerapatan Mangrove dan Perubahan Garis Pantai tahun 1989-2018 di Pesisir Provinsi Jambi (2020).
Dalam jurnalnya itu Eva menjelaskan hutan mangrove pesisir Provinsi Jambi telah mengalami kerusakan karena adanya alih fungsi lahan menjadi perkebunan, serta eksploitasi yang dilakukan untuk kepentingan ekonomi.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanjab Timur Hendri, tak menampik kerusakan hutan mangrove berdampak langsung terhadap nelayan. Saat ini menurut Hendri, degradasi ekosistem laut dan pesisir di wilayah kabupaten paling timur di Jambi ini mencapai 60 persen.
“Penyangga-penyangga kawasan pesisir seperti hutan bakau juga turut terdegradasi,” kata Hendri.
Menurut Hendri, semakin berkurangnya sumber daya laut ini lah yang menjadi salah satu penyebab berkurangnya aktivitas nelayan di pesisir Jambi.
Dengan kondisi ini, tangkapan perikanan laut rata-rata turun 0,73 persen dan menunjukkan jumlah ikan yang ditangkap dalam ton di provinsi Jambi mengalami penurunan dari tahun 2010 hingga 2022.
Untuk memperoleh penghasilan, saat ini nelayan kata Hendri, terpaksa melaut lebih jauh di atas 4 mil atau 6,4 kilometer di ambang luar. Untuk menempuhnya diperlukan kapasitas kapal di atas 3 GT (gross tonnage).
Sementara jika nelayan kecil memaksakan melaut lebih jauh akan berisiko tinggi. Apalagi saat ini nelayan tradisional kata Hendri, belum mendapatkan asuransi. Kartu nelayan yang dimiliki para nelayan yang terdaftar tidak mencakup asuransi dan hanya bisa digunakan untuk membeli bahan bakar subsidi seperti Pertalite dan Solar.
“70 persen nelayan kita sudah punya kartu nelayan, kalau untuk asuransi ini dulu pernah ada programnya. Tapi sejak pandemi Covid-19 dan karena ada pemangkasan anggaran maka program ini (asuransi nelayan) berhenti,” kata Hendri.
Namun Hendri menyadari, mereka perlu dilindungi oleh asuransi. Pemerintah setempat saat ini tengah mengocok anggaran untuk memasukan kembali program asuransi nelayan tersebut.
Pihaknya akan bekerjasama dengan perusahaan asuransi milik BUMN untuk membuat program asuransi kepada nelayan tradisional di daerah itu dengan premi Rp16 ribu per bulan. Asuransi nelayan ini mencakup tanggungan kecelakaan dan kematian nelayan saat melaut.
“Pembahasan sudah kita lakukan pada tahun 2023. Di tahun depan (2024) kita akan kerjasama dengan perusahaan asuransi. Nanti sistemnya Pemerintah Daerah yang akan mensubsidi preminya, bisa separuh kita subsidi,” ujar Hendri.
Advertisement
Pancaroba
Koordinator Bidang Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Sultan Thaha Jambi Anisa Fauziah menyebut, pada bulan September hingga Maret, kawasan perairan Jambi mengalami musim pancaroba gelombang tinggi.
Puncak gelombang tinggi dan pancaroba akan terjadi dari bulan Oktober-Desember dengan ditandai oleh gelombang lebih tinggi antara 2-4 meter. Dalam bulan-bulan tersebut menurut Anisa, terjadi Monsun Asia yang mulai aktif menuju ke wilayah perairan Jambi, sehingga potensi cuaca ekstrem akan menguat.
Kemudian gelombang tinggi masih akan terjadi pada bulan Januari-Maret. Pada bulan tersebut menurut Anisa, disebabkan oleh Siklon Tropis Freddy, sehingga menyebabkan kecepatan angin yang lebih tinggi mencapai 15-20 knot.
“Kalau di laut itu kecepatan angin 15 knot sudah menghasilkan gelombang tinggi, dan biasa saat terjadi kondisi ini kita mengeluarkan warning kepada nelayan untuk tidak melaut dulu,” ujar Anisa.
Anisa menjelaskan, cuaca di perairan Jambi akan mulai normal kembali pada bulan April-September, periode aman bagi nelayan untuk melaut.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Parid Ridwanuddin mengatakan, nelayan di berbagai wilayah di Indonesia sangat terdampak oleh cuaca ekstrem yang disebabkan oleh krisis iklim, karena aktivitas menangkap ikan di laut sangat mengandalkan cuaca yang bersahabat.
“Dalam waktu setahun nelayan hanya bisa pergi melaut selama 180 hari atau enam bulan. Jadi sisanya 6 bulan lagi nelayan ngapain? mereka ada alih profesi sementara, ada yang ke kebun, cari pekerjaan lain jadi tukang ojek,” kata Parid.
Menurut catatan WALHI, jumlah nelayan tradisional di Indonesia terus mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir sebagaimana dilaporkan oleh dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2021.
Pada tahun 2010 jumlah nelayan tercatat sebanyak 2,16 juta orang. Namun pada tahun 2019 lalu, jumlahnya tercatat hanya 1,83 juta orang. Dengan demikian, terdapat penurunan jumlah nelayan sebanyak 330.000 orang dalam sepanjang tahun 2010–2019.
Selain itu menurut Parid, kematian nelayan terkait krisis iklim di Indonesia juga terus meningkat. WALHI mencatat pada tahun 2020, jumlah nelayan yang meninggal di laut tercatat sebanyak 251 orang. Angka ini mengalami peningkatan dari tahun 2010 yang jumlahnya hanya 86 orang.
“Tentu ini tak boleh dibiarkan dan dianggap remeh karena mereka (nelayan) adalah aktor utama sektor kelautan dan perikanan,” ujar Parid.
Dia mendesak pemerintah agar menangani dampak krisis iklim dengan serius. Dia juga meminta agar kebijakan yang dikeluarkan harus mengafirmasi dan melindungi kelompok rentan, salah satunya nelayan.
“Ada persoalan lain yang memperburuk nelayan. Mereka sangat tergantung pada tauke atau orang-orang yang ekonominya berada di atas para nelayan, mau tidak mau nelayan harus berhutang karena untuk melaut itu butuh modal besar,” kata Parid.
Sementara itu, berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi luas laut di provinsi ini mencapai 387.967 hektare atau 3.879 kilometer. Dari luasan tersebut menurut alokasi ruang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) terbagi menjadi beberapa alokasi.
Salah satunya untuk zona perikanan tangkap seluas 227.363 hektare atau 58,60 persen yang terdiri dari pelagis (habitat ikan di perairan dangkal) dan demersal (habitat ikan di wilayah dalam). Sementara itu, alokasi kawasan konservasi perairan seluas 33.447 hektare atau hanya 8,62 persen. Selebihnya atau 30,74 persen dari total luasan laut di Provinsi Jambi dialokasikan untuk jalur atau zona pelabuhan umum laut.
Meski zona perikanan tangkap Provinsi Jambi mencapai 58,60 persen, namun nyatanya jumlah nelayan perikanan tangkap laut di Provinsi Jambi dari tahun ke tahun terjadi penurunan. Pada laporan terakhir tahun 2021, jumlah nelayan perikanan tangkap laut di Provinsi Jambi tersisa 5.927 orang.
Perlu Pengelolaan Ekosistem Berbasis Pesisir
Susan Herawati sedih ketika turun ke lapangan dan melihat kondisi perkampungan nelayan di berbagai daerah. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara)--organisasi nirlaba yang fokus terkait isu kelautan dan perikanan--menemukan beban berlipat yang dihadapi para nelayan akibat perubahan iklim.
Krisis iklim telah mengubah pola pengetahuan nelayan dan membuat tangkapan laut semakin berkurang. Di sisi lain kecenderungannya sebut Susan, program pemberdayaan yang terjadi tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh para nelayan.
Padahal pemberdayaan nelayan sudah menjadi mandat negara yang termaktub dalam UU No 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan.
“Dukungan pemerintah masih sangat minim terkait krisis iklim ini. Dan juga negara belum punya skema atau pola pemberdayaan yang tepat,” ujar Susan.
Menurut dia, perlindungan nelayan ini bukan sekadar asuransi saja, tapi ketika nelayan tidak bisa melaut pemerintah wajib memberikan fasilitas alternatif ekonomi lain. Namun sayangnya, pemerintah belum memiliki kebijakan dan strategi mitigasi krisis iklim untuk kelompok masyarakat yang terdampak, termasuk nelayan.
Peneliti Senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dedi Supriadi Adhuri mengatakan, dampak krisis iklim sudah nyata, bukan lagi prediksi. Menurut dia, Indonesia sebagai negara kepulauan sudah merasakan dampak tersebut, terutama bagi wilayah dan komunitas pesisir.
Jika pemanasan global tidak bisa dikendalikan, kawasan pesisir menjadi yang paling dulu terdampak. Hasil pemodelan yang dilakukan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, dengan menggunakan analisis geospasial Coastal Climate Central, memprediksi seratusan desa di pesisir Provinsi Jambi akan tenggelam pada tahun 2050 akibat kenaikan permukaan air laut yang berkontribusi pada banjir rob tahunan.
“Abrasi pantai, banjir rob, cuaca ekstrem, sudah umum dirasakan nelayan dan komunitas pesisir. Dan ini tentu saja mempengaruhi ruang hidup mereka,” kata Dedi.
Dedi yang juga peneliti antropologi maritim menilai, bahwa pemerintah belum punya strategi jangka panjang untuk mengatasi krisis iklim yang makin nyata ini. Menurutnya, diperlukan langkah strategis dengan mengkalkulasi berbagai perubahan yang akan terjadi kedepan.
“Misalnya harus ada modeling 30 tahun kedepan peningkatan permukaan air laut akan terjadi seperti apa. Tapi ironisnya di Indonesia belum ada modeling untuk melihat potensi perubahan-perubahan yang akan terjadi kedepan,” ujar Dedi.
“Sekarang krisis iklim memang sudah dirasakan. Perkembangan dampaknya memang jangka panjang dan akan sangat terasa dalam waktu 30 tahun kedepan. Jadi kalau tidak ada strategi mitigasi dan adaptasi jangka panjang, maka akan tumbal sulam saja,” sambung Dedi.
Selain itu, isu krisis iklim menurutnya, harus menjadi perhatian yang lebih serius karena dampaknya sudah sangat dirasakan. Namun yang terjadi saat ini upaya yang dilakukan menyedot dana asing yang hanya difokuskan pada proyek-proyek pembangunan.
“Tapi untuk program mitigasi dan adaptasi terhadap dampaknya hampir tidak ada,” kata Dedi.
Dedi menawarkan sebuah solusi yang perlu dikuatkan; sektor pengelolaan ekosistem pesisir dan perikanan skala kecil yang langsung digerakan di level masyarakat dan komunitas pesisir. Mereka perlu dilibatkan dalam memitigasi krisis iklim.
Pengelolaan sektor ini jadi praktik baik dan menjadi kunci dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Pengelolaan ekosistem pesisir yang digerakan oleh komunitas tidak hanya mengurusi penangkapan ikan saja, melainkan di dalamnya juga ada kegiatan rehabilitasi mangrove.
“Penguatan dan kolaborasi komunitas itu sangat penting guna memastikan praktik pengelolaan ekosistem pesisir dan perikanan berjalan sebagai bagian strategi adaptasi dan mitigasi krisis iklim,” ujar Dedi.
“Tapi selama ini sektor perikanan kecil yang digerakan oleh nelayan kecil kurang mendapat perhatian dari pemerintah,” sambung Dedi.
Para nelayan tradisional Suku Duano seperti Amri, Wak Ninggal, dan nelayan kecil lainnya di wilayah Pesisir Timur Jambi menjadi contoh kecil yang dikatakan Dedi. Fondasi mata pencaharian dari melaut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari makin tergerus.
Belum lagi pekerjaan mereka penuh risiko. Setiap tahun pasti ada berita tentang nelayan yang tenggelam di laut atau kapal mereka yang karam akibat diterjang badai.
Mereka seakan tak berdaya di lautnya sendiri. Kini mereka melaut hanya sekadar untuk mengisi perut.
Advertisement