Liputan6.com, Jakarta - Pejabat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Sudan Selatan, pada Selasa (20/6), mendesak para pemimpin di negara itu agar mempercepat implementasi dari Perjanjian Revitalisasi Perdamaian 2018, termasuk mengadakan pemilihan pada akhir tahun depan.
“Sekarang bukan waktunya untuk mengalihkan perhatian kita dari Sudan Selatan,” kata Nicholas Haysom, kepala Misi PBB di Sudan Selatan, kepada Dewan Keamanan PBB.
Advertisement
“Apa yang bisa kita pelajari dari Sudan adalah seberapa cepat perdamaian yang diperoleh dengan susah payah dapat hilang begitu saja," dikutip dari laman VOA Indonesia, Jumat (23/6/2023).
Tahun ini adalah tahun yang kritis bagi negara termuda di dunia itu. Sebuah konstitusi baru harus disusun dan persiapan diselesaikan untuk menyambut pemilihan nasional pertama yang dijadwalkan berlangsung pada Desember 2024.
“Menurut perkiraan kami, proses pembuatan konstitusi sudah terlambat 10 bulan dari jadwal, perencanaan pemilihan terlambat selama delapan bulan, dan beberapa aspek pengaturan keamanan transisi masih tertunda,” lapor Haysom.
Ia mengatakan masih memungkinkan bagi Sudan Selatan untuk menutup celah dalam persiapan pemilu. Ia mendesak legislator untuk meloloskan Undang-Undang Pemilu Nasional di parlemen dan membentuk Komisi Pemilihan Nasional.
Catatan Sejarah Sudan Selatan
Setelah merdeka dari Sudan pada Juli 2011, Sudan Selatan mengalami perang saudara selama lebih dari lima tahun, dengan pasukan yang setia kepada Presiden Salva Kiir memerangi pendukung Wakil Presiden Riek Machar.
Ribuan tewas dalam perang itu, dan lebih dari dua juta orang melarikan diri ke negara tetangganya, termasuk Sudan.
Sejak pertengahan April, ketika persaingan antara dua jenderal Sudan berubah menjadi konflik terbuka, lebih dari 117.000 orang telah menyeberang kembali ke Sudan Selatan untuk mencari keselamatan. Haysom memberi tahu anggota dewan bahwa 93 persen dari mereka adalah warga Sudan Selatan yang kembali ke negara tersebut.
Advertisement