Bobot Sapi Kurban Sama tapi Harga Berbeda, Ini Penyebabnya

Sudah dipastikan mau berkurban sapi? Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan penyebab harga sapi berbeda, meski bobotnya sama.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Jun 2023, 10:30 WIB
Irfan Hakim (Sumber: Instagram/irfanhakim75)

Liputan6.com, Jakarta - Ribuan umat Islam kini sedang bersiap menunaikan ibadah kurban pada Idul Adha. Di antara mereka, berkurban sapi.

Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan penyebab harga sapi berbeda, meski bobotnya sama.

Dari penelusuran yang dilakukan di beberapa penjual sapi ditemukan sejumlah fakta, harga sapi bisa mahal terutama terpengaruh pada bentuk sapi yang proposional.

Proposional disini adalah perbandinan tinggi, panjang, lebar sapi imbang dengan bobotnya. Jika ada yang tak seimbang jelas mempengaruhi harga, semakin tidak proposional maka harga semakin murah.

Arif Hidayat salah satu pelaku usaha ternak di Banjarnegara mengatakan, sapi mahal juga terlihat dari cara bergeraknya, harus lincah. Terlebih didukung kaki-kaki kokoh, serta badan sapi gempal dan berisi.

Soal warna, konon sapi berwarna putih lebih mahal, karena sunah Rosul. Baru warna lainnya, seperti abu-abu, merah, coklat, baru hitam. Uniknya, sapi berwarna belang masih kalah pamor oleh sapi yang warnanya merata.

Arif Hidayat juga menyebutkan, jenis kelamin sapi turut mempengaruhi harga, sapi jantan harganya jauh lebih mahal dari pada yang betina, karena kwalitas daging sapi jantan lebih baik.

Kebiasaan masyarakat ikut menentukan pilihan, untuk daerah Sumatera Barat, kurban sapi betina itu sudah umum, bahkan lebih banyak sapi betina yang dipotong daripada yang jantan dan dipilih oleh juragan sapi setempat. Namun di Jawa lebih umum kurban dengan sapi jenis kelamin jantan.

Ternyata, mahal tidaknya sapi juga dipengaruhi oleh tanduknya. Tanduk sapi simetris akan lebih mahal daripada sapi bertanduk tak simetris, begitu pula, yang tak bertanduk akan lebih murah daripada yang bertanduk.

 

Simak Video Pilihan Ini:


Jenis Sapi Juga Menentukan Harga

Petugas Kesehatan Hewan (Puskeswan) Kota Depok memeriksa mulut sapi kurban. (merdeka.com/Arie Basuki)

Arif Hidayat juga menyatakan, sapi yang bobotnya kecil berkisar 250 kg, harganya jauh lebih mahal jika dibandingkan sapi sedang yang bobotnya 400 kg jika dibuat perbandingan harga timbangan hidup per kilogramnya.

Menjadi pertimbangan juga, asal sapi, sapi impor lebih murah daripada sapi lokal.

Selama ini sapi kecil harga timbangan hidupnya berkisar 60 ribu rupiah per kilonya, sapi sedang 50 ribu rupiah dan sapi besar harga perkilonya berkisar 55 ribu rupiah, bahkan untuk sapi yang bobotnya di atas 1 ton bisa sampai 80 ribu rupiah per kilonya.

Terakhir yang cukup mementukan adalah, jenis sapi. Sapi Bali dan Madura cenderung lebih murah daripada sapi peranakan ongole, atau sapi Jawa.

 


Berikut Kriteria Hewan Kurban

Dokter dari Tim Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok memeriksa kesehatan sapi di salah satu lapak hewan kurban di Jalan Pangeran Antasari, Jakarta Selatan, Selasa (30/5/2023). (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Dikutip dari muhammadiyah.or.id, dalam syariat Islam, ibadah kurban diperuntukkan bagi yang mampu. Hewan yang dapat dijadikan kurban adalah bahimatul-an’am atau binatang ternak sebagaimana dijelaskan Surat Al-Hajj ayat 34. Menurut para ulama, hewan ini adalah unta, sapi, kerbau, kambing, domba dan biri-biri.

Kriteria hewan kurban harus memenuhi dua aspek yaitu kriteria fisik dan kriteria umur. Dari segi umur, hewan kurban memiliki kriteria berbeda. Usia minimal untuk unta adalah lima tahun, untuk sapi dua tahun, dan untuk kambing satu tahun.

Adapun kriteria fisik antara lain yaitu dari segi kesehatan, dan tidak cacat. Rangkuman dari berbagai hadis Nabi Muhammad SAW, hewan kurban yang layak adalah yang berciri berikut: bertanduk lengkap (al-aqran), gemuk badannya atau berdaging (samin), warna putihnya lebih banyak daripada warna hitamnya (al-amlah).

Karena itu, hewan yang tidak layak dijadikan hewan kurban adalah hewan yang buta salah satu matanya (al-‘auraa), hewan yang sakit (al-mardhoh), hewan yang pincang (al-‘arja), dan hewan yang kurus kering dan kotor (al-kasir).

Tak kalah penting, hewan kurban harus jelas asal-usulnya. Yakni apakah hewan itu benar-benar milik sendiri yang diperoleh melalui cara ternak atau jual beli yang sah. Bukan hasil dari merampok atau mencuri dari orang lain.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah menerbitkan ketentuan hewan kurban yang boleh dikurbankan. MUI telah mengeluarkan Fatwa Nomor 32 Tahun 2022 tentang Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban saat Kondisi Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

Pada fatwa tersebut terdapat 3 hukum kurban dengan hewan yang terkena PMK, yakni sah, tidak sah, dan sedekah. Artinya, hewan yang terkena wabah PMK tetap dapat dijadikan hewan kurban apabila memenuhi beberapa syarat yang sudah ditentukan.

Menurut fatwa tersebut, hewan ternak yang terkena wabah PMK dengan gejala klinis ringan tetap dapat dijadikan hewan kurban. Gejala klinis ringan itu seperti lepuh ringan pada celah kuku, kondisi lesu, tidak nafsu makan, keluar air liur lebih dari biasanya.

Hewan ternak yang sempat terkena PMK dengan gejala klinis kategori berat juga boleh dijadikan kurban dengan syarat telah sembuh dari PMK dalam rentang waktu yang dibolehkan kurban (pada 10-13 Dzulhijjah).

Adapun jika hewan kurban terserang PMK selama masa Idul Adha, maka dia tidak boleh disembelih sampai benar-benar sembuh dan sehat. Jika hewan itu baru sembuh setelah 10-13 Dzulhijjah, maka status hewan tersebut tidak lagi menjadi hewan kurban, tetapi dianggap sebagai sedekah.

Penulis: Nugroho Purbo

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya