Liputan6.com, Jakarta - Masih banyak kesalahpahaman tentang wanita dengan disabilitas di masyarakat.
Beberapa berpikir bahwa mereka tidak bisa menjadi orangtua, mengekspresikan feminitas mereka atau memiliki hubungan yang berarti, dan dianggap rapuh.
Advertisement
Mengatasi hal ini, seorang blogger penyandang disabilitas Rebecca Sullivan, yang menggunakan kursi roda, ingin meluruskan kesalahpahaman tentang wanita dengan disabilitas.
“Perempuan dengan disabilitas dapat menjalani kehidupan yang sama memuaskan seperti perempuan tanpa disabilitas,” kata Sullivan.
Berikut tujuh kesalahpahaman tentang wanita dengan disabilitas menurut Disability Horizons.
Tak Bisa Berkencan dan Memiliki Hubungan
Beberapa orang beranggapan bahwa wanita dengan disabilitas tidak bisa berkencan dan memiliki hubungan, serta dianggap tidak memiliki keinginan seksual. Sebenarnya, itu semua tidak benar.
Menurut Sullivan, berkencan adalah kesempatan untuk mengenal seseorang, untuk mencari tahu apakah mereka cocok untuk menjadi pasangan hidup, dan mungkin menemukan cinta sejati.
“Menjadi orang dengan disabilitas tidak menghalangi kita untuk merasakan hal itu. Perempuan dengan disabilitas juga bisa berkencan, memiliki hubungan, dan tentu saja, berhubungan seks,” kata Sullivan.
Sayangnya, beberapa orang masih sulit memahaminya. Orang sering keliru mengira bahwa wanita dengan disabilitas tidak mungkin memiliki hubungan romantis.
Sullivan mengatakan bahwa stereotip ini mengaburkan kebutuhan dasar mereka untuk menjalin hubungan yang mendalam dengan orang lain.
Tak Bisa Menjadi Seorang Ibu
Seringkali orang berpandangan bahwa wanita dengan disabilitas bergantung pada orang lain dan tidak mampu merawat anak atau berperan sebagai seorang ibu.
Padahal, tidak ada aturan yang mengatur seperti apa sebuah keluarga seharusnya.
Tak ada aturan khusus untuk berperan sebagai orangtua. Selama anak merasa bahagia dan dicintai, tidak masalah bagaimana mereka dirawat.
Tak Boleh Merangkul Feminitas
Menurut Sullivan, sangat jarang wanita dengan disabilitas dianggap menarik atau seksi, tidak seperti banyak perempuan tanpa disabilitas yang selalu dianggap demikian.
Hal ini seakan-akan wanita dengan disabilitas diharapkan hidup dengan aturan yang berbeda atau dianggap sebagai makhluk yang berbeda.
“Saya tahu ada perempuan yang menggunakan kursi roda yang ditegur dan malu karena memakai rok pendek dan busana yang terbuka. Banyak perempuan dengan disabilitas memiliki keinginan untuk dilihat, sebagai perempuan secara utuh, sama seperti orang lain, dan keinginan ini harus dihormati,” tutur Sullivan.
Advertisement
Tak Bisa Mandiri
Banyak yang beranggapan bahwa wanita dengan disabilitas selalu membutuhkan bantuan dan bahwa segala hal harus dilakukan oleh orang lain.
Sullivan mengaku sering bertemu dengan orang-orang yang mencoba membantunya tanpa bertanya apakah dia membutuhkan bantuan. Ketika Sullivan menolak bantuan, orang-orang menggelengkan kepala dan menyebutnya keras kepala.
“Karena saya memiliki cerebral palsy, cara saya melakukan sesuatu mungkin terlihat seperti saya sedang berjuang. Namun, dengan mengatakan 'tidak', sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa saya mampu melakukannya sendiri, seperti banyak wanita dengan disabilitas lainnya,” kata Sullivan.
Dianggap Lemah dan Rentan
Wanita dengan disabilitas sering kali dianggap lemah dan diperlakukan sesuai dengan anggapan tersebut.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, banyak orang mengasumsikan bahwa perempuan dengan disabilitas selalu membutuhkan bantuan atau tidak mampu melakukan hal-hal tertentu.
Namun, kenyataannya, perempuan dengan disabilitas adalah individu yang kuat dan gigih.
Bahkan, dalam banyak kasus, mereka lebih tangguh daripada perempuan tanpa disabilitas karena harus menghadapi berbagai hambatan.
Advertisement