Liputan6.com, Pekanbaru - Akhir-akhir ini banyak masyarakat, termasuk di Riau, menuntut 20 persen pembangunan kebun kepada perusahaan pemilik konsesi. Permintaan itu bahkan menyasar kebun inti perusahaan sawit ataupun lainnya.
Hal ini mendapat perhatian dari Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Andi Nur Alamsyah. Dia menyatakan, masyarakat tidak dapat memaksa perusahaan perkebunan sawit memenuhi kewajiban 20 persen itu.
Baca Juga
Advertisement
Andi menjelaskan, Fasilitas Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) ada aturan yang harus ditaati. Salah satunya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18 tahun 2021 tentang FPKM.
Peraturan tersebut merupakan turunan PP Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
"Tidak dibenarkan apabila ada pihak yang memaksa mengambil kebun inti tertanam dalam hak guna usaha (HGU) atau izin usaha perkebunan (IUP) milik perusahaan," kata Andi dia dalam keterangan tertulisnya, Kamis siang, 22 Juni 2023.
Menurut Andi, peraturan itu harus dipahami sehingga tidak terjadi penafsiran berbeda agar tidak memunculkan persoalan.
Dia menjelaskan, FPKM 20 persen merupakan kewajiban perusahaan perkebunan sebagaimana perintah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Hanya saja aturan itu berlaku bagi perusahaan dengan izin usaha perkebunan yang terbit setelah Februari 2007.
"Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 26 Tahun 2007," jelasnya.
*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Bukan Pukul Rata
Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013, pasal 60 ayat 1, ketentuan kewajiban FPKM sekitar 20 persen tidak berlaku bagi perusahaan perkebunan yang menerapkan pola kemitraan seperti perkebunan inti rakyat (PIR) yakni PIR-BUN, PIR Trans, PIR KKPA, atau pola perkebunan inti plasma lainnya.
"Yang sebelumnya jika sudah ada kemitraan dalam usaha produktif atau PIR (Perkebunan Inti Rakyat) maka tidak kena (aturan FPKM 20 persen)," tutur Andi.
Andi telah menyurati seluruh kepala daerah di Indonesia untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan FPKM. Dengan demikian tidak ada muncul persoalan ataupun konflik masyarakat.
"Tidak bisa dipukul rata untuk semua perusahaan perkebunan sawit karena wajib bagi perusahaan perkebunan yang IUP terbit setelah 2007," paparnya.
Sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tersebut di atas, telah ditentukan adanya kewajiban FPKM. Syaratnya adalah tidak ada atau tidak tersedia lahan lagi, telah diatur kegiatan produktif lain yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan masyarakat sekitar.
"Program pemberdayaan yang akan diterima manfaatnya oleh masyarakat akan difasilitasi perusahaan seperti pola kredit, pola bagi hasil dan atau pola kemitraan lainnya," jelasnya.
"Artinya bukan harus membangun kebun sawit, tetapi masyarakat diberikan opsi sesuai keinginannya dan disepakati dengan perusahaan, bila masyarakat sekitar ingin beternak sapi boleh, mau usaha perikanan boleh," tambahnya.
Penafsiran bahwa FPKM harus dibangun kebun sawit, jelas Andi, adalah penafsiran lama. Pemerintah telah memberikan solusi, bisa berupa kegiatan produktif lain dan kemitraan lainnya.
Sebaiknya juga, pinta Andi, sesuai Permentan Nomor 18 Tahun 2021, penerima manfaat FPKM adalah masyarakat yang telah membentuk kelompok petani, gapoktan dan koperasi, yang nantinya akan menerima fasilitasi pembiayaaan tersebut sesuai dengan nilai optimum produksi yang ditetapkan Ditjebun.
"Dan bukan perorangan," tegas Andi.
Advertisement