Liputan6.com, Jakarta - Menurut mazhab Syafi’i hukum berkurban adalah sunnah ‘ain bagi yang tidak memiliki keluarga dan sunnah kifayah bagi setiap anggota keluarga yang mampu.
Sunnah kifayah adalah kesunnahan yang sifatnya kolektif. Artinya, jika salah satu anggota keluarga sudah ada yang melakukannya, maka sudah dapat menggugurkan hukum makruh bagi yang lainnya.
Kurban bisa menjadi wajib apabila seseorang pernah bernazar untuk melaksanakannya. Berkurban memiliki sisi positif tidak hanya berkaitan dengan penghambaan kepada Sang Khaliq, tapi juga sebagai bentuk solidaritas kepada sesama. Oleh karenanya, pahala berkurban sangat besar sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadis Nabi.
Baca Juga
Advertisement
Dalam realitanya, saat musim kurban berlangsung, tidak hanya kalangan umat Islam yang berpartisipasi, tapi non-Muslim juga kadang ikut ambil bagian. Biasanya pengusaha non-Muslim atau dari kalangan yang lain turut serta menyumbangkan binatang kurban, mereka menyerahkannya kepada ustadz, kyai atau tokoh agama lainnya untuk disembelih dan dibagikan pada saat momen lebaran haji.
Pertanyaannya adalah, bagaimana status kurban dari seorang non-Muslim tersebut? Apa sikap yang harus dilakukan tokoh agama saat dipasrahi binatang kurban dari non-Muslim?
Saksikan Video Pilihan ini:
Status Kurban dari Seorang Non-Muslim
Mengutip dari laman NU Online, berkurban adalah salah satu bentuk ibadah yang membutuhkan niat. Oleh karenanya disyaratkan pelakunya harus Muslim. Ini adalah ketentuan umum untuk setiap ibadah yang membutuhkan niat. Memang ada beberapa persoalan tertentu bahwa niatnya non-Muslim dinyatakan sah, tapi ibadah kurban tidak masuk dalam persoalan yang dikecualikan tersebut.
Meski tidak sah atas nama kurban, bukan berarti sumbangan binatang kurban yang diberikan oleh non-Muslim tidak memiliki manfaat sama sekali. Binatang tersebut tetap boleh diterima atas nama sedekah. Dari sedekah itu, non-Muslim tetap mendapat manfaat pahalanya.
Para ulama menegaskan, amal ibadah non-Muslim yang tidak membutuhkan niat, seperti sedekah, dicatatkan pahalanya untuk sang pelaku, bisa bermanfaat di dunia dengan memperbanyak rezeki dan meringankan siksaan di akhirat.
Berkaitan dengan penerimaan distribusi binatang kurban dari non-Muslim oleh tokoh agama, hukumnya diperbolehkan. Binatang tersebut halal dengan catatan yang menyembelih orang Islam. Secara teori, kebolehan menerima binatang kurban dari non-Muslim juga disyaratkan tidak berdampak merugikan umat Islam, seperti ditemukan indikasi kuat adanya konspirasi terselubung untuk menghancurkan umat Islam.
Namun di negara demokrasi seperti Indonesia, kekhawatiran-kekhawatiran tersebut jarang sekali terjadi. Umumnya, penerimaan daging kurban dari non-Muslim dilakukan atas dasar menjaga hubungan baik dan toleransi antarumat beragama.
Al-Asqalani juga mengutip beberapa pendapat ulama yang mengkomparasikan beberapa hadis yang bertentangan mengenai masalah tersebut. Menurutnya, pendapat yang kuat adalah bahwa hadis yang melarang menerima pemberian non-Muslim konteksnya adalah pemberian yang terindikasi kuat bertujuan menghancurkan orang Islam atau berdampak merugikan mereka. Sedangkan hadis yang membolehkannya diarahkan kepada tujuan menghibur dan kepentingan mendakwahkan Islam.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa status hukum kurbannya non-Muslim adalah tidak sah sebagai kurban. Namun distribusi binatang kurban dari mereka tetap boleh diterima oleh orang Islam atas nama sedekah, bahkan menjadi langkah yang tepat untuk menjaga keharmonisan antar umat beragama. Binatang pemberian non-Muslim tersebut halal dimakan dengan syarat penyembelihnya adalah orang Islam.
Advertisement