Liputan6.com, Jakarta - Batik menjadi salah satu warisan leluhur Nusantara yang hadir dengan beragam motif dan makna, begitu pula batik dari pesisir utara Jawa. Keindahan kain batik pesisir terangkum apik dalam sebuah pameran yang mengusung tajuk "Pasang Surut".
Pameran ini digelar dalam dua chapter, yakni 17 Juni--5 Agustus 2023 untuk chapter I dan 12 Agustus--30 September 2023 untuk chapter II. Pameran batik yang menampilkan arsip eksklusif berusia lebih dari 100 tahun ini digelar di Masa Masa, Ketewel, Gianyar, Bali.
Advertisement
Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, penamaan pameran batik pesisir ini merujuk pada pasisir utara Jawa yang penuh pergolakan dan perubahan. Dari zaman ke zaman, kota-kota pelabuhan tumbuh dan beberapa menjelma menjadi poros ekonomi dan politik, namun ada pula yang tumbuh perlahan menjadi ruang-ruang budaya.
Pameran yang dipersembahkan oleh Pithecanthropus dan Masa Masa ini berfokus pada budaya dan batik pada pesisir utara Jawa. Pasang Surut mengisahkan batik yang menemukan ekspresi penuh warnanya dan jalinan pertemuan berbagai budaya yang berdampak pada ragam batik di wilayah ini.
Awang, Tanah, Laut
Pada bagian pertama yang hadir pada 17 Juni hingga 5 Agustus 2023, Pasang Surut menghadirkan batik Cirebon dan Pekalongan yang dipengaruhi budaya Islam, Hindu, India, Peranakan, Jepang, dan Eropa. Mengusung tema Awang, Tanah, dan Laut, Pasang Surut yang pertama berfokus pada elemen-elemen dari beragam budaya dunia pada kain batik.
Awang mewakili hewan-hewan mitos dan kepercayaan yang diekspresikan dalam batik, yakni burung hong, buraq, dan mega mendung. Tanah mewakili keindahan alam dengan bunga-bunga krisan, peoni, dan buketan, serta Laut mewakili kekayaan lautan dengan ganggang dan bebatuan.
Jenggala dan Segara
Pada bagian kedua yang hadir pada 12 Agustus hingga 30 September 2023, Pasang Surut menampilkan elemen Jenggala dan Segara. Jenggala mewakili warna-warna yang lebih dekat dengan hutan dan sulur-sulur yang menjadi isen batik di Demak, Kudus, dan Semarang. Segara mewakili elemen perairan dengan ikan-ikan serta udang rebon yang menjelma tetumbuhan pada batik Tuban, Rembang, dan Lasem.
Wayang Potehi dan Instrumen Musik Peranakan
Perpaduan budaya China dan Melayu dapat dilihat dalam kesenian wayang potehi. Kesenian ini mengisahkan mitologi China, kepercayaan Tao, serta cerita rakyat Cina seperti Sampek dan Eng Tay. Wayang Potehi, panggung, serta instrumen musiknya turut ditampilkan dalam Pasang Surut.
Jlamprang
Jlamprang adalah interpretasi warga Pekalongan keturunan India dan Arab akan kain patola dari India. Menggunakan teknik batik, jlamprang memadukan motif-motif geometris yang mengulang.
Hokokai
Hokokai adalah motif batik yang diciptakan pada rentang tahun 1942--1945 saat terjadi krisis impor katun. Dengan minimnya bahan, dua motif dijadikan satu pada Hokokai sehingga satu kain dapat dipakai pada pagi hari dan sore hari. Motif Hokokai sendiri erat dengan warna-warna khas Jepang, kuning dan ungu, dengan warna dasar sogan atau putih.
Advertisement
Gedog Tuban
Dengan kehidupan agrarisnya, masyarakat Tuban membutuhkan kain yang kuat untuk dipakai sehari-hari. Ciri khas kekuatan kain ini didapat dari kain yang ditenun, sehingga batik Tuban memiliki tekstur yang kasar. Selain itu, motif batik Tuban juga erat dengan simbol-simbol pertanian.
Merah Lasem
Dulunya menjelma kota yang penuh keriuhan, Lasem, yang kini adalah kecamatan, dikenal dengan batiknya yang berwarna merahnya. Warna merah ini berasal dari mengkudu dan air sungai Lasem yang menghasilkan merah gelap.
Pencelupan berulang untuk warna yang diinginkan menyebabkan pewarna terserap melalui celah kecil pada lilin yang menghalangi. Proses ini menghasilkan garis-garis atau bintik-bintik yang secara keseluruhan memperkaya motif.
Selain pameran kain, Pithecanthropus dan Masa Masa juga menawarkan rangkaian workshop di setiap Sabtu sepanjang pameran berlangsung. Pengunjung dapat belajar membuat perhiasan dari manik-manik lawas, payung kertas, dan berbagai workshop lainnya.
Batik Lasem, Kombinasi 2 Budaya
Berbicara tentang Lasem tak pernah afdal bila tak menyinggung soal produksi batiknya. Wastra di kawasan ini memiliki motif yang merupakan hasil akulturasi budaya Tiongkok dan Jawa. Percampurannya dilatarbelakangi fakta bahwa perajin batik di Lasem semula merupakan orang keturunan Tionghoa hingga akhirnya banyak masyarakat lokal yang mendalami seni tersebut.
Batik Lasem juga memiliki satu motif unik, yaitu watu pecah. Motif tersebut terinspirasi dari pembangunan Jalan Anyer-Panarukan yang mengharuskan masyarakat memecah batu jadi berukuran kecil seperti kerikil.
Ciri khas warna kain batiknya adalah merah darah ayam atau dalam bahasa Jawa disebut 'abang getih pithik'. Warna merah ini dihasilkan dari akar pohon mengkudu atau pace.
Kebanyakan batik lasem merupakan batik tulis yang seluruh proses pembuatannya dilakukan dengan tangan. Karenanya, butuh waktu berbulan-bulan untuk menghasilkan satu lembar kain batik.
Tak heran jika harga kain batik ini cukup tinggi, apalagi bila motifnya semakin rumit. Harga batik lasem berkisar mulai dari ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah.
Advertisement