Liputan6.com, Jakarta Sebuah studi yang dilakukan oleh Research Fellow Monash University, Danusha Jayawardana, mengungkap bahwa praktik pernikahan usia dini berdampak negatif pada kesejahteraan mental perempuan. Terutama bagi mereka yang berusia di bawah 18.
Studi ini melibatkan 5.679 perempuan sebagai sampel. Di mana 30 persen di antaranya menikah pada usia 18 tahun.
Advertisement
Sedangkan, status kesehatan mental mereka dinilai menggunakan Skala Depresi Pusat Studi Epidemiologi (CES-D-10) yang menunjukkan bahwa penundaan satu tahun dalam rencana pernikahan, atau setelah 18 tahun, mampu mengurangi risiko perempuan mengalami depresi.
Lebih lanjut, studi ini menyoroti kurangnya perhatian terhadap dampak dari praktik pernikahan usia dini. Yakni dengan mempertimbangkan konsekuensi ekonomi yang substansial dan risiko munculnya gangguan mental.
Apalagi bagi perempuan yang terpisah dari keluarga dan teman-temannya akibat pernikahan usia dini berpotensi terisolasi secara sosial.
Sayangnya, berbagai dampak pernikahan usia dini tersebut masih kerap diabaikan dan terus mengancam kesejahteraan perempuan.
Meningkatkan Keberpihakan pada Perempuan
Selain itu, studi yang sama juga mengomentari soal perubahan kebijakan Indonesia yang menaikkan batas minimal usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.
Amandemen tersebut dinilai berpeluang baik pada kesetaraan gender dan meningkatkan keberpihakan terhadap perempuan. Apalagi ketidaksetaraan gender sering menjadi katalis dari manifestasi pernikahan usia dini, yang dapat memicu ancaman psikologis dan fisik pada perempuan.
“Temuan fakta pada studi ini semakin memperjelas fenomena 'missing women' atau hilangnya posisi tawar perempuan di Indonesia,” kata Danusha Jayawardana dalam keterangan pers, Kamis 22 Juni 2023.
Angka Pernikahan Dini di Indonesia
Penelitian Monash University menunjukkan, fenomena missing women dipicu oleh dampak negatif pernikahan dini pada kondisi fisik, psikologis, dan emosional perempuan.
Isu pernikahan usia dini di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data UNICEF per akhir tahun 2022, Indonesia berada di peringkat ke-8 di dunia dan ke-2 di ASEAN, dengan total hampir 1,5 juta kasus.
Selain itu, menurut data Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) RI, pengadilan agama menerima 55.000 permohonan dispensasi pernikahan usia dini di sepanjang 2022. Artinya, hampir dua kali lipat jumlah berkas serupa pada tahun sebelumnya.
Advertisement
Faktor Pendorong Pernikahan Dini
Hingga 2022, perempuan di bawah usia 16 tahun menjadi yang paling banyak terdampak dari kasus ini, yaitu sebanyak 14,15 persen. Prevalensi tersebut meningkat secara signifikan selama pandemi COVID-19. Didorong pula oleh faktor-faktor seperti:
- Naiknya angka putus sekolah
- Kondisi ekonomi keluarga yang menurun
- Kepatuhan terhadap agama dan adat istiadat
- Pengaruh teman-teman sejawat yang menikah dini.
Tren yang memprihatinkan ini terus berlanjut meskipun pemerintah telah mengamandemen Undang-Undang Perkawinan pada tahun 2019. Dalam UU ini, pemerintah menaikkan usia minimum pernikahan menjadi 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki.
Ketidaksetaraan Gender Akibat Pernikahan Dini
Selain mengganggu kesejahteraan mental dan memicu fenomena missing women, pernikahan usia dini juga sering kali menjadi akibat dari ketidaksetaraan gender. Ini secara tidak proporsional merugikan perempuan.
Ini juga berpotensi memengaruhi mereka dalam mengambil keputusan berisiko, seperti menyakiti diri sendiri.
“Dukungan psikologis yang memadai, layanan konseling, dan edukasi menjadi sarana penting untuk memastikan kesejahteraan mental perempuan dan anak-anak mereka dalam praktik pernikahan usia dini,” jelas Danusha.
“Kami harap, melalui temuan studi ini, pembuatan kebijakan dapat melihat lebih lanjut mengenai konsekuensi buruk dari pernikahan usia dini dan dengan mengeksplorasi langkah-langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh praktisi dan pihak berwenang terkait," katanya.
Advertisement