Dianggap Tidak Sehat, Apa Strategi Pengendalian Kualitas Udara ala Pemprov DKI Jakarta?

Berdasarkan situs pemantauan kualitas udara dunia IQAir pada Sabtu, 24 Juni 2023 AQI US Jakarta mencapai angka 145 termasuk kategori tidak sehat.

oleh Ika Defianti diperbarui 25 Jun 2023, 07:05 WIB
Beberapa hari terakhir masyarakat mengeluhkan kondisi polusi Jakarta yang terlihat berkabut meskipun cuaca cerah. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Isu polusi udara untuk kota-kota besar dunia sering menjadi perhatian. Seperti halnya yang terjadi di Jakarta. Beberapa hari terakhir masyarakat mengeluhkan kondisi polusi Jakarta yang terlihat berkabut meskipun cuaca cerah.

Berdasarkan situs pemantauan kualitas udara dunia IQAir pada Sabtu, 24 Juni 2023, AQI US Jakarta mencapai angka 145 termasuk kategori tidak sehat. Sedangkan sesuai Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP 45/MENLH/1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara telah ditetapkan bahwa untuk mengukur kualitas udara di berbagai daerah di Indonesia berdasarkan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).

Parameter baik buruknya kualitas udara dibagi menjadi lima kategori yaitu sebagai berikut:

- Baik (0-50), tingkat kualitas udara tidak memberi efek buruk bagi kesehatan manusia atau hewan, serta tidak mempengaruhi tumbuhan, bangunan, dan nilai estetika.

- Sedang (51-100), tingkat kualitas udara tidak memberi efek buruk bagi kesehatan manusia dan hewan, namun mempengaruhi tumbuhan yang sensitif, serta nilai estetika.

- Tidak sehat (101-199), tingkat kualitas udara merugikan manusia dan kelompok hewan yang sensitif, serta menimbulkan kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai estetika.

- Sangat tidak sehat (200-199), tingkat kualitas udara merugikan manusia dan kelompok hewan yang sensitif, serta menimbulkan kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai estetika.

- Berbahaya (300-lebih), tingkat kualitas udara berbahaya secara umum dan menimbulkan kerugian kesehatan yang serius.

Acuan SPKU

Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Erni Pelita Fitratunnisa menyatakan, untuk mengetahui kondisi kualitas udara Jakarta pihaknya menggunakan acuan dari Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) yang tersebar di lima kota administrasi dan tiga mobile station. Selain itu Pemprov DKI Jakarta juga berkolaborasi dengan pihak mitra terkait pengukuran kualitas udara yang tersebar di 14 titik.

Untuk periode akhir Mei-awal Juni 2023 konsentrasi rata-rata harian PM2.5 di Jakarta berada pada level 47,33- 49,34 µg/m3. Ambang batas PM 2.5 yang ditetapkan oleh WHO yaitu sebesar 15 mikrogram per meter kubik, sedangkan standar pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebesar 55 mikrogram per meter kubik.

Fitri, panggilan Erni Pelita Fitratunnisa, menyatakan, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kondisi kualitas udara di Jakarta, yakni alam dan aktivitas manusia. Untuk faktor alam seperti cuaca, arah angin, kelembaban. Saat musim kemarau seringkali ada faktor kenaikan suhu hingga pergerakan angin yang lambat. Sedangkan aktivitas manusia terdiri dari sektor transportasi dan industri.

Berdasarkan penghitungan inventarisasi emisi polusi udara yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Vital Strategies, sumber polusi terbesar di Ibu Kota dari sektor transportasi untuk polutan PM2.5, NOx, dan CO. Sementara kontributor kedua adalah industri pengolahan terutama untuk polutan SO2.

"Jadi kalau disampaikan di bulan Juni-Juli kita mulai memasuki musim kemarau, artinya kondisi kualitas udara kita juga menunjukan tingkat kosentrasi yang dikatakan mungkin tidak seperti pada bulan di musim penghujan," kata Fitri kepada Liputan6.com.


Berbagai Strategi Pengendalian Pencemaran Udara Jakarta

DKI Jakarta terpantau memiliki kualitas udara terburuk di dunia versi situs pemantau polusi udara IQAir. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kendati begitu, biasanya penurunan konsentrasi polutan akan terjadi saat musim hujan. Fitri menyebut Pemprov DKI Jakarta telah mempersipakan sejumlah strategi untuk penanggulangan polusi udara tersebut.

Pertama yaitu penyusunan regulasi pengendalian udara yang telah dilakukan sejak tahun 2005 atau Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

Berdasarkan aturan tersebut Pemprov DKI Jakarta juga menurunkan sejumlah aturan sebagai upaya percepatan pengendalian pencemaran udara. Salah satunya melalui Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Dalam aturan itu terdapat tujuh aksi yang harus dilakukan, yaitu uji emisi dan peremajaan kendaraan umum melalui program Jak Lingko pada tahun 2020.

Lalu, yang kedua adalah perluasan kebijakan ganjil genap, peningkatan tarif parkir di wilayah yang terlayani angkutan umum, dan congestion pricing. Ketiga pengetatan uji emisi untuk kendaraan pribadi.

Keempat yakni peralihan moda transportasi umum dan meningkatkan kenyamanan berjalan kaki. Kelima pengendalian terhadap sumber penghasil polutan tidak bergerak khususnya pada cerobong industri aktif. Keenam penghijauan pada sarana dan prasarana publik dan ketujuh yaitu peralihan energi terbarukan.

Selain itu juga diterbitkannya Peraturan Gubernur Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor.

Tidak Kenal Batas Wilayah

Kendati begitu, Fitri menyebut, persoalan pencemaran udara tidak mengenal batas wilayah administrasi. Karena hal itu bersama Kementerian Lingkungan Hidup, mereka mendorong wilayah kota penyangga untuk menerapkan kebijakan yang sama untuk pelaksanaan uji emisi kendaraan.

Selain itu, Pemprov DKI juga berkoordinasi dengan Kepolisian untuk menerapkan sanksi tilang terhadap kendaraan bermotor yang tak melakukan uji emisi, tidak luus, dan masih bermobilisasi di wilayah DKI Jakarta. Penerapan sanksi tilang ini mengacu Undang-undang Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sebab berdasarkan data yang ada kendaraan yang sudah melakukan uji emisi baru 5,44 persen.

"Penerapan uji emisi ini nanti dikaitkan dengan pajak kendaraan bermotor dan ini yang sedang diproses oleh Kementerian Lingkungan Hidup," ujar Fitri.

Selanjutnya Pemprov DKI Jakarta akan menerapkan disinsentif parkir terhadap kendaraan yang tidak dan/atau belum melakukan uji emisi kendaraan. Untuk mekanisme penetapan tarif disintensif bagi kendaraan lulus emisi dikenakan normal berlaku progresif sebesar Rp 5ribu per jam. Sedangkan yang tidak lulus uji emisi dikenakan tarif tertinggi Rp 7.500 per jam.

Sanksi tersebut akan diberikan ketika kendaraan parkir di fasilitas milik Pemprov DKI Jakarta. Untuk sementara tarif parkir disinsentif diterapkan berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 31 Tahun 2017 tentang Tarif Layanan Parkir. Untuk saat ini sudah diterapkan di 11 lokasi parkir antara lain sebagai berikut:- Pelataran parkir IRTI Monas, Jakarta Pusat- Lingkungan parkir Blok M, Jakarta Selatan- Pelataran parkir Samsat, Jakarta Barat- Lingkungan pasar Mayestik, Jakarta Selatan- Plaza Interkon, Jakarta Barat- Park and Ride Kalideres, Jakarta Barat- Gedung parkir Istana Pasar Baru, Jakarta Pusat- Gedung parkir Taman Menteng, Jakarta Pusat- Park and Ride Lebak Bulus, Jakarta Selatan- Pelataran parkir Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat- Park and Ride Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur

"Kemudian terakhir kami sudah menyusun grand design pengendalian pencemaran udara telah disusun pada tahun 2022 dan akan dituangkan dalam Keputusan Gubernur tentang Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU) yang saat ini sedang dalam tahap penandatanganan Gubernur," papar Fitri.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya